Alimin Periode 1946-1950: Mengevakuasi ke Boyolali [2]

Mengevakuasi ke Boyolali [2]
oleh: Andreas JW
“Begitu kami sampai di markas batalyon, saya sangat kaget, ternyata yang lebih dulu keluar dari ruang kerja Digdo kok malah Alimin… Tampaknya mereka berdua baru saja melakukan suatu pembicaraan penting. Tetapi, karena waktu itu fokus kami memang sedang berusaha mencari Pak Soeadi, hal-hal lain lantas terlewatkan begitu saja.”
Begitu kata-kata Kapten Tjokropranolo ketika ikut misi rahasia Slamet Rijadi ke Wonogiri, bersama dua rekan lainnya, yaitu Kapten Soetanto Wirjopoetro dan Kapten Ari Amangku. (Julius Pour 2008:99)
Apa sebenarnya misi yang tengah diemban oleh Major Slamet Rijadi ketika itu? Begini kisahnya.
Kamis, 23 September 1948, Mayor Slamet Rijadi tengah berada di markas batalyon, di kawasan Banyudono, Boyolali. Ia terkejut mendapat panggilan dari Kolonel Gatot Soebroto. Apalagi begitu mendadak, harus segera menghadap. Dalam situasi waktu itu yang serba tidak menentu, siapa kawan siapa lawan, ia harus bersikap hati-hati. Untuk menjaga segala kemungkinan, ia memenuhi panggilan dengan dikawal oleh Pong Prasetyo, Samekto, dan Soeroto. Mereka dipilih karena paling loyal dan berwajah sangar. Sebelum meninggalkan markas, ia berpesan bila sampai pukul 16.00 belum kembali, artinya ada sesuatu yang tidak beres. Slamet Rijadi berpesan agar mencarinya di gedung Balai Kota Solo.
Briefing dengan Gubernur Militer berjalan mulus. Karena Gatot Soebroto ingat betul kata-kata Panglima Besar Soedirman waktu berdialog dengan Komandan Brigade Siliwangi Letkol. Sadikin, seminggu berselang.
“Slamet Rijadi anak saya,” kata Panglima Besar.
Karena itu Gatot Soebroto menjelaskan bahwa ini perintah dari Panglima Besar. Misi yang diemban Slamet Rijadi adalah mencegah Mayor Digdo beserta anak buahnya menyeberang ke Madiun serta mencari tahu keberadaan Kolonel Soeadi.
Slamet Rijadi segera menuju Tirtomoyo, sebuah kota kecil di antara Wonogiri dan Madiun. Ia berhasil mencegah Soedigdo, dan menggeser posisi pasukan Digdo ke lereng Gunung Merbabu, daerah Paras, Boyolali, agar terpisah jauh dari Madiun.
Misi utama Slamet Rijadi sesungguhnya menemui Kolonel Soeadi Soeromihardjo, Komandan KPPS, untuk menjelaskan situasi dan menyampaikan pesan dari Panglima Besar. Dan memang Soeadi tengah berada di markas Batalyon Digdo. (Julius Pour 2008: 95-98)
Sementara itu Francisca C. Fanggidaej dalam memoarnya “Perempuan Revolusioner”, … dalam situasi kota Solo diserbu dan dibakar (19 Desember 1948)… ia dibebaskan oleh sekelompok Pesindo… dari rumah penjara Gladak.
“Aku dan Pak Alimin tidak termasuk dalam kelompok… yang akan ditembak mati. Walaupun saat itu kami berdua dalam keadaan diborgol….”
Selanjutnya Siswoyo menuturkan pengalamannya begini: “Waktu pecah Peristiwa Madiun 1948, saya tidak tahu persis di mana Pak Alimin berada. Sejak kepulangannya ke Tanah Air, resminya Alimin memang berdomisili di Solo. Namun sebagai anggota CC, sehari-hari dia lebih banyak berada di Yogyakarta. Dugaan saya, ketika terjadi Peristiwa Madiun, Pak Alimin sedang berada di Yogyakarta.”
Barulah setelah terjadi Agresi II, entah bagaimana asal mulanya, tahu-tahu Alimin sudah berada di Solo. Tidak begitu jelas bagaimana proses kedatangannya. Yang pasti, selanjutnya SC Surakarta diminta mengatur dan mencarikan tempat persembunyian untuk Alimin.
Kalau disembunyikannya di Solo, terlalu riskan. Sebagai tokoh PKI, nama Alimin sudah dikenal luas oleh masyarakat Solo. Maka, dengan berbagai pertimbangan, diputuskan Pak Alimin sebaiknya disembunyikan ke daerah pedalaman Wonogiri. Sebab di daerah itu ada Batalyon Digdo.
