Jagal Gestok’65 Bandung Selatan Minta Maaf

16163 Viewed Redaksi 0 respond
MASS-GRAVES: Salah satu dari 3 lokasi pembantaian massal dan pembuangan mayat di situs cagar alam Gunung Tilu, Bandung selatan. Seorang warga tengah menunjukkan jurang (31/10) berdasarkan petunjuk pelaku pembantaian yang telah bertaubat dan minta maaf sebelum meninggal [Foto: Humas YPKP65]
MASS-GRAVES: Salah satu dari 3 lokasi pembantaian massal dan pembuangan mayat di situs cagar alam Gunung Tilu, Bandung selatan. Seorang warga tengah menunjukkan jurang (31/10) berdasarkan petunjuk pelaku pembantaian yang telah bertaubat dan minta maaf sebelum meninggal [Foto: Humas YPKP65]

Saat Simposium Nasional “Bedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” digelar bulan April (18-19) 2016 lalu, di luar jadwal yang direncana semula, ada kata sambutan mantan jenderal TNI-AD, Sintong Panjaitan; kumendan RPKAD yang ditugaskan ke daerah-daerah untuk suatu pembasmian orang-orang PKI.

Dalam sambutannya, jenderal orba ini mengatakan bahwa korban tembak mati oleh militer pada masa itu hanya ada 1 di Jawa Tengah. Di DIY dan daerah lain tak ada korban yang ditembak RPKAD, kesatuan tentara yang dikomandoinya untuk melakukan operasi militer besar-besaran.

Tentu saja, pernyataan Sintong ini mendapat cibiran massal peserta simposium yang juga diikuti oleh para korban dan penyintas tragedi yang dikategorikan sebagai kejahatan genosida di Indonesia.

Pernyataan Sintong ini bukan saja kontroversial, tapi juga mengingkari realitas lapangan yang dialami para korban di daerah. Tak terkecuali di Bandung Selatan; daerah yang baru dihasilkan dari pemekaran wilayah provinsi Jawa Barat beberapa tahun lalu.

Ada sementara rumor yang mengatakan bahwa di daerah Jawa Barat itu yang paling minimal terjadi pembunuhan massal. Saat YPKP’65 melakukan investigasi lapangan di wilayah Kabupaten Bandung Selatan saja; didapati kenyataan yang sebaliknya.

 

11 Orang Hilang Diculik Dari Ciwidey

GAMBAR: Profil hutan di kawasan cagar alam Gunung Tilu Bandung selatan. Di bagian dalam "cagar alam" ini juga telah dibudidayakan pohonan kebun, seperti kopi dan sayuran [Foto: Humas YPKP'65]

GAMBAR: Profil hutan di kawasan cagar alam Gunung Tilu Bandung selatan. Di bagian dalam “cagar alam” ini juga telah dibudidayakan pohonan kebun, seperti kopi dan sayuran [Foto: Humas YPKP’65]

Dari satu Desa Ciwidey Kecamatan Ciwidey saja, terhitung ada 11 warga yang diambil (baca: dibon_Red) paksa; termasuk pejabat Kades dan Jurutulis desa itu. Penculikan dan pembunuhan seperti ini kenyataannya justru terjadi satu tahun paska Geger Gestok 65. Pada saat para Tapol’65 ini dilepas tahun berikutnya, setelah menjalani pemeriksaan berdarah di Kodim setempat.

Rupanya pemeriksaan dengan cara interogasi disertai siksaan terhadap rakyat sipil waktu itu tak cukup memuaskan hasrat kekuasaan di awal rezim militer OrBa. Gelombang penumpasan pun diskenario dan dibuat berlanjut persekusinya. Dan itu terjadi bukan hanya di Bandung Selatan, tetapi juga daerah lain seperti Pengalengan, Sukabumi, Sindanglaut, Kuningan, Cirebon dan daerah Jawa Barat lainnya.

“Ini juga data baru melengkapi 122 titik kuburan massal yang diteliti YPKP 65”, ungkap Bedjo Untung. Ketua YPKP 65 Pusat ini memang turun lapangan langsung dalam investigasinya. Dia menambahkan bahwa untuk penemuan 3 titik mass-graves di kawasan ini, bukan berupa kuburan biasa. Tetapi merupakan tebing jurang yang curam dengan kedalaman hingga 100-an meter.

