YPKP 65 Gagas Konsep Pariwisata Edukatif di Kota Tangerang

1210 Viewed Redaksi 0 respond
update
November 22, 2019

TANGERANG – Banyak jenis-jenis pariwisata di Kota Tangerang, hal tersebut jelasnya mengkonsepkan sebuah profil dan identitas kota terkait. Namun, banyak hal yang tidak diketahui oleh publik, khususnya penduduk Kota Tangerang sekalipun. Banyak situs-situs tersembunyi; atau memang sengaja disembunyikan oleh pemerintah kota ini.

Periode 1965 dilansir sebagai sebuah tragedi kemanusiaan atas siapa saja yang dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Tidak menutup kemungkinan, Kota Tangerang yang dikenal dengan tagline Akhlakul Karimah-nya juga ikut serta melewati masa berdarah itu. Kota Tangerang yang telah disahkan sebagai kota Lapas oleh Astrawinata, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) era Presiden Soekarno, tepatnya tahun 1964 di Lembang, Bandung.

Namun, hal tersebut berubah sejak tahun 1965-1979; konsep kota Lapas itu diubahnya menjadi kamp kerja paksa atau biasa disebut kamp konsenterasi oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dibawah Jendral Soeharto. Dilansir dari data yang didapati oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 (YPKP), jumlah tahanan berkisar 2000-an; sebagian besar pindahan dari luar Kota Tangerang.

Tempat-tempat yang dulunya dipergunakan sebagai kamp konsenterasi, kini telah beralih menjadi taman dan pusat perbelanjaan. YPKP 65 berkeinginan jika tempat-tempat terkait dijadikan sebagai wadah pariwisata yang edukatif berupa memorial park; didasari sosial, budaya, dan HAM.

 

Tapak Tilas Tapol Kota Tangerang

Kota Tangerang dinilai sebagai kota penjara, karena terdiri dari beberapa lapas; Lapas Kelas I, Lapas Kelas II, Lapas Wanita, Lapas Anak (Pria), dan Lapas Anak (Wanita). Bedjo Untung selaku mantan tapol dan ketua YPKP 65 menapak tilas apa yang pernah ia dan tapol lain alami saat tahun 1971, sebuah momentum awal pemenjaraannya di Kota Tangerang.

“Saya yang tahu persis, saya berada di Tangerang sejak tahuh 1971 sampai 1979, sebagai tahanan politik untuk kerja paksa di wilayah ini,” ungkap Bedjo pada reporter updatenews.co.id, Rabu (20/11)

Menurut Bedjo, dulunya para tapol dipelakukan secara tidak manusiawi. Bahkan, para tentara dan sipir tidak memberikan hak untuk berbicara. Ditambah lagi, para tapol juga tidak diberikan makan secara layak. Terlebih, hasil kerja paksa di kebun dan peternakan juga dikuasai oleh tentara.

“Semua hasil kerja dari tapol dikuasai oleh tantara. Kami tidak punya hak menjawab ataupun melawan; itu kami digebuk, disiksa, dan dipaksa untuk bekerja. Kami tidak diupah dan tidak diberikan makan secara layak,” ulas Bedjo

Selain Bedjo, ada juga Tuba Bin Abdurrahim tapol asal Kota Tangerang yang juga mantan anggota Pemuda Rakyat (PR). Ia mengenang tragedi kelam di pertengahan 65 itu. Saat pemberangusan PKI beserta underbouw-nya, ia terjebak pada situasi yang genting. Maka dari itu, ia memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuanya di Brebes, Jawa Tengah. Namun, pada tanggal 16 November 1965, ia dijemput tantara di kediaman orangtuanya.

“Ibu saya bengong. Nggak ada kata-kata yang keluar dari mulut ibu saya. Ibu saya bilang, ‘pokoknya mati atau hidup kamu sama ibu. Melas temen anakku’,” kenang Tuba

Bersama Bedjo, hingga hari ini Tuba masih menuntut keadilan dan tanggung jawab negara. Menurutnya, negara harus minta maaf terhadap para mantan tapol. Sebab, para mantan tapol tidak terlibat dalam proyeksi pembunuhan tujuh jendral dan kudeta.

