REKONSILIASI TANPA CABUT UNDANG-UNDANG DISKRIMINATIF SAMA SAJA OMONG KOSONG
Munculnya wacana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang akan diumumkan pada 2 Mei 2016 oleh Menkopolhukam perlu disambut dengan nilai positif karena hal ini sesuai dengan instruksi Presiden Jokowi untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu seadil-adilnya dan bermartabat
Namun kita para Korban Pelanggaran HAM khususnya Korban 65 perlu menanggapinya secara kritis dan berhati-hati, karena konsep yang akan digunakan oleh Kemenpolhukam menggunakan jalur non-yudisial (di luar hukum/ rekonsiliasi) bukan menggunakan mekanisme yudisial (hukum).
Perlu dipertanyakan, bagaimana bentuk penyelesaian non-yudisial/ rekonsiliasi yang dimaksud? Mungkinkah penyelesaian rekonsiliasi dilaksanakan tanpa didahului dengan pengungkapan kebenaran? Rekonsiliasi dengan siapa? Apabila pelaku (perpetrator) belum diidentifikasi melalui pengungkapan kebenaran pengadilan?
Kasus pelanggaran HAM masa lalu khususnya tragedi 1965/66 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang maha dahsyat karena mengorbankan 500.000-3.000.000 jiwa; meliputi korban penghilangan secara paksa, pembunuhan massal, pemerkosaan, perampokan, penahanan sewenang-wenang, perbudakan/ kerja paksa, diskriminasi dan penghancuran sistematis orang/ kelompok yang berbeda aliran politiknya. Karena itu, perlu penanganan luar biasa dan komprehensif.
Merujuk kepada permasalahan yang begitu kompleks. YPKP’65 bersama masyarakat korban 65 mendesak/ bersikap agar Presiden segera menerbitkan Perpres (Peraturan Presiden/ Keputusan Presiden) untuk Rehabilitasi Umum sebagai payung hukum penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Kemudian membentuk Komite Penyelesaian Pelanggaran HAM yang anggotanya terdiri dari orang-orang yang memiliki integritas, kapabilitas dan komitmen kuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM -termasuk juga berasal dari unsur pegiat HAM- dan korban.
Komite tersebut langsung di bawah kendali Presiden dengan tugas menyelesaikan kasus pelanggaran HAM mengacu pada Undang-Undang yang sudah ada (UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).
Jaksa Agung segera menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM untuk menyidik perkara yang sudah diselidiki Komnas HAM.
Rekonsiliasi tidak akan memiliki arti strategis khususnya bagi korban apabila segala perundang-undangan atau pun ketetapan/ peraturan diskriminatif tidak dicabutnya. Kita mengetahui, dengan UU diskriminatif tersebut para pelaku/ penjahat HAM berdalih untuk terus melakukan teror dan ancaman kepada korban dengan membubarkan paksa segala kegiatan yang dilakukan oleh korban.
Rehabilitasi Umum/ Pemulihan Hak-Hak Korban kiranya segera dilaksanakan karena ini adalah amanat UU Hak Asasi Manusia No. 39/1999. Dengan demikian rekonsiliasi, penyelesaian menyeluruh yang berkeadilan dan bermartabat bisa terwujud; bukan sekedar omong kosong.
Your comment?