Alimin Periode 1946-1950: Pertemuan dengan Sultan HB IX [3]
oleh: Andreas JW
Pertemuan dengan Sultan HB IX
Sejak perjanjian KMB disepakati, situasi menjadi relatif lebih aman. Perkembangan baru ini tidak luput dari pembahasan OSC Boyolali dan Pak Alimin, tentang kemungkinan Alimin kembali ke Solo. Lalu ditanyakan kepada SC Surakarta, mengenai kesiapannya. Oleh karena situasinya cukup kondusif, SC Surakarta menyatakan siap jika Pak Alimin berkehendak kembali ke Solo.
Begitulah selanjutnya, Alimin ditempatkan di daerah Pajang, tepatnya di sebelah selatan pertigaan Tugu Lilin. Dia menempati sebuah gandhok dari sebuah rumah kuno.
Kenapa Alimin ditempatkan di Pajang? Selain di daerah ini banyak terdapat pos-pos partai, markas SC juga ada di situ; menyusul kepindahan dari markas lama di Sondakan. Semua pekerjaan ini dikoordinasi oleh Bung Harun Karsono.
Situasi damai makin terkonsolidasi, sehingga membuka peluang munculnya kegiatan-kegiatan legal. Pada akhir 1949 atau awal 1950, SOBSI membuka kantor di Gladak, ditangani antara lain oleh Sarjono, Jupri, K. Sunaryo. Begitu pula sejumlah ormas-ormas lain, termasuk instansi-instansi pemerintah karesidenan maupun kotapraja, sudah memulai kegiatannya kembali.
Dalam situasi semacam itu, suatu hari, “Sahabat saya dari kalangan Tionghoa menanyakan kabar Pak Alimin. Mereka antara lain Tan Tse-thai, yang dalam suatu kesempatan pernah cerita kepada saya bahwa Alimin pada waktu Perang Dunia II, sempat tinggal di Yenan, Tiongkok. Di tempat bersejarah ini terdapat markas besar CC PKT. Dari sinilah Mao Tse-tung memimpin revolusi besar Tiongkok,” cerita Siswoyo.
Mengetahui bahwa Alimin selamat dan dalam kondisi sehat wal’afiat, bahkan sekarang ada di Solo; mereka mengatakan ingin bertemu. Keinginan ini lantas disampaikan kepada Alimin. Prinsipnya ia setuju, dan siap menerima.
Pagi hari, sesuai waktu yang telah ditentukan, Siswoyo menjemput dua sahabat Tionghoa ke rumahnya di Loji Wetan. Tan Tse-thai dan seorang kawan Tionghoa, berboncengan naik sepeda. Sedang Siswoyo naik sepeda sendirian.
Begitu bertemu dengan Alimin, kedua kawan Tionghoa itu kelihatan terpesona. Pada awal pertemuan, Pak Alimin dan kedua kawan Tionghoa bicara dengan menggunakan bahasa Indonesia. Tapi pembicaraan tidak bisa berjalan lancar. Masalahnya, kedua kawan Tionghoa ini tidak begitu menguasai bahasa Indonesia. Akibatnya diskusi jadi terhambat. Pak Alimin sendiri kelihatan tidak sabar. Lalu ia menggunakan bahasa Tionghoa juga.
Pak Alimin memang mudah bergaul. Orangnya juga humoris. Setelah menggunakan bahasa Tionghoa, diskusi menjadi lancar dan suasananya pun kian akrab serta penuh dengan kelakar. Namun tidak begitu halnya buat Siswoyo. Pasalnya, “Saya tidak paham sedikit pun. Akibatnya saya tidak bisa mengikuti apa yang mereka bicarakan.”
Pada awalnya ia tetap duduk di antara mereka. Bila di tengah-tengah pembicaraan mereka tertawa terbahak-bahak, Siswoyo hanya bisa turut tersenyum. Padahal tidak tahu apa yang mereka tertawakan. Lama-lama ia jengah. Tapi mau meninggalkan begitu saja, ada perasaan tidak enak. Setengah jam berlalu, ia masih bertahan. Tapi rasanya melelahkan, mendengarkan pembicaraan tanpa tahu apa artinya. Untunglah, Alimin segera melihat ekspresi kejengkelannya. Alimin lantas menginterupsi pembicaraan, dan berkata: “Sudah, Sis, istirahat saja.”
