Rohingya dan Tragedi Kemanusiaan ’65
 
	Misbach Tamrin*
Diplomasi penyelesaian eskalasi tragedi pembantaian etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar yang dilakukan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi; tampaknya merupakan langkah terobosan yang fenomenal. Baik bagi dunia, maupun bagi kita sendiri.
Berarti kini kita bisa menanting bukti. Bahwa Indonesia adalah sebagai sebuah negeri yang bernuansa konsisten dan tulus memperjuangkan demokrasi dan HAM.
Bukan seperti negara-negara kapitalisme nasional yang kebanyakan salah tingkah dan alergi terhadap demokrasi dan HAM.
Karena terkadang penguasa bertindak represif mempertahankan kepentingan sistem kekuasaan otoriter. Terhadap musuh-musuhnya yang beroposisi.
Selalu kiatnya atas dasar pelanggaran demokrasi dan HAM.
Aung San Suu Kyi, tokoh pejuang (aktivis) pro-demokrasi yang pernah memenangkan hadiah Nobel. Tadinya pelopor oposisi yang militan. Kini selaku pemimpin penguasa de-facto Myanmar.
Tak heran kita, jika banyak menganggapnya terlibat. Dalam kekejaman penindasan represif pemerintahan Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya di Rakhine.
Betapapun kental dan kokoh pro demokrasinya yang mungkin tersisa. Setelah naik panggung secara terbatas sebagai penguasa. Suu Kyi selaku pemimpin wanita baja yang keras secara ideologis dan politis.
Bersanding tangan di antara kebanyakan para mantan junta militer. Produk terkenal di Asia Tenggara sebagai “negeri jenderal” yang sudah lama karatan. Sejak pemerintahan sipil U Nu digilir oleh kudeta rezim militer Jenderal Ne Win pada tahun 1962.
Ketika Suu Kyi, ditanya wartawan, ia menjawab secara diplomatis: “Tidak ada pelenyapan etnis Rohingya di Rakhine. Yang terjadi hanya konflik sesama etnis yang sedang diusahakan damai oleh pemerintah”.
Ini mengingatkan dengan peristiwa ’65 di negeri kita. Saat kala Presiden Soekarno berusaha menertibkan dan mendamaikan keadaan. Namun, jenderal Suharto terus maju merangsek dengan kudeta merangkak dan merayapnya. Sehingga pembantaian besar Tragedi Kemanusiaan 1965 yang menjatuhkan korban banyak, tak terhindarkan lagi.Rupanya atas dasar terinspirasi oleh kejadian imajiner semacam ini. Perupa “go international” Dadang Christanto berkata: “Rohingya di seberang lautan tampak. Genosida 1965-1966 di tanah air tak tampak…..”
Misbach Tamrin, perupa yang tergabung dalan Sanggar Bumi Tarung.

![Karya perupa Sanggar Bumi Tarung [Dok. Misbach Tamrin]](http://ypkp1965.org/wp-content/uploads/2017/09/mt_rohingya1b-300x183.jpg)


 
						 
						 
						 
						 
						 
						
						 
						
						 
						
						 
						
						 
						
						 
								
								 
								
								 
								
								 
								
								 
								
								 
								
								 
								
								 
								
								
Your comment?