WAWANCARA BEDJO UNTUNG dengan BBC INTERNATIONAL : TIADA REKONSILIASI TANPA PENGUNGKAPAN KEBENARAN

804 Viewed Redaksi 0 respond

Ini adalah edisi Bahasa Indonesia dari naskah asli dalam Bahasa Inggris. klik naskah asli Bahasa Inggris disini 

 

  1. Jokowi menjanjikan penyelidikan pelanggaran sejarah ini ketika berkampanye untuk Presiden pada tahun 2014 – mengapa, seperti yang Anda ketahui, dibutuhkan waktu hingga 2021/2 baginya untuk melakukan penyelidikan – satu tahun sebelum dia meninggalkan jabatannya?

Ya, Jokowi memang menjanjikan dalam kampanye pemilihan Presiden pada 2014 ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat secara bermartabat dan berkeadilan. Bahkan, dalam program RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional)  mencantumkan program dalam Nawa Cita. Salah satu butir rujukannya adalah  menyelesaikan pelanggaran HAM berat. Namun, sayang justru di akhir masa pemerintahannya yang tinggal 1 tahun, Jokowi baru memenyampaikan “pengakuan” dan “penyesalan”.

Ini adalah konsekwensi logis dari  diikutsertakannya para jenderal, orang-orang di lingkaran kekuasaan Jokowi yang diduga terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia; kasus penculikan aktivis mahasiswa (1998), kasus penembakan mahasiswa Trisakti, kasus Semanggi I dan II, kasus Tanjung Priuk, invasi ke Timor Leste, dll.

Hal inilah yang oleh para korban, pegiat hak asasi manusia dan masyarakat sipil sangat kecewa terhadap kebijakan Jokowi yang memberi kepercayaan dan menjadikan mereka sebagai pembantunya, menteri-menteri yang tentunya akan melindungi kepentingannya.

Bagaimana  mungkin akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM  apabila orang-orang yang diduga terlibat kasus kejahatan kemanusiaan  justru dipercaya untuk menyelesaikannya?

Tentu, Jokowi  ingin meninggalkan legacy yang  baik, agar bisa dikenang dan dicatat dalam sejarah  sebagai presiden yang bisa menyelesaikan pelanggaran HAM. Namun sayang. Jalan pintas penyelesaian secara non-yudisial yang Jokowi gagas, tidak berbasiskan  aturan, norma hukum yang semestinya harus dilalui. Yaitu, mestinya pengungkapan kebenaran, dan digelarnya pengadilan adalah suatu keharusan   agar status hukum para korban menjadi jelas.

  1. Apakah pemerintah tulus menyesali pelanggaran hak di masa lalu? Apa yang ditunjukkan oleh kurangnya komitmen untuk mereformasi sistem peradilan militer dan proses peradilan? Apakah pengakuan tersebut benar-benar mengakui bahwa pelanggaran hak tidak “terjadi” begitu saja, tetapi muncul dari penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah?

Sejujurnya, sebagai orang timur yang memiliki etika peradaban luhur, saya mengapresiasi  langkah Jokowi yang menyampaikan “pengakuan” dan “penyesalan” atas terjadinya  pelanggaran HAM Berat masa lalu. Namun, bila dipelajari secara lebih mendalam, Jokowi tidak secara tegas ingin pertanggungjawabkannya. Ia menyampaikan penyesalan namun tidak  juga mengucapkan maaf. Presiden juga menekankan tidak menegasikan proses judicial. Mengapa tidak dengan tegas, instruksikan saja kepada Jaksa Agung untuk segera menyidik atas kasus-kasus yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM?  Segera saja  bentuk Pengadilan HAM adhoc seperti yang didesak oleh para korban?

Bahkan, saya pribadi juga kecewa atas pernyataan Menko Polhukam (Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan  Mahfud MD – yang tentunya dalam kapasitas sebagai pembantu Presiden – menyatakan bahwa untuk membawa kasus pelanggaran HAM Berat ke pengadilan sangat sulit, kurangnya alat bukti, saksi dan pelaku sudah banyak yang meninggal dunia, dll.

Ini mengisyaratkan bahwa komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Berat  melalui jalur pengadilan (judicial process)  hanyalah lip service belaka.

