Seorang Lelaki dan Masa Lalu – Cerpen HM Tarigan Tentang ‘Operasi Kalong’ Pasca G30S

*Muhammad Tempel Tarigan adalah penyintas / eks tapol ‘1965’
** cover foto sketsa Mardadi Untung
simak pula Operasi Kalong : Dari Penangkapan, Interogasi Hingga Siksa Pecut Buntut Pari
Saya tidak tahu siapa lelaki itu, kecuali setiap pagi melihat tubuhnya yang kurus dan kumal, sedang mengaduk-aduk isi tong sampah. Dari dalam jendela kantor, ia terlihat sedang memilah-milah dan mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dijual dan kemudian benda-benda itu dimasukkan ke dalam karung. Lalu setelah selesai ia pergi dan keesokan harinya datang kembali mengulangi hal yang sama dan begitu seterusnya. Lelaki malang dengan wajahnya yang muram. Ia lebih mirip seorang pecundang yang malas ketimbang gelandangan.
Tapi di suatu hari saya jadi mengenal dia, dengan kisah-kisah yang sulit saya lupakan. Kisah-kisah sekelam malam.
*
Saya sedang berjalan menuju kantor setelah makan siang yang terburu-buru di sebuah kantin kecil ketika mata saya tak sengaja menangkap tubuh kurusnya yang serapuh pokok pohon mati. Waktu itu ia sedang duduk di bawah bayang-bayang pohon Angsana yang rimbun sambil menikmati beberapa lembar koran usang. Untuk ukuran gelandangan tentu tidak mungkin orang seperti dia membaca koran dengan se-khidmat itu. Orang-orang seperti itu biasanya hanya membaca berita-berita kriminal, atau berita-berita murahan sambil mengisap sebatang rokok kretek lalu sesekali tertawa “cengengesan” bila melihat berita atau cerita yang dianggap lucu, dan lima belas menit kemudian koran tersebut ditinggal dan dibuang sembarangan.
Esoknya, beberapa hari kemudian, lagi-lagi saya masih melihat hal serupa, melihat lelaki itu sedang membaca, tapi tidak di bawah pohon yang sama, melainkan di depan sebuah kios loper koran. Ia nampak sedang membolak-balik halaman demi halaman sebuah surat kabar dan si penjual menatap wajahnya dengan muka yang masam. Mungkin ia sangat tertarik dengan headline-nya yang ditulis besar-besar dan terpasang seperempat halaman. Tentang peristiwa Malari, demo yang berakhir rusuh dan Pasar Senen yang habis dibakar. Rupanya ia sangat gemar membaca. Lelaki itu menjadi sebuah teka-teki buat saya.
Hmm, saya jadi ingat … saya masih memiliki beberapa buku-buku yang sudah tidak saya baca lagi. Bagaimana jika saya berikan saja kepada lelaki itu … barangkali ia menyukainya. Dengan kesibukan saya sekarang, hampir tidak mungkin saya membaca buku-buku itu kembali. Tugas-tugas redaksi sudah menumpuk terlalu banyak dan terlalu menyita waktu.
*
“Terimakasih, Bang. Buku-buku yang Abang berikan bagus-bagus semua,” katanya dengan wajah yang gembira ketika beberapa hari kemudian saya menyodorkan buku-buku tersebut dan memberikannya cuma-cuma. Matanya langsung terpacak pada sampul mukanya.
Saya tersenyum sambil memperhatikan wajahnya dan berusaha menebak-nebak, siapakah ia sebenarnya? Naluri saya sebagai seorang wartawan mengatakan, bahwa ia bukanlah orang biasa. Naluri saya juga mengatakan, apa yang saya lihat tentang dirinya bukanlah ia yang sebenarnya. Lalu saya berpikir, bagaimana bila saya dekati dan diam-diam mewawancarainya. Cerita tentang seorang gelandangan intelektual cukup bagus juga untuk dimuat di rubrik Pojok Kota di koran saya. Menceritakan realitas yang sesungguhnya, pengangguran yang semakin banyak tetapi lapangan kerja sangat sedikit.
Tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya, barangkali dengan memberinya sebungkus rokok atau sesuatu yang ia sangat sukai, seperti buku-buku barusan atau majalah atau surat kabar, akan mampu membuka hatinya, hingga dengan sukarela, ia mau bercerita siapa dirinya kepada saya. Tapi itu nanti saja, sekarang lebih baik ia saya ajak makan. Lebih mudah membuat orang bicara di saat perutnya kenyang. Ini hal paling sederhana yang pernah saya pelajari saat lima bulan pertama luntang-lantung di Jakarta mencari kerja. Beberapa orang sangat semangat bicara bila perutnya sudah kenyang. Dan termasuk saya.
*
Begitulah … sejak ia pernah saya traktir makan, sedikit demi sedikit ia mulai terbuka, meskipun lelaki itu masih berbicara dengan seperlunya saja. Tetapi dari caranya berbicara, dari pilihan kata-kata yang digunakannya, semua menggambarkan dirinya yang bukan orang sembarangan. Setidaknya ia pernah mengenyam pendidikan yang cukup lumayan, bukan gelandangan biasa yang awalnya saya lihat. Bahkan ketika saya pancing-pancing dengan satu topik yang tidak umum, ia segera menyambar dan mampu mengemukakan analisanya dengan tepat, dengan kecakapan berbahasa di atas rata-rata. Tapi timbul pertanyaan dalam hati saya, kalau ia pernah sekolah mengapa ia bisa hidup seperti ini? Tidakkah ia tersiksa hidup seperti ini? Tidakkah ia ingin merasakan hidup yang lebih baik?
Sepertinya saya sudah tidak lagi sabar untuk mengenal dirinya, tapi saya harus membuat ia lebih dulu percaya kepada saya, baru ia mau buka suara dan bercerita. Tunggu saja, saya pasti bisa.
*
Di satu sore, di depan sebuah toko kelontong yang baru saja tutup, di samping sebuah warung kopi yang tidak henti-henti melayani pengunjung, ia memulai ceritanya, cerita yang sudah lama saya tunggu-tunggu. Sayup-sayup suara lagu dangdut yang datangnya entah dari mana, terdengar begitu sedih.
“Namaku Koes. Aku lahir, tumbuh dan besar di timur pulau Jawa. Setelah SMA aku melanjutkan kuliah di Jakarta dan kemudian aku bekerja di sebuah bank nasional. Karirku sebenarnya cukup bagus dengan masa depan yang cerah. Tapi itu hanya beberapa tahun yang terlalu singkat yang pernah aku nikmati. Hidup yang bahagia dan nyaris tidak pernah kekurangan apa-apa. Lalu tiba-tiba saja hidupku mendadak berubah ….” suaranya begitu pelan dan berat, seakan-akan diganduli sesuatu dari masa lalu.
Lalu ia mulai bercerita kembali, sambil “kelepas-kelepus” mengisap rokoknya. Kemarin saya telah memberikan lima bungkus rokok kretek untuknya, dan sogokan halus ini ternyata bekerja ….
“Siang itu serombongan orang yang berpakaian militer datang dengan mengendarai dua buah mobil Jeep dan membawaku ke sebuah rumah tua yang dinding-dindingnya berwarna suram. Di depan rumah tua itu berdiri sebuah papan nama yang dibuat seadanya dan bertuliskan, Perkumpulan Tukang Becak Jakarta. Sebuah papan nama yang menandakan, bahwa rumah tersebut masih dihuni dan ada manusia yang tinggal di dalamnya,” ia menarik napas sebelum melanjutkan ceritanya lagi.
“Perkiraanku betul. Masih ada manusia di dalamnya dan bahkan jumlahnya lebih banyak dari yang aku duga sebelumnya. Banyak sekali, tapi yang jelas, malamnya aku jadi tahu, ada dua kategori manusia yang ada di rumah tua itu. Manusia yang menghukum dan manusia yang sedang dihukum. Manusia yang dibebaskan untuk menghukum dan manusia yang pantas disiksa sebab menjadi terhukum.
“Dan sialnya … aku justru berada di tempat itu sebagai manusia terhukum. Sebenarnya aku bertanya dalam hati, jika aku berada di sini untuk dihukum, tentu saja aku harus mempunyai satu kesalahan yang membuat aku pantas dihukum. Aku nyaris tidak pernah melanggar semua larangan Tuhan yang tertulis dalam Alkitab, dan aku juga tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Kecuali … ya, aku akui, aku pernah menjadi pemimpin serikat buruh ….”
Ia menghentikan ceritanya dan memandang orang-orang yang lalu-lalang di pinggir jalan. Hampir dua menit ia terdiam.
