[Statement] Meretas Jalan Yudisial dan Internasionalisasi
Pernyataan Sikap
Pada hari Selasa, 13 September 2016, YPKP 1965 menerima surat dari Kemenko Polhukam No: 1643/polhukam/De-III/HK.06.06.02/9/2016; yang pada intinya berisi penolakan terhadap permohonan YPKP’65 untuk dapat beraudiensi dengan Presiden maupun pejabat Menkopolhukam RI.
Penolakan terhadap permohonan audiensi yang diajukan YPKP’65 bersama Forum 65 dinilai sebagai ketidakseriusan pemerintah dalam penyelesaian tuntas Tragedi 1965.
Penolakan Menkopolhukam melalui surat yang ditandatangani pejabat Deputi Bidkor Hukum dan HAM, Jhoni Ginting, SH, MH ini kemudian juga dibahas sehari berikutnya (14/9) di Forum 65.
Bagi YPKP 65 sendiri, pengejawantahan mandat rekonsiliasi model non-yudisial pun, bukan saja besar tantangan dan aral yang merintanginya. Melainkan juga telah ditelikung oleh kekuatan politik sisa Orba yang anti rekonsiliasi dan selalu berupaya melanggengkan impunitas para pelaku kejahatan HAM masa lalu.
Beban sejarah yang mestinya memang dituntaskan pada era pemerintah Jokowi-JK sebagaimana terangkum dalam program Nawacita ini, pada kenyataannya makin tak jelas skema dan arah penyelesaiannya.
Penting kiranya YPKP 65 menanggapi beberapa item yang menjadi alasan dan pertimbangan Kemenko Polhukam dalam penolakannya terhadap permohonan YPKP 65 untuk beraudiensi baik dengan Presiden maupun dengan Menko Polhukam paska reshufle kabinet yang lalu:
Pertama, bahwa permasalahan yang disampaikan YPKP 65 sudah pernah diterima Menko Polhukam (9/5/2016) dan terhadap data tentang adanya kuburan massal di beberapa wilayah di Indonesia saat ini masih dibahas oleh tim koordinasi penanganan dugaan pelanggaran HAM berat Kemenko Polhukam. Terhadap alasan dan pertimbangan ini, YPKP 65 berkeyakinan pada pentingnya mengawal secara konsisten realisasi program Nawacita pemerintah yang dalam butir isinya telah memberikan kejelasan upaya penuntasan kasus kejahatan HAM Indonesia masa lalu.
Sedangkan terhadap data mengenai kuburan massal korban Tragedi 1965 yang merupakan hasil penelitian kelembagaan YPKP 65, nilai urgensinya sangat penting sebagai bukti pendukung telah terjadinya kejahatan HAM masa lalu khususnya pada rentang 1965-66. Sehingga bagi YPKP 65 yang secara kelembagaan memang difokuskan untuk itu, juga berkepentingan untuk selalu memastikan kejelasan niat baik pemerintah.
Pertimbangan lainnya, diakui maupun tidak, telah beredar rumor miring mengenai langkah sepihak Kemenko Polhukam sebelum masa reshufle; bahwa terhadap keberadaan bukti faktual kuburan massal itu telah dilakukan “verifikasi” di luar koordinasi dengan YPKP 65 sebagai organisasi korban dan/atau pelapor data, maupun dengan lintas intitusi yang semestinya.
Kedua, bahwa untuk mengambil keputusan/penyelesaian peristiwa 1965 pemerintah tidak hanya mendasarkan pada hasil Simposium Tragedi 1965 pendekatan kesejarahan di Aryaduta (18-19/4/2016). Akan tetapi secara komprehensif juga memperhatikan dan mempertimbangkan dari berbagai perspektif baik aspek sejarah, hukum, sosial, politik maupun Hak Asasi Manusia. Yang pada penjelasan berikutnya justru menempatkan hasil Simposium Nasional (baca: simposium tandingan) Pengamanan Pancasila di Balai Kartini pada Juni 2016; sebagai juga alasan dan pertimbangan penolakan permohonan audiensi yang diajukan YPKP 65.