Dari sisi korban, saya selalu bilang, bukti untuk membawa kasus kejahatan kemanusiaan, genocida 1965 ke pengadilan sangat cukup. Korban dan Saksi masih banyak yang hidup. Lokasi terjadinya peristiwa jelas ada, misalnya di Pulau Buru, penjara Nusa Kambangan, kamp kerja Paksa Tangerang, Salemba Jakarta, Kalisosok di Surabaya, dll. Waktu (tempus delicti) juga jelas periode Oktober  1965 – 1979 bahkan sampai sekarang para Korban masih alami persekusi.  Juga, bukti-bukti administratif Surat Pembebasan Tahanan Politik yang ditandatangani penguasa militer Kopkamtib, Laksusda, dll. Dan, yang lebih penting lagi, YPKP 65 telah menemukan 356 lokasi kuburan massal yang tersebar di seluruh Indonesia. Ini bukti adanya mass killing di Indonesia pada 1965/1966.

Selama ini ada kendala sebagai akibat dari sistem peradilan militer dan proses peradilan warisan Orde Baru.  Ketika Tim Penyelidik Komnas HAM pro-justicia  melakukan penyelidikan peristiwa 1965/66  tidak ada jenderal TNI yang mau hadir untuk lengkapi  penyelidikannya. Oleh sebab itu Jokowi harus pastikan perlunya mereformasi system peradilan militer dan merevisi Undang-Undang Nomer 26/Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ad hoc, agar para jenderal yang diduga terlibat kasus pelanggaran HAM Berat bisa dihadirkan, upaya paksa  untuk dimintai keterangannya oleh Komnas HAM/Jaksa Agung.

Benar bahwa kejahatan kemanusiaan 1965/1966 adalah  kejahatan yang dilakukan oleh militer dengan menyalahgunakan kekuasaan Negara.

Dengan menyesal saya ingin katakan  bahwa pernyataan Bapak Presiden JokoWidodo  masih belum cukup. Saya mendesak perlunya pengungkapan kebenaran  peristiwa tragedy 1965  sehingga publik tahu siapa aktor intelektual di balik pembunuhan massal 1965 yang nyata-nyata diorkestrasi  oleh aparat kekuasaan.  Pemberian santunan (reparasi) phisik, layanan medis/psikososial terhadap korban, belum menyelesaikan inti pokok masalah.

  1. Mengapa mereka hanya memutuskan untuk mengakui 12 pelanggaran hak tersebut, bukan yang lainnya? Misalnya, pembantaian Tionghoa di Kalimantan tahun 67, saya kira tidak diakui, sedangkan pembantaian 65-66 dan kerusuhan Mei 1998 diakui.

Itulah  bukti ketidak seriusnya pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM. Juga, korban yang akan memperoleh reparasi berdasar data yang telah diselidiki Komnas HAM. Padahal, Komnas HAM dalam penyelidikannya belum mencakup korban secara menyeluruh. Pengalaman saya dalam mendampingi Korban 65 di berbagai kota di seluruh Indonesia, banyak korban  yang belum menerima SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM)  yang diterbitkan Komnas HAM. Jadi, sangat perlu untuk juga membuka penyelidikan baru hal kasus pelanggaran HAM Berat: Kasus pembunuhan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat, Serawak dan Kalimantan Utara. Secara khusus juga Komnas HAM perlu menyelidiki kasus Kamp Kerja Paksa di Pulau Buru karena memiliki bukti kejahatan kemanusiaan yang cukup sehingga tidak ada lagi dalih kurangnya alat bukti agar bisa diproses melalui jalur judicial.