Di atas tebing jurang itulah pembantaian terjadi dan mayat-mayat menggelimpang tersangkut di sisi jurang dan menyebar di kedalaman dasarnya yang berbatu. Menebarkan bau anyir darah dan bangkai yang membusuk selama berbulan-bulan.

 

Taubat Sang Jagal Minta Maaf

Ada hal menarik di Ciwidey terkait pembunuhan massal yang terjadi menandai operasi Gestok’65. Jejak pembantaian massal tak terlacak di ketiga titik karena tipogafi lokasinya berbentuk tebing curam dengan sungai di dasar jauhnya. Saat ditelusur bagian hulunya, didapati aliran air yang jernih dengan debit cukup deras.

Lokasi berada di bentang kawasan cagar alam Gunung Tilu, masing-masing di Tarentong zona yang beseberangan dengan perbukitan Patuha. Dua titik lainnya ada di zona tikungan Keneng dan lokasi Sasak Seng di Gambung Leuwiliang.

Menurut penduduk, Suarta (76), ketiga zona ini diakui sebagai lokasi yang bukan saja angker, tetapi selalu memancarkan bau anyir yang menyengat serta bacin di daerah sekitarnya. Sengatan bau ini berbulan-bulan lamanya, karena gelombang pembantaian bisa susul menyusul.

Situasi sekeliling, sejauh mata dan pendengaran telinga, dicekam sunyi karena jauh dari pemukiman dan kanan kirinya ditumbuhi pohon keras sejenis vicus, beringin, trembesi dan tanaman hutan lainnya. Perdu dan semak belukar juga tumbuh liar di tempat-tempat agak terbuka.

Masih menurut Suarta yang diiring Endang, warga setempat; pembantaian dengan penculikan ala Gestok’65 yang gencar dilakukan militer waktu itu melibatkan warga sipil yang disebut sebagai konsinering. Konsinering ini juga semacam rekanan (mirip proyek_red) penyedia jasa angkut kendaraan, sekaligus guide yang memandu dan menunjukkan rumah warga target penculikan yang harus dibunuh.

Metode berdasarkan waktu penculikannya sendiri dapat dijadikan petunjuk bagi nasib korban. Jika penculikan dilakukan sebelum jam 10 malam, besar kemungkinan orang itu masih dapat ditemukan di markas tentara. Tetapi jika diculik setelah lewat jam 10, tengah malam atau dinihari, maka bisa dipastikan bahwa korban tersebut tak akan pernah kembali lagi.

“Konsineringnya bernama Mansyur, yang pada masa setelah Gestok menjadi haji”, tutur Suarta berkisah.

Sang haji ini pada dulunya memang berprofesi sebagai tukang jagal, yakni orang yang bekerja menyembelih binatang sejenis kerbau, lembu, kambing atau hewan ternak lainnya. Dia direkrut militer kedalam “proyek pembantaian” Gestok’65 itu. Termasuk menciduk dan melakukan pembunuhan terorganisir terhadap 11 warga Desa Ciwedey.

Empat tahun silam Sang Haji Jagal ini mendatangi rumah-rumah bekas korban pembantaiannya. Membeberkan secara detail keterlibatannya dalam skenario militer untuk ikut melakukan penculikan dan persekusinya di luar hukum. Bagi keluarga korban dan penyintas yang masih hidup, tak ada lagi dendam kepada Sang Jagal yang bertaubat dan memohon maaf saat itu.

Diantara 11 korban warga Desa Ciwidey yang dibunuh Gestok’65 ini, ada seorang gadis bernama Tuti yang dijuluki “Banteng Selatan” karena aktivitas politiknya yang populer sejak Agustus 1965. Tragisnya, seperti dituturkan Haji Mansyur waktu itu; gadis ini diperkosa sebelum akhirnya dibunuh tanpa proses hukum.. [hum]

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
illustrasi: https://www.facebook.com/adhielthirteenarmy/posts/1230333567004764

PMII Jember Menolak Pengangkatan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional

Illustrasi: Salah satu basis konflik agraria di Banyuwangi yang melibatkan petani dengan pihak pt Perkebunan [foto: ist.]

Menjarah Tanah Petani: Kekerasan dan Counter-landreform Pasca 1965 di Banyuwangi, Jawa Timur

Related posts
Your comment?
Leave a Reply