Berikutnya, “Saya menugaskan dua orang kurir untuk mengantar Alimin ke tempat persembunyiannya.”
Sekitar bulan April 1949, datang berita dari Wonogiri, yang mengatakan bahwa tempat persembunyian Alimin perlu segera dipindahkan. Tentu ini bukan pekerjaan yang mudah, tapi penuh risiko. Karena ada dua masalah yang harus diperhitungkan dengan cermat serta matang, yaitu dipindahkan ke mana dan bagaimana proses kepindahannya.
“Saya sekolektif segera mencari jalan pemecahannya. Akhirnya disimpulkan, Pak Alimin akan disembunyikan di Desa Tlatar”. Desa ini merupakan salah satu daerah basis di Boyolali, letaknya berada di perbatasan dengan Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang.
Lantas bagaimana proses kepindahannya? Sebab, dari Wonogiri, untuk bisa sampai ke Desa Tlatar; harus melewati Kota Solo. Sementara kondisi sekitar Solo cukup genting, karena tentara Belanda masih menguasai kota ini. Lagi pula di Kota Solo masih berlaku jam malam, yang dimulai pukul enam sore hingga pagi hari.
Namun keputusan sudah diambil. Siswoyo segera mengirim kurir ke Boyolali untuk memberitahukan rencana tersebut. Juga memberi tahu lokasi di mana “titik temu” untuk menyerahkan Pak Alimin. Sementara menunggu hari H yang sudah ditentukan, Pak Alimin disembunyikan terlebih dahulu di daerah Laweyan, Solo
Sehari menjelang hari H, Siswoyo menjemput Pak Alimin di tempat persembunyiannya. Kemudian berdua naik dokar menuju rumah seorang kawan di Kampung Ketelan. Di rumah ini Pak Alimin menginap semalam. Keesokan paginya, berdua naik becak menuju ke lokasi “titik temu”, yakni di Pintu Air Tirtonadi. Tepatnya, di jembatan penyeberangan Kali (sungai) Pepe.
Tiba di lokasi “titik temu” tepat pukul 08.00 pagi. Becak berhenti di seberang jalan, di sebelah selatan sungai (kira-kira persis di depan Terminal Bus Tirtonadi sekarang).
“Sejenak saya melempar pandangan ke sekitar, memeriksa apakah keadaan cukup aman. Setelah saya nilai aman, kami menyeberangi jalan menuju Pintu Air Tirtonadi. Sampai di mulut jembatan, pandangan saya arahkan ke seberang sungai. Saya melihat kawan kurir dari Tlatar sudah menunggu. Saya memberi kode, dan dibalas dengan lambaian caping. Saya membalas dengan lambaian tangan.”
Jembatan penyeberangan yang membelah Kali Pepe itu berada tepat di atas pintu air Tirtonadi. Lebar jembatan hanya sekitar satu setengah meter. Hanya cukup untuk dua orang berpapasan. Jembatan buatan Belanda ini biasa untuk perlintasan orang. Pagi itu sudah banyak orang yang hilir-mudik melintasi jembatan.
“Saya segera mengajak Pak Alimin melintasi jembatan, menemui kawan kurir yang sudah menunggu di seberang sungai. Setelah Pak Alimin saya perkenalkan, dan kita berbincang sejenak; proses “serah terima” pun dilakukan. Sejak detik itu, Pak Alimin menjadi tanggung jawab kawan kurir (kawan-kawan Boyolali). Mereka selanjutnya yang membawa Alimin ke Tlatar.”
Siswoyo tidak tahu bagaimana proses selanjutnya. Yang jelas jarak dari Solo ke Tlatar cukup jauh. Lagi pula, untuk lebih aman, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Entah, memakan waktu berapa lama.
Ketika itu Pak Alimin hanya mengenakan sarung dan berbaju model beskap, berbahan lurik. Ia bersandal dan mengenakan caping. Ia hanya membawa bungkusan berisi beberapa potong pakaian. Selama perjalanan dari tempat menginap di Ketelan hingga tiba di tempat “titik temu”, Pak Alimin lebih banyak diam. Ia terlihat sedikit agak tegang. Tapi Pak Alimin percaya sepenuhnya. Sementara Siswoyo sendiri tidak kalah tegangnya, dan baru bisa bernafas lega setelah berlangsung “serah terima”.
Selang beberapa bulan kemudian ada perkembangan situasi, berupa kesepakatan gencatan senjata antara pemerintah RI dengan pihak Belanda. Kesepakatan ini dilanjutkan dengan perundingan keduabelah pihak, yang menghasilkan Perjanjian KMB. Sejak itu keadaan secara umum menjadi relatif lebih aman.
Your comment?