[Cerpen] Kamboja – Dhianita Kusuma Pertiwi.

554 Viewed Redaksi 0 respond
Screen Shot 2022-02-27 at 3.57.37 PM

Tidak ada pilihan lain. Menjadi asing adalah satu-satunya cara menyelamatkan dirimu, Nduk. Maaf, Bapak tidak bisa menyelamatkanmu.

 

Bibir pucat itu masih enggan menguarkan baur kemerahan meski pemiliknya, seorang perempuan berambut ikal sebahu dan kacamata hitam yang enggan ditanggalkan dari wajahnya, menggigitnya cemas beberapa kali. Kelopak bunga kamboja yang tak kalah pucat terbawa angin dan dikalahkan gravitasi, sesekali menghalangi pantauannya. Sebuah prosesi pemakaman sedang berlangsung lima puluh langkah kaki dari tempatnya berdiri–mengundangnya dengan cara paling terkutuk.

 

Sekelompok orang, tidak lebih dari sepuluh, mengelilingi tanah gembur yang masih terus digali oleh tiga lelaki, dua diantara mereka pernah dikenalnya dengan baik. Tidak ada yang menangis, tidak satu pun. Mereka memang tidak akan menangisi kematian. Apalagi kematian seorang laki-laki yang telah menjalani lebih dari dua dasawarsa dari hidupnya sebagai bulan-bulanan negara. Kematian agaknya menawarkan kebebasan yang lebih layak dirayakan daripada kehidupan di dunia.

 

Derak angin yang menggugurkan kelopak kamboja dari ranting pohonnya turu menyibakkan lembaran kain yang dipasang beberapa perempuan di kepala mereka. Salah satu dari mereka yang berdiri paling dekat dengan bibit liang beberapa kali berusaha tetap melindungi rambutnya yang keperakan dari terik matahari, terus mencoba meski kain tipis itu terus menerus diterpa angin. Sementara matanya yang sayu tak kunjung bergerak dari lubang yang semakin lama semakin dalam. Hanya sayu dan lemah, tanpa air mata yang mengalir dari sana.

 

Sepasang mata sayu itu melemahkan batin perempuan berkacamata hitam.

 

Sekelebat muncul keinginan untuk berjalan melewati setapak yang dibingkai rerumputan liar dan pecahan batu nisan, mendekati perempuan yang dikenalnya itu, lalu memeluknya. Tapi ia kembali teringat orang-orang itu tidak juga saling berpelukan di hari pemakaman. Tidak, tidak ada yang perlu dijadikan alasan mengharu biru atas kematian seorang laki-laki yang telah berhasil bertahan hidup di bawah injakan sepatu bot dan hentakan ekor ikan pari yang culas. Kematiannya di luar jeruji penjara adalah sebuah perlawanan.

 

Namun perempuan berkacamata hitam itu mulai merasakan panas di matanya, juga dorongan dari dadanya yang terlalu kuat untuk diredam. Ia membiarkan dirinya menangis, meski tak tahu pasti apa yang membuatnya menangis. Mungkin ia marah melihat semua orang yang masih bisa berdiri di bibir liang itu tidak menangis. Mungkin ia gusar dengan dirinya sendiri yang tidak punya cukup keberanian untuk berjalan mendekat ke sana. Mungkin ia murka dengan nama aslinya yang tidak akan pernah kembali.

 

Genangan air mata sempat memburamkan pandangannya, saat sekujur tubuh terbungkus kafan mulai dihantarkan dari atas permukaan tanah ke perut bumi. Jarak pandang matanya tak cukup untuk memberinya kesempatan mendapati dengan jelas wajah laki-laki yang pernah mengantarnya ke sekolah untuk dua minggu sebelum dibawa pergi ke ujung timur, laki-laki yang pernah dirindukannya setengah mati saat teman-temannya menceritakan tentang bapak mereka, dan laki-laki yang juga memintanya pergi dengan sebuah identitas baru yang asing.

 

Tidak ada pilihan lain. Menjadi asing adalah satu-satunya cara menyelamatkan dirimu, Nduk, ujar laki-laki itu di bingkai pintu rumahnya. Sejuta serapah ditelan perempuan yang diajaknya bicara–termangu dengan beban bawaan di pundaknya yang terasa semakin berat. Ia terpaku di sana beberapa menit, berharap kelebat kelopak kamboja yang jatuh di pekarangan rumah akan membuat laki-laki itu berubah pikiran. Namun empat mekar telah merelakan dirinya dibawa angin, dan air muka laki-laki itu menyiratkan keyakinan untuk melepas putri satu-satunya ke raya belantara.