“Saya sebagai korban meletakkan harapan pada generasi muda bahwa sejarah kelam itu bukan hanya sebagai pengetahuan. Tapi dijadikan sebuah pelajaran yang sangat berharga, guna mencegah keberulangan dan membangun peradaban,” harap Tuba

 

Gagasan Pariwisata Oleh YPKP 65

YPKP 65 seringkali menyebut Kota Tangerang sebagai kota penjara. Bedjo menggagas konsep memorial park atas kenangan pahit yang dialami oleh para mantan tapol 1965-1979 di Tangerang. Gagasan kota ramah HAM merupakan salah satu tolok ukur yang digunakan YPKP 65. Terlebih, di Korea Selatan dan Jerman dijadikan percontohan oleh YPKP 65. Menurut Bedjo, Tangerang bisa melakukan hal yang sama dan memunculkan konsep beda ketimbang kota lain.

“Karena Kota Tangerang ini memiliki satu kekhususan, maka ini harus dijadikan sebagai simbol yang lain daripada yang lain dari semua kota di seluruh Indonesia. Makanya, saya berharap pada pemerintah Kota Tangerang mampu menjadikan Kota Tangerang sebagai kota wisata sejarah, budaya, dan sosial,” usul Bedjo

“Gunanya, supaya generasi muda mau belajar dari sejarah kotanya,” sambungnya

Beberapa titik yang dulunya bekas kamp konsenterasi bisa dijadikan memorial park. Seluas 115 hektare, tempat tersebut berada di Kelurahan Cikokol, Kecamatan Babakan, berbatasan dengan kali Cisadane.

“Bekas area yang dulunya kamp konsenterasi, yang dari Cikokol itu disebutnya Area 1 dan Area 2; dari Babakan sampai ke Cikokol seluas 115 hektare dijadikan kamp konsenterasi dan perbatasannya hingga kali Cisadane; itu bisa dijadikan memorial park,” usul Bedjo

Terkait beberapa komponen yang harus dilengkapi, YPKP 65 menyanggupi diri mereka untuk mengundang pihak luar sebagai faktor pendukung; delegasi Guang Ju (Korea Selatan), delegasi Jeju (Korea Selatan), dan museum holocaust (Jerman). Ada pula pihak dalam negeri; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan kemudian Historia (Bonnie Triyana).

Bagi Bedjo, pariwisata Kota Tangerang terkesan miskin dalam konsep, terlebih cenderung buang-buang anggaran. Dicontohkan seperti Taman Gajah Tunggal dan Taman Burung yang menurut Bedjo tidak memiliki pesan moral, kecuali Taman Daan Mogot yang memiliki konsep utuh perlawanan bangsa terhadap fasis Jepang.

“Kota Tangerang meciptakan lokasi wisata itu sangat-sangat miskin dalam konsep, seolah hanya mencari-cari dan buang-buang anggaran. Contoh, Taman Gajah Tunggal dan Taman Burung di Cikokol; enggak ada pesan moralnya. Taman Daan Mogot juga memiliki konsep bagus sebetulnya dalam rangka melawan fasis Jepang saat itu,” terang Bedjo

Hingga hari ini, pembahasan isu 1965 masih menjadi isu sensitif yang sering digodok sekelompok kalangan, sentimen komunistophobia masih berkembang di Indonesia, tak terkecuali isu ini dilihat dari sudut pandang HAM. Maka dari itu, Bedjo menerangkan jika konsep memorial park ini tidak memiliki muatan politik; murni untuk menunjukan sejarah pada generasi muda.