“Orang-orang kelak menyebut tempat itu tahanan Kalong,” ia mulai melanjutkan ceritanya lagi. “ Tetapi aku lebih suka menyebutnya kamp konsentrasi, sebuah tempat yang digunakan untuk menahan orang-orang terpelajar, kaum intelektual yang dianggap anti Soeharto atau berseberangan dengan pemerintah.
“Hari pertama aku berada di sini mereka menaruhku di satu kamar yang pengap dan gelap dan berbau busuk. Pikiranku langsung melayang dan berkelana jauh, memikirkan Ibu yang ada di kampung, kakak perempuanku yang setiap bulan selalu mengharap kiriman uang dariku, kekasihku Sri Gania yang sebentar lagi akan aku kawini, dan cita-citaku semula ketika menginjakkan kaki di Jakarta. Dan hari itu … aku berada di satu tempat antah-berantah.
“Lalu suara pintu yang dibuka dan penjaga yang datang segera mengusir lamunanku. Sebuah piring kaleng ditaruh ke lantai dan pintu kembali dikunci. Aku mengambil piring tersebut yang di atasnya hanya ada nasi putih dan seiris tempe yang tidak membuat berselera. Tetapi perutku sangat lapar. Waktu aku ditangkap, sejak pagi perutku sama sekali belum diisi. Baru saja aku mau menyuap ke mulut, aku mencium bau yang aneh. Ternyata nasi ini telah lama basi.
“Aku diam sejenak dan segera menghentikan suapan ke mulutku. Ini sebuah dilema. Jika tidak aku makan, aku sangat lapar. Jika aku makan, nasi tersebut memang tidak pantas dimakan. Tapi aku harus berpikir realistis, sekarang aku bukan lagi berada di kehidupan yang biasanya seperti hari kemarin-kemarin. Ini bukan tempat biasa. Jika hari ini aku diberikan nasi basi mungkin esok hari jauh lebih buruk lagi. Bisa saja sebagai seorang tahanan aku tidak diberi makan ….
“Dan aku mengambil keputusan, aku harus makan, aku harus tetap hidup. Begitulah … akhirnya aku habiskan nasi basi tersebut dan aku nikmati betul-betul. Aku telah menguatkan tekad. Hanya dengan cara itu aku akan tetap hidup.
“Memangnya seperti apa, kehidupan di sana, Mas Koes?” tanya saya penuh keingintahuan ….
“Pahit. Bahkan lebih dari pahit. Tidak ada kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan itu semua,” jawabnya. “Kan aku bilang seperti di awal. Ada dua jenis manusia di dalamnya. Ada manusia yang dibebaskan untuk menghukum dan ada manusia yang pantas disiksa sebab menjadi terhukum.”
“Maksudnya bagaimana, Mas …” tanya saya mengorek lebih dalam.
“Malam berikutnya, dimulailah neraka itu. Kira-kira pukul dua dini hari, interogasi itu dimulai. Aku dibawa ke satu ruang yang bercahaya redup dan tanpa jendela dan mereka mulai menanyakan macam-macam. Jika aku dianggap menjawab dengan tidak jujur, mereka memukuli wajahku hingga babak belur dan berdarah-darah.”
Ia diam kembali, namun matanya menyala-nyala. Ada kemarahan yang tersimpan di sana yang mengumpul sejak lama dan tinggal meledak saja. Saya buru-buru memesan dua gelas kopi ke sebuah warung. Saya harus tahan diri. Cerita ini pasti lebih menarik. Dan untungnya 10 menit kemudian kopi datang.
“Mula-mula mereka mengikat kedua tanganku, lalu salah seorang dari mereka menghampiri dan tanpa banyak bicara langsung mencambuk punggungku berkali-kali dengan sebilah ekor ikan Pari. Sakitnya luar biasa, aku menjerit-jerit saking sakitnya.
“Lalu salah seorang dari mereka menghardik dengan mata melotot serupa iblis neraka. “Ngomong yang bener!”
“Mereka memang binatang …” Mas Koes memaki sambil membuang puntung rokoknya namun ia mulai menyalakan rokok yang berikutnya. Sepertinya emosinya mereda jika ia mengisap sebatang rokok.
“Mereka kembali berkali-kali mencambuki punggungku dengan ekor Pari sialan itu meski mulutku tidak lagi mampu bersuara menahan rasa sakit yang tak tertanggungkan,” Mas Koes berhenti sejenak, ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Kedua rahangnya mengeras.