Penting YPKP 65 tekankan bahwa penyelenggaraan “simposium nasional tandingan” ini bukan saja bertentangan dengan amanat rekonsiliasi nasional dan spirit Nawacita pemerintah. Melainkan juga telah jelas-jelas mendistorsi (baca: memanipulasi) itikad luhur rekonsiliasi dengan fitnah terkait komunisme dan/atau fitnah kebangkitan kembali PKI di Indonesia.
Fitnah ini jelas-jelas merupakan wujud perilaku reaksioner yang pada gilirannya hanya akan mengacaukan tahapan rekonsiliasi yang baru saja dirintis dengan mengimani Nawacita pemerintah sendiri.
Ketiga, bahwa di dalam rapat/pertemuan lintas kementerian/lembaga terkait di Kemenko Polhukam pada tanggal 5 Agustus 2016 bersama para pakar dan Komnas HAM, dimana disepakati pernyataan pemerintah disusun dan disampaikan dengan mempertimbangkan frasa tidak ada nuansa salah meyalahkan, tidak menyulut kebencian/dendam dan seterusnya. Bagi YPKP 65 berdasarkan hasil penelitian pengorganisiran di daerah serta mendasarkan ressume hasil-hasil dari Simposium Nasional Bedah Tragedi 1965, telah menempatkan urgensi rekonsiliasi nasional dengan menyudahi segala tetek-bengek dendam maupun saling salah menyalahkan. YPKP 65 lebih menempatkan kehendak rekonsiliasi sebagai pemenuhan prasyarat adanya pengungkapan kebenaran, pengakuan negara, pelurusan sejarah, rehabilitasi korban dan jaminan tak terulangnya tragedi serupa di masa datang. Permasalahan Tragedi 1965 ini, bagi kebanyakan korban penyintas telah bisa move on, namun justru perlakuan diskriminatif dan ekses politik stigma masih lekat berkepanjangan sebagai suatu realitas sosial politik di Indonesia hari ini.
Dalam konteks ini, YPKP 65 mengapresiasi secara sungguh-sungguh ajakan pemerintah untuk menjadikan Tragedi 1965 sebagai pembelajaran bagi bangsa agar di masa yang akan datang tidak mengalami kejadian serupa.
Oleh karenanya, narasi dan makna pembelajaran bagi bangsa ini tidak kemudian dimonopoli berdasarkan wacana dan teori yang dikonstruksi oleh dominasi kekuatan anti rekonsiliasi nasional; itu intinya. Hal itu pula yang jadi salah satu muatan penting Nawacita dimana YPKP 65 berkepentingan untuk terus mengintrodusir semangat dalam mengawal implementasinya. Sehingga dalam konteks pengawalan ini, sesungguhnya penolakan permohonan audiensi dengan Presiden maupun pejabat Menko Polhukam, dapat dinilai sebagai preseden tidak adanya niatan kuat serta ketidakjelasan tindak lanjut penyelesaian Tragedi 1965 secara adil dan bermartabat bagi para korban.
Keempat, penolakan Menko Polhukam terhadap permohonan audiensi yang diajukan YPKP 65 makin menunjukkan kuatnya sinyalemen bahwa pemerintah telah in-wiling and un-ability dalam upaya penyelesaian tuntas Tragedi 1965 yang telah terabaikan selama 51 tahun ini.
Oleh karenanya, berdasarkan realitas sebagaimana yang diuraikan maka patut diduga bahwa upaya untuk mengkomunikasikan secara terus menerus amanat penting rekonsiliasi non yudisial pun telah tertutup rapat jalan dan tahapannya.
Sehingga pilihan akhir jalan bermartabat sebagai negara hukum maka pilihan jalur yudisial harus dibuka kembali, sebagaimana rekomendasi yang telah diserahkan Komnas HAM setelah seluruh penyelidikan dan investigasinya diterima Kejaksaan Agung RI.
Jakarta, 19 September 2016
Bedjo Untung
Ketua YPKP 65
Your comment?