Sampai hari ini Negara/Pemerintah belum membentuk Tim Pencari Fakta untuk menyelidiki berapa Korban Tragedy 1965 secara menyeluruh. Pada 1965/1966 pernah ada Tim Pencari Fakta bentukan Presiden Sukarno yang dipimpin oleh Oei Tjoe Tat namun proses kerjanya selalu dikontrol oleh militer sehingga tidak menghasilkan data yang sesungguhnya.  Tim Pencari Fakta pun tidak bisa melaksanakan tugasnya karena Oei Tjoe Tat juga akhirnya ditahan  oleh rejim otoritarian Suharto. Jadi, kalau pemerintah serius ingin menyelesaikan pelanggaran HAM Tragedy 1965, saya atas nama YPKP 65 mendesak agar Negara/Pemerintah membentuk Tim Penyelidik/Pencari Fakta  untuk mencatat jumlah para Korban sebagai akibat penahanan, pembunuhan, penculikan, penyiksaan, pelecehan seksual, kerja paksa  termasuk juga yang terjadi di Kalimantan Barat, Serawak, Kalimantan Utara dan tempat-tempat lain di seluruh Indonesia. Juga korban Exile di luar negeri, mereka bekas mahasiswa Indonesia yang belajar di Tiongkok, Russia, Rumania, Cekoslovakia, dll., yang terhalang pulang karena paspornya dicabut oleh pemerintah militer Suharto.

  1. Bagaimana pengakuan ini dapat dipahami sebagai asli, ketika banyak kebijakan pemerintah dan strategi militer yang mendasari pelanggaran hak masih berlanjut hingga hari ini? Misalnya, pendudukan Papua Barat dan eksploitasi sumber daya alam adalah faktor utama dalam insiden Wamena dan Wasior, namun pemerintah dan militer meningkatkan pembangunan Papua Barat bertentangan dengan keinginan mayoritas penduduk asli Papua.

Memang kecurigaan saudara, kami  rasakan   juga. Selama perundang-undangan dan aturan hukum warisan Orde Baru otoritarian Suharto belum dicabut, mustahil pelaksanaan penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia  akan terlaksana.  Saya tunjukkan beberapa hal: Keputusan Menteri Dalam Negeri yang merujuk pada Keputusan Presiden Nomer 28 Tahun 1975 yang melarang mantan Tahanan Politik dan keluarganya menjadi anggota Pegawai Negeri Sipil  atau Militer, Polisi, dll. Sampai sekarang masih berlaku dan belum dicabut. Meskipun Mahkamah Agung telah membatalkan, namun Presiden belum mencabutnya. Inilah yang akhirnya keluarga korban, anak dan cucu terdiskriminasi oleh peraturan  yang dibuat oleh pemerintah.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2022 juga tercantum larangan  penyebaran ajaran Marxisme yang bersumber dari Ketetapan MPRS No. XXV/Tahun 1966 yang merujuk pada Surat Perintah Presiden Sukarno kepada Suharto pada 11 Maret 1966 yang isinya  telah dimanipulasi  oleh Suharto. Bagaimana ketetapan Undang-Undang merujuk pada surat perintah yang  tidak sesuai dengan maksud si pembuat Surat Perintah yaitu Presiden Sukarno. Dan, ini dilestarikan meskipun rejim authoritarian Suharto telah tumbang. Pelarangan mempelajari dan menyebarkan Marxisme sama saja dengan memasung kebebasan berpendapat dan berdemokrasi yang dapat dijadikan alat pentungan untuk  merepresi gerakan mahasiswa.

Cara-cara pendekatan militer inilah yang terus dilestarikan para pemegang otoritas kekuasaan mengacu kepada sukses menghancurkan gerakan Kiri di Indonesia pada 1965/1966 dan terus berlanjut hingga sekarang yang belum terselesaikan. Bahkan muncul kasus-kasus baru pelanggaran HAM termasuk di Papua.  Tidak salah bila dikatakan pelanggaran Hak Asasi Manusia Tragedi 1965 adalah The Mother of All Human Rights Violations in Indonesia. Jadi, kalau ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM tidak boleh tidak, harus menyelesaikan kasus tragedy 1965 secara adil.

  1. Menurut Anda, apakah pengakuan tersebut dapat menjadi bagian dari strategi untuk menghindari seruan keadilan atas pelanggaran hak di masa lalu, mungkin mencegah kritik atas masa lalu pria yang kemungkinan besar akan menjadi presiden Indonesia berikutnya? Mengingat calon presiden Indonesia berikutnya (dan politisi di sekitarnya) secara kredibel terkait dengan beberapa peristiwa yang diakui Jokowi?