“Yang paling berat!” katanya, Mereka menyuruhku untuk menulis sepuluh nama orang-orang yang paling dekat denganku, juga berikut anggota keluargaku. Ini betul-betul berat.”
Mas Koes mengepalkan tangannya dan membuang ludahnya sembarangan.
“Dasar binatang, mereka memang tidak memiliki perikemanusiaan! Ketika mereka tahu, aku memberikan jawaban fiktif, kedua jempol kakiku diinjak dengan ujung kaki meja. Ya, Tuhan … sakitnya minta ampun. Aku sampai teriak-teriak karena tidak sanggup menahan itu. Tapi aku harus bertahan melewati siksaan itu. Bagaimana bisa aku menulis yang sebenarnya …. Dengan menulis itu semua, bukankah sama saja dengan aku membunuh mereka. Lebih baik aku mati ketimbang menyeret-nyeret nama mereka.”
Perbincangan ini lebih baik saya tutup. Ini terlalu menguras emosi Mas Koes. Dari tadi ia hanya diam seperti patung batu. Lebih baik wawancara ini dilanjutkan esok hari saja. Sambil memijit-mijit pundaknya, saya bilang kepadanya, bahwa saya enggak tega mendengarnya. Lalu saya pamit dan mengepalkan beberapa lembar uang ke tangannya. Saya ingin ia mengambil cuti beberapa hari dari kegiatannya selama ini. Lebih baik ia memenangkan dirinya dulu.
*
Lima hari kemudian, kami bertemu kembali di tempat yang sama dan buru-buru saya tarik dia. Tidak sulit sebenarnya mencari Mas Koes. Ia tidak pernah jauh-jauh dari tempatnya mencari makan, meskipun saya sungguh-sungguh tidak tahu di mana ia tinggal.
“Sini, Mas. Kita ngobrol lagi ….”
Ia mendekat dan tersenyum, dan langsung mengambil posisi yang nyaman. Saya tinggalkan ia sebentar untuk memesan segelas kopi pahit untuknya, dan segelas lagi teh manis hangat untuk saya. Hari ini suasana hati saya sungguh tidak cocok untuk mencecap segelas kopi.
“Bisa enggak lanjutkan cerita yang kemarin, Mas? Saya masih ingin dengar ….” tanya saya.
Seperti biasa, ia membakar rokoknya dahulu baru memulai ceritanya.
“Tempat itu sebenarnya berisi tahanan-tahanan intelektual. Namun untuk mengacaukan mental kami, lalu ditaruhlah sembarang orang untuk mengacaukan dan menjatuhkan mental kami. Orang-orang yang jorok. Orang-orang yang bodoh. Aku ingat, ketika aku ingin buang air besar, saluran-saluran pembuangan kotoran mampet semua. Sehingga jika aku “berak”, aku harus menyeret kotoranku sendiri dengan semacam kaleng yang diberi sebatang bambu sebagai penopangnya. Bayangkan, betapa menjijikan! Tapi jika aku tidak mau, semua tahanan pasti disiksa. Suatu ketika … ada seorang tahanan yang tidak sanggup lagi disiksa dan tidak mampu bertahan. Ia nekat bunuh diri nyebur ke dalam sumur. Tiga hari aku tidak mau mandi ….”
“Memangnya ada lagi bentuk penyiksaan yang lebih kejam?” tanya saya.
Ia menatap saya. Dan baru kali ini ia menatap saya. Sekarang justru terbalik, seolah-olah ia sedang mencari-cari sesuatu di dalam diri saya.
“Aku tahu sebenarnya Abang seorang wartawan, kan? Tetapi aku percaya Abang orang yang baik. Aku juga tahu, kisah ini tidak mungkin diceritakan kembali di rezim yang sekarang. Tapi, setidaknya jika aku mati besok, kelak ada yang menceritakan kembali, bahwa betapa kejamnya saudara sebangsa sendiri ….” Oh, rupanya ia tahu, siapa saya. Saya tersenyum tapi tidak menanggapi apa yang ia katakan barusan.
“Yang lebih menyakitkan, mereka pernah mengikat tubuh saya dengan lilitan kabel tembaga telanjang. Lalu mereka menghubungkannya dengan sebuah aki mobil. Esoknya sekujur tubuh saya sakit semua. Sakit semua badan saya selama berhari-hari.
