Bedah Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965”

9 Maret 2017 | Jaganyala | Pewarta: Fair Naza*
Partai Pergerakan Kedaulatan Mahasiswa (Pandawa) melanjutkan kembali “Diskusi Rabuan” yang menjadi agenda rutin Pandawa. Setelah libur beberapa minggu, agenda diskusi yang dilakukan di Warkop Lico, Sukowaten, Yogyakarta melanjutkan pembahasan tentang legitimasi kekerasan budaya yang dilakukan oleh Orde Baru. Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965” menjadi rujukan dalam diskusi tersebut.
Diskusi yang dilakukan dengan metode kajian per bab dalam buku yang ditulis oleh Wijaya Herlambang tersebut telah sampai pada bab yang berjudul “Lembaga-Lembaga Kebudayaan Indonesia Kontemporer: Menantang Warisan Budaya Orde Baru”.
“Adakah kepentingan dari beberapa kelompok yang bergerak pada masa orde baru?” ungkap Elki Setiyo Hadi yang menjadi salah satu peserta diskusi tersebut. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Elki mendapat banyak tanggapan dari peserta lainnya. Hal ini memang cukup menarik, mengingat kelompok-kelompok kebudayaan yang bergerak pada masa orde baru seperti kelompok Manifesto Kebudayaan yang membawa paham Humanisme Universal memiliki prinsip politik yang kabur. Hal itu juga mengaburkan kepentingan yang mereka bawah ke dalam ranah kebudayaan.
Posisi budayawan dalam isu pembantaian pasca 1965 menjadi bahan diskusi yang menarik. Budayawan dengan berbagai macam ideologi seperti Humanisme Universal yang menjadi aliran dari Manifesto kebudayaan, Realisme Sosialis yang diusung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat, maupun Ideologi Islam yang merasuk melalui Taufik Ismail di Horison saling tumpang tindih kepentingan. Berbagai macam budayawan membawa kebenaran masing-masing dengan ideologinya. Mereka menisbihkan diri berpihak pada rakyat.
”Kepentingan dari kelompok Manifesto Kebudayaan dengan paham Humanisme Universalnya bukan hanya pada ranah kebudayaan saja. Kita tahu Humanisme Universal adalah satu elemen dari liberalisme yang menghendaki adanya kebebasan berekspresi dan kebebasan intelektual. Tapi, apabila kita meninjau hal ini secara politik dan ekonomi. Liberalisme itu bermuara pada kepentingan ekonomi (pasar bebas) yang menitik beratkan pada eksploitasi sumber daya alam. Meskipun kita harus benar-benar melihat ini dengan teliti dan mendalam, mengingat prinsip politik dari kelompok dengan paham Humanisme Universal sangatlah halus dan implisit”. Pungkas Jek,
Hal itu diperjelas Andi A. Tuhuteru, peserta diskusi lainnya yang mengatakan bahwa kebudayaaan merupakan salah satu bentuk yang dapat menjaga kepentingan ekonomi dan politik. Kepentingan ekonomi-politik ini dapat diterima masyarakat dengan mudah apabila dikemas dalam produk kebudayaan seperti sastra, film, dan bentuk budaya popular lainnya. Produk kebudayaan tersebut digunakan oleh Orde Baru sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Menurut Wijaya Herlambang dalam bukunya, warisan kebudayaan Orde Baru masih sangat mengakar di masyarakat. Kendatipun Soeharto dan rezimnya telah dijatuhkan. Namun, Masyarakat masih sangat terpengaruh oleh produk-produk propaganda kebudayaan yang dibangun oleh rezim Soeharto dan kroni-kroni kebudayaannya.
Andi menganalogikan Orde Baru seperti sebuah masjid. Soeharto sebagai kubahnya, kelompok yang berafiliasi pada Orde Baru sebagai dindingnyaa dan liberlisme sebagai fondasinya. Jadi, struktur Orde Baru masih terbentuk karena fondasinya masih terbangun.
Diskusi ini berakhir dengan pembahasan polemik tentang WS. Rendra yang diungkapkan oleh Muhammad Yasir. Rendra memang salah satu tokoh yang cukup berpengaruh, akan tetapi posisinya pada masa orde baru sangat tidak jelas. Dia banyak menulis puisi-puisi yang mengkritik pemerintah. Setelah dia dilarang membaca puisi di tahun 1997, dia justru sembunyi di ketiak pemerintah.
Mahasiswa Sastra Indonesia , Universitas Ahmad Dahlan (UAD) tersebut menegaskan bahwa Rendra kembali muncul ketika Abdurahman Wahid menjabat sebagai Presiden Indonesia. Rendra mengkritik pemerintah tapi masuk dalam sistem pemerintahan.
“Bengkel Teater itu bisa besar salah satunya karena dana pemerintah. Dia juga pergi kuliah ke Amerika dan pulang ke Indonesia membawa budaya Hippies. Itu liberal! Makannya bagiku Rendra punya dosa besar” tambah mahasiswa semester delapan tersebut. []
Fair Naza, Mahasasiswa Sastra Indonesia, Univesitasa Ahmad Dahlan
Sumber : Jaganyala
One Response to “Bedah Buku “Kekerasan Budaya Pasca 1965””
Leave a Reply
#Popular in this month
Popular
-
1Surat dari Adi Rukun
-
2Wawancara Dengan Dr Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen : Soeharto Memang PKI!
-
3Catatan Rahasia Sebelum Munculnya G30S [Secret]
-
4Bedjo Untung di Forum HAM Asia
-
5Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM Tentang Peristiwa 1965 – 1966
-
6Penggalan Kepala Dipajang sepanjang Jalan
-
7Bedjo Untung: “Masalahnya di Jaksa Agung”
-
8Rocky Gerung: “Ketakutan Muncul Negara Komunis Sebenarnya Sudah Tak Ada”
-
9Commemoration of the “Orba” Prison in Tangerang*
-
10Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peristiwa Madiun
-
Korban pembersihan anti-komunis Indonesia memenang...
Bedjo Untung memenangkan pengakuan di Korea Selatan untuk pencarian... read more »
-
Afro-Asiaisme di Akademi Indonesia
Wildan Sena Utama | 10 Februari Empat tahun lalu, Carolien Stolte... read more »
-
Komitmen penegakan hukum dan HAM dipertanyakan
Temuan 346 lokasi kuburan massal korban tragedi 1965-66 dilaporkan YPKP... read more »
-
Seputar Proklamasi Kemerdekaan Kita
Kesaksian Soemarsono “…Ada cerita tentang Proklamasi... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [3]
Oleh: Andreas JW Gagal Menyelamatkan Bung Amir Di tengah-tengah kerja... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [1]
Oleh: Andreas JW Mengenal Alimin Kira-kira awal 1946, pimpinan Jawatan... read more »
-
Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peris...
Oleh: Martin L Dinihari 19 September 1948, Brigade 29 yang... read more »
-
Perempuan Yogyakarta dalam Perjuangan
Nur Janti | 21 Aperil 2018; 14.00 wib Para perempuan Yogyakarta... read more »
thanks…
Humas YPKP’65
twitter: @ypkp65_humas | Facebook: Ypkp Humas