Gerakan penegakan hak asasi manusia tragedy 1965 sudah dimulai dari 1979 ketika aktivis  hak asasi manusia di berbagai negeri di dunia mengecam Indonesia yang menahan 15000 tahanan politik di Pulau Buru dan kota-kota lain di di seluruh Indonesia. Sejak itu, dilakukan pembebasan  massal terhadap tahanan politik. Namun, bagi Tapol pembebasan itu hanya memindahkan tahanan ke tempat yang lebih luas namun tangan dan kaki masih diborgol oleh tentara. Tapol masih dikontrol oleh tentara dan hak-hak dasar dibatasi. Sampai hari ini.

Tahun 1998 ketika rejim authoritarian Suharto jatuh mulai ada sedikit secercah harapan   dengan naiknya Presiden Gus Dur (Abdurahman Wahid) seorang presiden yang paham akan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi. Namun, ia akhirnya dijatuhkan juga. Dan, presiden penggantinya sampai sekarang melakukan “main mata” dengan sisa-sisa kroni Orde Baru   rezim Suharto.

Jokowi memberi karpet merah kepada orang-orang/jendral yang diduga terlibat  kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat di lingkaran kekuasaannya. Ada yang menjadi menteri, penasehat Presiden, kantor Staf Presiden, dll. Alhasil, kebijakan penegakan hukum/hak asasi manusia pada pemerintahan Jokowi nyaris tidak berjalan kalau tidak dikatakan gagal. (Lihat jawaban pertanyaan nomer 1).

Perlu diingat, selama tuntutan keadilan, penegakan hak asasi manusia belum dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengadili para perpetrators dan membuat para penjahat HAM jera, maka  sama saja belum menyelesaikan pelanggaran HAM. Negara dengan jelas ingin melindungi para penjahat hak asasi manusia dan melanggengkan impunitas. Bagi Korban pendiriannya sangat jelas, tegakkan hukum, bentuk Pengadilan HAM adhoc dan segera lakukan penyidikan terhadap para penjahat  yang sangat jelas terlibat kasus kejahatan kemanusiaan. Korban mendesak dan menuntut keadilan, kebenaran,  dan reparasi  seperti yang dimandatkan oleh Undang-Undang Hak asasi Manusia Nomer 39 Tahun 1999.

  1. Pekan lalu pembebasan seorang tentara yang dituduh membunuh warga sipil Papua dalam kasus Paniai Berdarah menunjukkan pemerintah tidak tulus menghapus impunitas dari pelanggaran, namun hari ini seorang tentara juga dipenjara seumur hidup karena mutilasi warga sipil Papua pada bulan Agustus . Apa yang dapat kita pahami tentang kedua kasus ini – apakah keduanya menunjukkan perubahan nyata dalam keadilan bagi para korban?

Sejak semula para korban, pegiat hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil menyangsikan keseriusan pemerintah dalam mengadili para penjahat hak asasi manusia dalam Pengadilan HAM kasus Paniai, Papua. Ini terlihat dari pemilihan Hakim  yang tidak berpengalaman,  pengajuan terdakwa  seorang perwira penghubung di tingkat Kodim. Padahal tindak kejahatan pelanggaran HAM berat ini melibatkan rantai komando  dari struktur komando Kodam  XVII/Cendrawasih. Dan, sudah bisa diprediksi, akhirnya terdakwa dibebaskan.

Namun, pada kasus mutilasi yang dilakukan militer di Mimika Papua, pengadilan memutuskan  menghukum terdakwa dengan penjara seumur hidup.

Kita mengapresiasi atas keputusan hakim yang memutus penjara seumur hidup.  Namun, kita belum serta merta menyimpulkan  ada terjadi  perubahan kebijakan TNI-AD. Sistem peradilan di Indonesia yang masih ada Pengadilan Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, masih rawan akan terjadi  manipulasi dan bisa terjadi akan membebaskan para terdakwa.

 

  1. Jokowi sebelumnya berjanji menghapus segala bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional, termasuk UU Peradilan Militer 1997 – belum terjadi, mengapa? Karena Jokowi berubah pikiran, atau dihalangi oleh politisi di sekitarnya, yang banyak di antaranya sebelumnya adalah petinggi militer.