“Terang saya begini, ini memorial park tidak memiliki niatan politik. Kami ini murni untuk menunjukan kepada publik; terutama generasi muda tentang sejarahnya. Silahkan, anak muda sendiri yang menilai bahwa pada tahun 1965 sampai tahun 1979,” terang Bedjo

“Ini merupakan kesempatan yang bagus bagi Dinas Pariwisata untuk terciptanya kota pariwisata di Tangerang, khususnya wisata sejarah, sosial, dan budaya, serta HAM kalau boleh,” sambung Bedjo

 

Sudut Pandang Sejarawan

Periode 1965 hingga 1979 di Indonesia masih saja disebut-sebut sejarah kelam bagi sebagian orang di Kota Tangerang, khususnya mereka yang dipenjarakan tanpa pengadilan. Radjimo Sastro Wijono selaku ketua Masyarakat Sejarawan Banten, baginya peristiwa 1965 harus menjadi pembelajaran. Jika tingkatannya lokal, hal ini dinilai akan menimbulkan kisah yang memiliki ciri khas.

“Salah satu peristiwa sejarah yang semestinya dapat menjadi pembelajaran bersama adalah peristiwa 1965. Pada peristiwa yang merupakan rangkaian, kejadian ini di level lokal memiliki kisah yang khas. Bila akhir-akhir ini di Tangerang ditemukan kamp konsentrasi pada kejadian pasca 1965, ini merupakan hal yang patut dicatat” ujar Radjimo saat dihubungi reporter updatenews.co.id, Kamis (21/11)

Bagi Radjimo, ada tiga komponen yang harus dicatat atas adanya fenomena kamp konsenterasi di Kota Tangerang.

“Pertama, konteks lokal peristiwa pasca 1965 di daerah  Banten, yang dulunya bagian wilayah Jawa Barat. Kedua, keberadaan kamp konsentrasi pada peristiwa pasca 1965; ini merupakan kenyataan yang berbeda di daerah lain yang biasanya adalah kuburan massal. Ketiga, relasi kamp konsentrasi dengan peristiwa sebelumnya,” papar Radjimo

Radjimo mengapresiasi memorial park yang digagas oleh YPKP 65. Ada nilai yang ditawarkan melalui konsep ini terkait masa lalu di Kota Tangerang, terlebih pada penemuan titik-titik tempat bekas kamp konsenterasi oleh YPKP 65.

“Kemudian, bila lokasi yang baru ditemukan ini akan dijadikan memorial park, ini akan menarik. Ada nilai yang akan coba ditawarkan dalam ingatan masa lalu dari lokasi ini,” ungkap Radjimo

“Tentu saja akan berpengaruh terhadap kesejahteraan, kebudayaan, dan sosial di Kota Tangerang dan Banten bila taman ingatan (memorial park) ini akan dibangun,” sambung Radjimo

Konsep memorial park, bagi Radjimo, pendirian memorial park merupakan suatu gagasan yang patut diapresiasi. Namun, salah satu komponen pendukung paling penting ialah nilai yang akan dijadikan tema pembelajaran di masyarakat.

“Sebagai seorang yang menganggap sejarah merupakan penting guna arah transformasi sosial, pendirian taman ini tentu patut diapresiasi. Akan tetapi, yang perlu didahulukan adalah nilai apa yang akan dijadikan tema pembelajaran buat masyarakat sekarang ini,” usul Radjimo

Dinas terkait, khususnya Disbudpar, dikatakan harus mengetahui keberadaan situs-situs bekas kamp konsenterasi tahun 1965 hingga 1979. Menurut Radjimo, perlu ada kajian mendalam terkait perihal ini sebelum diadakannya kajian komperhensif.

“Terkait dinas setempat perlu mengakui keberadaannya, saya kira ini perlu pengkajian yang lebih mendalam bagaimana kejadian yang sebenarnya terjadi. Dan di sini tidak bisa mengandai-andai benar atau tidak sebelum ada kajian yang komprehensif,” tegas Radjimo

“Kuncinya, kajian historis sebelum adanya pengakuan,” pungkas Radjimo

(Gilang/Red)
UpdateNews
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
Ilustrasi pembantaian 1965 (Andreas Iswinarto)

“Saya Bukan Kriminal”

Proses pengambilan gambar yang dilakukan pada Sabtu (23/11) oleh 6 mahasiswa jurnalistik dari Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Gading Serpong di kantor YPKP 65 [Foto: BU)

Angkatan Muda dan Proses Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965

Related posts
Your comment?
Leave a Reply