“Tapi kenapa mereka tidak langsung membunuh Mas Koes saja. Kan habis cerita?” tanya saya.
“Kan aku pernah bilang! ini tempat interogasi. Kamp konsentrasi untuk menghancurkan mental kami dan mencari informasi sebanyak-banyaknya dari mulut kami. Pokoknya siapa saja yang dianggap terlibat atau siapa saja yang dianggap berbahaya untuk Soeharto, siksa … sikat ….”
Kurang ajar … cerdas juga otak Mas Koes ini. Orang ini sangat menarik dengan pengalamannya.
“Setiap malam, saat dini hari tiba, dimulailah ritual penyiksaan itu. Tahanan baru atau lama disiksa habis-habisan selama masih dibutuhkan keterangan dari mulutnya. Kalau Abang bertanya, kenapa tidak disiksa siang-siang?” Tentu saja untuk menghancurkan mental kami. Kalau kurang tidur, kurang tenaga, mental kami mudah hancur dan itu yang diinginkan mereka. Jadi saking beratnya siksaan di dalam, aku bisa bilang, masuk sepuluh, keluar sebelas ….”
“Maksudnya?” Tanya saya.
“Tahanan yang keluar atau dipindahkan dari tempat ini jumlahnya sepuluh orang, tapi yang satu lagi atau tahanan yang kesebelas keluar sudah jadi mayat!” jawabnya sedih.
“Astaga!” Saya menggeleng-gelengkan kepala.
“Semua tentara yang ada di tahanan Kalong dibolehkan untuk berbuat apa saja, tanpa takut akan disentuh hukum. Dari mulai menyiksa hingga membunuh, semuanya bebas-bebas saja. Dua bulan pertama aku betul-betul hidup dalam ketakutan,” ia menjelaskan keadaan yang sebenarnya dengan gamblang. Menurut pengakuannya, itulah yang sebenarnya yang terjadi di tempat itu.
“Jadi berapa bulan Mas Koes berada di tahanan Kalong,” tanyaku kembali.
“Kira-kira hampir enam bulan. Tapi rasanya seperti seratus tahun di neraka!”
“Memangnya Mas Koes pernah di neraka?” tanya saya sedikit menggoda untuk mencairkan suasana meskipun sebenarnya saya agak takut dia akan marah ….
“Lah, neraka kan tempatnya orang disiksa. Bagaimana enggak seperti neraka! Setiap malam aku mendengar suara orang yang menjerit dan merintih saat disiksa,” ia tetap melanjutkan ceritanya dan tidak marah, hanya matanya yang melotot sebentar. “Di sana suara tangisan bukan lagi terdengar seperti suara tangis yang sebenarnya. Mungkin karena menangis sudah dianggap biasa oleh sesama tahanan. Bayangkan … kadang tahanan yang sudah tidak tahan lagi disiksa, suara yang keluar pangkal tenggorokan hanya, ‘a-a-a-a-a-a, a-a-a-a-a-a …. Bukan lagi suara tangis atau jeritan. Suara-suara itulah yang selalu aku dengar setiap malam, Bang. Dan … tanpa diduga, tiba-tiba Mas Koes menunduk dan menyembunyikan wajah dengan kedua tangannya. Ia menangis dan terus menangis dan lama-lama semakin tenggelam dalam tangisannya. Saya lupa berapa lama ia menangis. Yang saya tahu bahwa percakapan ini harus berhenti. Biar saja ia menangis agar semua beban di hatinya menguap. Berada di dalam tahanan Kalong adalah beban terberat yang pernah ditanggung oleh Mas Koes. Belum lagi predikat “tapol” yang harus ia tanggung seumur hidup. Saya rasa malam-malam jahanam selama ia ada di sana pasti terus menghantui dirinya seumur hidup.
Saya memeluk tubuhnya dan berusaha menenangkannya. Dahulu saya selalu berpikir, bahwa mendengar orang yang sedang menangis adalah sebuah hari yang buruk. Terakhir kali saya menangis, itu terjadi empat belas tahun yang lalu, saat ayah saya mati muda dan meninggalkan kami, sembilan orang anaknya. Namun sekarang saya akan mengubah pendapat saya. Menangislah, Mas Koes. Menangislah …. Hidup memang pantas untuk ditangisi.
Your comment?