Sudah  bisa diprediksi. Kehendak untuk  menghapus impunitas  dalam system hukum nasional  termasuk mereformasi Undang-Undang Peradilan Militer belum terlaksana. Karena, kelompok yang paling berkepentingan para terduga pelanggara HAM masih berada di lingkaran kekuasaan Jokowi. Ini bisa dilihat dari  keberadaan Kepala  Staf  Presdiden, Anggota  Dewan Pertimbangan Presiden, Menteri-menteri yang memegang kunci dalam strategi kebijakan pemerintah, masih  memegang kontrol kekuasaan. Sementara itu, wakil-wakil rakyat dalam parlemen, Partai politik tidak melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol eksekutif yang efektif.  Saya belum pernah mendengar ada partai politik yang dengan tegas dan lugas ingin perjuangkan kepentingan para korban pelanggaran HAM. Justru kebalikannya, partai politik menjadi alat legitimasi untuk mengesahkan undang-undang yang tidak berpihak kepada  kepentingan korban maupun rakyat.

  1. Mahkamah Agung RI merekomendasikan program untuk korban seperti rehabilitasi fisik, dukungan psikologis, bantuan kesehatan, dan beasiswa. Sayangnya, namun pemerintah tidak menerapkan langkah-langkah tersebut, malah mengeluarkan korban dari proses pengambilan keputusan. Mengapa pemerintah tidak mengikuti nasihat Mahkamah Agung?

Pertanyaan ini perlu dikoreksi. Mahkamah Agung tidak  merekomendasikan  program untuk korban agar  memperoleh  rehabilitasi fisik, dukungan psikologis, bantuan kesehatan, dan beasiswa. Namun, ada Undang-Undang Nomer 13/Tahun 2006 dan Revisi Undang-Undang Nomer 31 Tahun 2014  tentang  LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) di mana dalam pasal 7 dan 8 bahwa: Korban pelanggaran HAM Berat  akan memperoleh layanan medis/psikososial  dari LPSK termasuk rehabilitasi phisik, bea-siswa, dll. Jadi, sebelum Jokowi  menyampaikan gagasan penyelesaian memberi reparasi, pemulihan kepada korban melalui penyelesaian non-judicial, sudah ada Undang-Undang yang mengaturnya. Tinggal melaksanakan.

Satu hal lain yang perlu diketahui. LPSK juga akan memberikan gantirugi  dan kompensasi kepada Korban pelanggran HAM berat setelah ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jadi, Korban pelanggaran HAM berat Tragedy 1965 dan YPKP 65 selalu mendesak agar pengadilan HAM adhoc digelar agar Korban memperoleh kepastian hukum  dan memperoleh hak-haknya seperti yang diamanatkan dalam undang-undang.

Mahkamah Agung juga telah membatalkan Keputusan Presiden Nomer 28 Tahun 1975 yaitu Keppres yang mengklasifikasi Tahanan Politik Golongan C. Berdasar Keppres ini, Negara bisa memberhentikan Pegawai negeri Sipil/Militer karena dianggap pegawai yang bersangkutan terlibat Gerakan 30 September. Berdasarkan Keppres ini pula yang  menerbitkan peraturan-peraturan diskriminatif  kepada warganegara yang dianggap keturunan mantan Tahanan Politik/anggota Komunis.

Meskipun Keppres ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung, namun presiden belum mencabutnya. Inilah hal penting yang semestinya pemerintah Jokowi segera melaksanakan  rekomendasi Mahkamah Agung.  Ini bukti tidak ada kemauan politik dan kemampuan  Presiden Jokowi untuk menegakkan  hukum khususnya terhadap korban pelanggaran HAM Berat tragedy 1965.

Mengapa pemerintah tidak mengikuti nasihat Mahkamah Agung? Jawabannya  ada di Nomer 1 dan Nomer 2 seperti yang telah saya uraikan di atas.

  1. Apakah ini upaya pemerintah untuk menarik garis di bawah masa lalu, untuk membuka jalan menuju kepresidenan Prabowo Subianto? Dan jika dia memenangkan pemilihan tahun depan, apa implikasinya terhadap hak asasi manusia dan keadilan di Indonesia? Apa kemungkinan implikasinya bagi daerah yang bergolak seperti Aceh dan Papua Barat?