Tanpa pikir panjang Siswoyo lantas pergi ke ruang sebelah, merebahkan badan. Selesai mereka berdiskusi, ia mengantar kembali kedua kawan Tionghoa sampai masuk Kota Solo.
Tak lama kemudian, kira-kira akhir 1949 atau awal 1950, ada informasi bahwa CC mengharapkan kedatangan Alimin ke Yogyakarta. Ini ada hubungannya dengan rencana pertemuan informal antara PKI dengan Pemerintah. Utusan resmi CC yang datang ke markas SC Surakarta di Pajang ialah Ir. Sakirman, anggota CC Sementara.
“Dia datang dari Yogya naik sepeda, diantar seorang kurir. Saya yang menerima langsung di markas SC. Ketika datang, dia mengenakan sarung dan baju beskap lurik, serta memakai blangkon. Sudah tentu pesan CC kita sambut dengan baik. Saya segera membicarakannya dengan kolektif SC. Termasuk tentunya dengan Pak Alimin,” tutur Siswoyo.
Persiapan keberangkatan Alimin ke Yogyakarta pun segera dilakukan, terutama yang menyangkut soal-soal teknis. Jadi tidak menyiapkan bahan perundingan. Karena ini sepenuhnya urusan CC. Akhirnya, Pak Alimin berangkat ke Yogyakarta naik andong, didampingi seorang kurir. Waktu itu andong merupakan alat transportasi utama, dan ramai hilir-mudik di jalan utama Solo – Yogyakarta.
Sejak saat itu, Siswoyo lama tidak bertemu dengan Pak Alimin. Baru di kemudian hari, dari berbagai sumber, termasuk Aidit dan Alimin sendiri; ia mendapatkan banyak info politik mengenai latar belakang dan kesimpulan pokok pertemuan informal antara PKI dan Pemerintah.
Pertemuan tersebut berlangsung di pinggiran Kota Yogyakarta. Dari pihak pemerintah RI diwakili Sri Sultan HB IX. Sedangkan dari PKI, selain Alimin, sumber lain menyebut bahwa A.M. Hanafi juga turut hadir. Pertemuan informal ini hanya menghasilkan persetujuan yang bersifat umum dan ke dalam. Di antaranya, PKI diminta giat kembali secara legal dalam rangka NKRI, untuk menghadapi lahirnya RIS hasil dari Persetujuan KMB.
Dalam suatu kesempatan Pak Alimin pernah cerita kepada Siswoyo, bagaimana suasana pertemuan tersebut. Menurutnya, dialog dengan Sri Sultan berlangsung akrab. Sekali-kali diselingi bahasa Jawa kromo inggil. Dan Sri Sultan sempat mengatakan bahwa pengetahuannya mengenai teori Marxisme masih terbelakang. Dari itu Sri Sultan minta kepada Alimin untuk mencarikan buku Das Capital.
Sementara Aidit menjelaskan lebih mendalam lagi, terutama mengenai latar belakang dan analisisnya. Bahwa menyusul Persetujuan KMB, lahirlah negara baru Republik Indonesia Serikat (RIS), yang berbentuk negara federal. Presidennya adalah Bung Karno. RIS dengan sekian banyak negara bagian, sesungguhnya merupakan negara boneka bikinan Belanda; yang bernaung di bawah Unie-Verband, dikepalai Ratu Juliana.
Terkecuali RI, sebagai negara bagian, yang pada waktu itu Presidennya adalah Moh. Assaad (PSI).
Menghadapi perkembangan itu kaum nasionalis, baik di dalam maupun di luar kabinet, merasa bebannya sangat berat jika harus menghadapinya sendirian. Oleh karena itu mereka merasa khawatir kalau kaum kiri meninggalkan kerja sama dengan mereka. Ini mengingat kaum kiri dan sahabat lainnya pernah mendapat fitnah dan pukulan dari rezim Hatta dalam Peristiwa Madiun. Maka, wajar kalau mereka khawatir kaum kiri menempuh jalannya sendiri.
Pertemuan informal antara Alimin dengan Sri Sultan HB IX, mempunyai arti dan sejarah tersendiri dalam kehidupan partai, yang kelak berpengaruh terhadap perkembangan situasi selanjutnya.
Your comment?