Bangun Nalar Yudisial Rekonsiliasi 1965

Dari perspektif korban tragedi kemanusiaan 1965-1966 penantian wujud hadirnya era negara Nawacita yang di dalamnya memuat butir harapan bagi penyelesaian tuntas kasus yang telah dibiarkan menghabiskan 51 kalender ini, meski tak kunjung nyata namun tak henti dipertanyakan realisasinya.
Di sisi lain pergulatan perjuangan seputar tema besar hak asasi manusia, terutama yang berkaitan dengan tragedi 1965-66 di Indonesia; harus diakui telah menyentuh capaian-capaian penting.
Tetapi hingga hari ini penyelenggara negara Nawacita itu masih saja berkilah melalui berbagai dalih reaksioner dalam menyikapi capaian penting ini. Kalau pun ada statement, itu lebih merupakan retorika pejabat pemerintahannya; yang lebih membuka ruang bagi langgengnya impunitas pelaku kejahatan HAM masa lalu. Begitu pula terhadap proses dan capaian penting zonder negara, yakni hasil sidang pengadilan rakyat internasional IPT’65 Den Haag yang telah menghasilkan putusan hukum rekomendatif.
Meski putusan IPT’65 boleh dianggap tak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun setidaknya secara moral telah dapat membongkar kebohongan sejarah masa lalu. Dan secara yuridis telah dapat dibuktikan bahwa memang telah terjadi kejahatan HAM di masa itu. Secara substantif produk hukum ini sejajar dengan putusan pengadilan negara. Namun alih-alih bicara supremasi hukum, malah capaian yang demikian penting ini bukan dijadikan penguat landasan momentum penyelesaian kasus kejahatan HAM berat yang telah terjadi di Indonesia.
Opsi “non-yudisial” yang Mentok
Tema penting rekonsiliasi yang rintisannya dihasilkan dari Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan [Aryaduta, 18-19 April 2016], memicu kepanikan para mantan jenderal dan golongan reaksioner penyokong impunitas pelaku kejahatan HAM berat; yang kemudian menggelar “simposium tandingan” [Balai Kartini, 1-2 Juni 2016].
Dalam perjalanannya “nasib” rekonsiliasi nasional itu sendiri seperti layup diterjang kegaduhan politik, sepenanggungan dengan penantian lebih setengah abad para korban dan penyintas Tragedi 65 yang makin renta. Ada kesenyapan yang kembali menyesaki lorong penantian itu. Dan kesenyapan ini kembali pecah saat dibacakan putusan IPT’65 Den Haag atas dorongan solidaritas internasional.
Kembali pula gaduh ujaran kebencian, tudingan stigmatisasi mendera para pihak dan lembaga-lembaga yang berkontribusi mengangkat isue HAM; tak terkecuali terhadap lembaga resmi yang concern pada soal ini.
Simposium Aryaduta meski telah membongkar narasi sejarah palsu yang selama ini dimonopoli Orba, dan yang menempatkan pentingnya agenda rekonsiliasi nasional dengan paksaan jalur non-yudisial sebagai opsi tunggal; pun disenyapkan.
Saat para korban Tragedi 1965 berupaya membangun komunikasi sehat dengan negara, pejabat pemerintah menolaknya; seakan 51 tahun itu belum cukup waktu buat terus-terusan menunggu dalam penantian tak berkepastian. Alhasil upaya berdialog seputar nasib rekonsiliasi non-yudisial hari ini pun mentok.
Pilihan Hukum atau Internasionalisasi
Diskusi reboan yang belakangan (20/8) ini “mewadah” debat Forum 65 dan memfokuskan pada bahasan spesifik penuntasan Tragedi 1965 telah mengaduk nalar hukum diantara ide-ide politis dan mengembalikannya sebagai satu-satunya model pilihan meraih keadilan bagi korban. Mentoknya opsi non-yudisial yang rupanya terbelit skenario berkilah dari pengungkapan kebenaran sebagai ruhnya rekonsiliasi; jadi musabab pilihan yudisial sebagai opsi utama pada sekarang ini. Sebab dalam konteks yudisial ini, telah ada 2 landasan atau pijakan awalnya.
Pertama, hasil penyelidikan pro-justisia Komnas HAM yang secara keseluruhan telah direkomendasikan kepada penyelenggara negara, dalam hal ini Kejaksaan Agung RI pada tahun 2012. Dan selanjutnya menjadi kewajiban Kejakgung RI untuk menindaklanjuti rekomendasi hukum ini sesuai kewajiban dan kewenangannya.
Bahwa dalam konteks ini masih dipandang ada kekurangan dari sisi materiil maupun aspek perangkat hukumnya, semisal perlu dibentuk Pengadilan HAM Adhoc untuk itu; maka harus ada langkah signifikan dan progress yang nyata kemajuannya.
Kedua, putusan sidang pengadilan rakyat internasional [IPT’65] Den Haag (20/7) yang juga telah diserahkan salinan putusan hukumnya, di dalam mana berisi rekomendasi kepada negara yang telah terbukti bersalah melakukan 9 jenis kejahatan HAM.
Bahwa dalam memandang produk hukum pengadilan rakyat ini kemudian memunculkan analisis hukum tersendiri, maka tidak kemudian ditolak secara eksplisit (bahkan terkesan emosional) dan menganggap tak perlu direspons sebagaimana semestinya.
Oleh karena pada kenyataannya kedua landasan di atas tidak dijadikan pijakan awal bagi momentum penegakan hukum dalam tindaklanjut penuntasan kejahatan HAM yang pernah terjadi, maka semua ini bisa dijadikan preseden nihilnya kemauan dan kemampuan [un-willing and un-ability] negara dalam melaksanakan amanat penting rekonsiliasi nasional.
Jika demikian maka penolakan untuk mengkomunikasikan semua, telah membuka pemenuhan syarat awal bagi kasus kejahatan HAM berat 1965 untuk dibawa ke ranah hukum internasional. Semua ini sejalan dengan narasi perdebatan dalam Forum 65 yang di dalamnya memuat kehendak belasan organisasi korban dan pegiat HAM; kemana pilihan menempuh mekanisme hukum internasional; jadi pilihan yang tepat.
[Redaksi]
Your comment?