Yang jelas, Presiden Jokowi ingin meninggalkan legacy, di bawah kepemimpinannya ia  bisa menyelesaikan pelanggaran HAM berat – meskipun dengan klaim penyelesaian secara non-judicial. Inilah yang dikhawatirkan oleh para Korban dan para pegiat hak asasi manusia serta masyarakat sipil di Indonesia maupun luar negeri. Apa yang dilakukan Presiden Jokowi dengan jalan pintas penyelesaian secara non-judicial justru berpotensi kuat ingin melanggengkan impunitas.

Para Korban tetap mendesak agar para jenderal yang terduga terlibat kasus pelanggaran HAM Berat harus mempertanggungjawabkannya di muka Pengadilan HAM adhoc. Dengan cara ini penjahat HAM akan memperoleh penjeraan dan penghukuman. Bukannya malah memperoleh kedudukan istimewa di lingkaran kekuasaan.

Implikasi bila Prabowo Subianto memperoleh jalan untuk menduduki kursi kepresidenan pada 2024? Ini merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Prabowo yang bekas menantu dictator Suharto pernah mengatakan akan melanjutkan gaya kepemimpinan otoriter seperti  Jenderal Suharto sang algojo  dalam peristiwa pembunuhan massal 1965. Saya tidak bisa bayangkan, akan terjadi instabilitas, pergolakan rakyat, dan perlawanan rakyat di mana-mana.

 

Kesimpulan dan Tindakan Mendesak

 

  1. Mendesak kepada Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo untuk segera menindaklanjuti pernyataan pengakuan dan penyesalan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat khususnya pada Peristiwa Tragedi Kemanusiaan 1965-1966,  segera mempertanggungjawabkan terjadinya kejahatan kemanusiaan dan  instruksikan kepada Jaksa Agung untuk membentuk Pengadilan HAM adhoc untuk menyidik para perpetrators (penjahat HAM) yang diduga terlibat dalam kasus kejahatan, agar ada penghukuman dan penjeraan serta  tidak ada keberulangan kejahatan yang sama di kemudian hari.
  2. Segera memastikan pengungangkapan terjadinya kejahatan kemanusiaan tragedy 1965-1966 secara sebenar-benarnya, jujur dan terbuka dan mengungkap rantai komando terjadinya genosida 1965.
  3. Segera melaksanakan pemulihan hak-hak Korban: hak politik, social, ekonomi dan budaya yang terampas secara tidak sah sebagai implikasi pada peristiwa kejahatan kemanusiaan 1965-1966, serta mengakhiri stigma dan perlakuan diskriminatif kepada korban dan keluarganya.
  4. Membangun Taman-Taman Memorial di tempat-tempat Kuburan Massal, tempat eksekusi dan penyiksaan sebagai tanda dan pengingat terjadinya kejahatan kemanusiaan untuk pembelajaran generasi penerus.
  5. Kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Republik Indonesia bersama Organisasi Korban segera melakukan pendataan/menerbitkan SKKPH (Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM kepada seluruh Korban dan para keluarganya di seluruh Indonesia dan luar Negeri.
  6. Kepada Negara-Negara Barat (USA, United Kingdom, Jerman, Australia) yang terlibat dalam mengorkestrasi terjadinya pembunuhan massal pada tragedy 1965-1966 berdasar dokumen CIA, UK, Jerman yang telah dipublikasikan, segera melakukan acknowledgement dan pengungkapan penyesalan serta menggalang solidaritas internasional untuk memberikan pemulihan kepada korban dan keluarganya.
  7. Kepada DPR-RI segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan RUU-KKR Rancangan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai payung hukum untuk pemulihan korban secara berkesinambungan.

Salam tetap tegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi.

Tiada Rekonsiliasi Tanpa Pengungkapan Kebenaran

 

Bedjo Untung

Chairperson of YPKP65

 

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.

IBU SUMINI AKTIVIS YPKP65 PATI TUTUP USIA

Bedjo Untung interview with Mr. Rory James from BBC International : NO RECONCILE WITHOUT OPENING UP TRUTH

Related posts
Your comment?
Leave a Reply