 

Tidak ada pilihan lain. Perempuan itu telah menjadi yang liyan. Ia katakan pada semua orang ia tak punya bapak dan ibu, tak juga seorang sanak saudara. Ikrar dalam benaknya tak tergoyahkan: ia tidak akan sudi menjejakkan kakinya lagi ke rumah masa kecilnya, tidak mau lagi mendapati kepalanya disambangi rejana akan cita-cita gadis polos. Seorang perempuan baru telah dilahirkan ke dunia, disapih ibundanya dan dilepas ayahnya terlalu pagi.

 

Kini laki-laki yang pernah mengantarnya ke perasingan itu telah terperam di dasar liang, terdiam dan terasing di sana sampai bumi akhirnya merasa terlalu lelah dijajah dan dimamah. Dengan gerakan teratur tiga orang laki-laki yang sama memasukkan kembali hamburan tanah ke dalam liang yang telah berisi raga manusia. Seorang laki-laki lain berjalan menembus lapisan pagar manusia di bibir liang, kedua tangannya membawa dua bilah kayu simetris yang telah dipoles dengan pelitur.

 

Dengan gerakan cekatan pria pembawa bilah kayu itu menancapkan nisan di kedua ujung liang lalu menggaruk tanah di sekitarnya dengan kedua tangan, mengumpulkannya di kaki kayu, lalu memadatkannya. Sepotong nama yang dituliskan dengan cat putih di salah satu permukaannya terlihat mencolok, dipantulkan terik di atas ubun-ubun. Sepasang mata di balik kacamata hitam itu memercing, berusaha menangkap tulisan yang digaris dengan hati-hati dan penuh kesabaran itu.

 

SUMITRO.

12-12-1936

05-02-2005

 

Nama yang sama yang didapatinya di layar televisi dua hari lalu, di sebuah siaran berita malam.

 

Kantor lembaga bantuan hukum baru saja diserang oknum yang mengaku pembela agama dan negara saat sebuah pertemuan sedang berlangsung. Puluhan undangan yang kebanyakan adalah para mantan tahanan politik di era pemerintahan sebelumnya terjebak di dalam gedung selama setengah hari. Situasi tiba-tiba memanas saat orang-orang berpakaian serba putih itu mulai berteriak dan melemparkan batu ke arah gedung. Sumirto yang tengah duduk tak jauh di dekat salah satu jendela tidak melihat saat sebuah batu berukuran kepalan tangan dilemparkan dari luar, menembus kaca dan menghantam kepalanya.

 

Tidak ada pilihan lain. Menjadi asing adalah satu-satunya cara menyelamatkan dirimu, Nduk. Maaf, Bapak tidak bisa menyelamatkanmu.

 

Dorongan itu kembali terbit dalam dadanya, kali ini membuncahkan genangan air mata yang tak mungkin lagi ditahannya. Perempuan itu mengangkat kacamatanya, membiarkan debur angin menerpa kelopak mata dan pipinya yang telah basah. Sayup-sayup mulai terdengar olehnya lantunan doa pelepasan, menggerakkan lehernya tertunduk tanpa sepenuhnya disadari.

 

“Melati!” jerit seorang perempuan.

 

Perempuan itu mendongakkan kepalanya, mendapati ibunya yang berdiri tepat di tepi gundukan makam melihat ke arahnya. Sontak tangannya kembali memasang kacamata hitam di batang hidungnya yang belum kering dengan air mata, diikuti dengan tubuhnya yang berbalik ke belakang dengan cepat.

 

“Melati! Melati!

 

“Namaku Kamboja. Namaku Kamboja,” gumam perempuan itu seraya melangkahkan kakinya dengan serampangan, tidak memperdulikan gundukan-gundukan tanah dan jerat sulur rumput liar di bawahnya.

 

“Namaku Kamboja. Namaku Kamboja. Namaku Kamboja.”

 

“Melati!”

 

Suara itu terdengar makin sayup saat ia telah berdiri di samping mobil sedan yang telah menunggunya di pintu pemakaman. “Namaku Kamboja. Namaku Kamboja,” gumamnya terus menerus, sementara tangannya membuka pintu mobil. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas jok depan dengan nafas memburu, “namaku Kamboja, namaku Kamboja.” Laki-laki yang duduk di kursi pengemudi menatap istrinya dengan tatapan aneh.

 

“Apa?”

 

Mulut perempuan itu seketika terkatup. Ia menggeleng lemah tanpa sedikit pun melihat ke arah laki-laki di sampingnya.

 

“Ayo pergi.”

 

Depok, September 2020

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
Screen Shot 2022-02-19 at 1.22.59 PM

“Korban Tragedi 1965 : Permintaan Maaf Belanda Pukulan Keras buat Jokowi” – CNN Indonesia

274487107_10220538555473783_9109675971139437131_n

Jembatan Bacem : “…. Merah Bengawan Solo Mengalir Sampai Jauh Akhirnya ke Laut”

Related posts
Your comment?
Leave a Reply