Genosida Indonesia 1965: Perang Dingin dan Keterlibatan Amerika Serikat

5911 Viewed Redaksi 1 respond
JEJU 4.3: The Chairperson of the Central 65 YPKP, Bedjo Untung, delivered an International Conference speech and lecture material at the "Jeju4.3 International Conference for the 70th Anniversary" event in the island city of Jeju, South Korea (4/10). [Photo: YPKP'65]
JEJU 4.3: The Chairperson of the Central 65 YPKP, Bedjo Untung, delivered an International Conference speech and lecture material at the "Jeju4.3 International Conference for the 70th Anniversary" event in the island city of Jeju, South Korea (4/10). [Photo: YPKP'65]
Oleh Bedjo Untung

Pendahuluan

Saudara- saudara peserta Symposium Internasional  untuk  Kebenaran dan Keadilan yang saya hormati.

Pertama-tama saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas kesempatan yang diberikan kepada saya sehingga saya bisa berdiri di hadapan saudara-saudara di Pulau Jeju  ini. Ini adalah penghormatan yang besar terhadap diri saya pribadi maupun organisasi YPKP 65  dan penghormatan serta pengakuan atas perjuangan para korban genosida/politisida  di Indonesia pada peristiwa tragis Genosida   1965 dan tahun-tahun sesudahnya.

Ijinkanlah saya memperkenalkan diri. Saya Bedjo Untung seorang korban yang juga sebagai survivor serta saksi peristiwa tragis genosida/politisida  pada 1965.

Ketika peristiwa tersebut terjadi saya berusia 17 tahun, masih duduk di bangku SPG Sekolah Pendidikan Guru pada tahun terakhir pendidikan. Namun, tidak mengerti apa kesalahan saya, saya  dikejar, disiksa,  dipersekusi, diinterogasi sebelum dilakukan penahanan. Saya ditahan di Penjara Salemba Jakarta, Kamp Konsentrasi Kerja Paksa Tangerang selama 9 tahun  sejak 24 Oktober 1970 sampai Oktober 1979 tanpa menjalani proses hukum.  Ini terjadi bukan hanya saya sendiri tetapi juga teman-teman sekolah saya.

Peristiwa tragis 1965 adalah mimpi buruk bagi sebagian besar bangsa dan rakyat Indonesia.

Beberapa hari setelah peristiwa terjadi, tepatnya minggu pertama sesudah 30 September 1965  ayah saya sudah terlebih dahulu ditahan beserta teman-teman ayah yang ikut organisasi di bawah payung PKI (Partai  Komunis Indonesia). Ayah saya seorang guru di desa dan bergabung dalam organisasi PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia. Ia mengalami penyiksaan, kemudian ditahan di kamp-kamp penahanan yang tidak layak, dibuang ke Pulau Nusa Kambangan dan akhirnya  dibuang dan dipekerjakan secara paksa mirip perbudakan  di  Pulau Buru, Maluku. Ia ditahan selama 14 tahun sejak 1965 juga tanpa melalui proses pengadilan. Rumah-rumah milik orang yang diduga pengikut/simpatisan PKI dibakar, isinya dirampok.  Ini terjadi di desa saya di wilayah Kabupaten Pemalang kira-kira 400 kilometer dari Jakarta.

Kejadian serupa bukan hanya terjadi di desa saya, tetapi juga di desa-desa tetangga, bahkan di berbagai  desa, kota di seluruh Indonesia dalam waktu yang cepat dan dengan pola  persekusi, penangkapan serta penculikan maupun pembunuhan yang  sama. Ini tidak mungkin hanya dilakukan oleh orang-per-orang tetapi dapat dipastikan  dirancang secara sistematis, terencana dan meluas dengan pola rantai komando  operasi militer.

Kejadian lebih mengerikan terjadi di desa Jetis Kragilan Mojosongo wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Orang-orang yang dituduh anggota/simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap, diikat tangannya , diseret dan dipukuli di sepanjang jalan dengan keadaan  tubuh berlumuran darah. Kepala dipotong (maaf) dan dipertontonkan di setiap sudut jalan dengan cara ditancapkan dengan bambu runcing.[1]

Seorang Bupati Kepala Daerah di Boyolali  namanya Suali tangannya diikat dan diarak keliling kota dipermalukan dan kemudian ia menjalani eksekusi tanpa proses pengadilan. Jenasahnya kini dikuburkan di kuburan massal di lereng bukit di pinggir pemakaman umum Sonolayu Boyolali bersama diperkirakan 200 orang yang dituduh sebagai anggota PKI.

 

Apa Yang Terjadi pada 1965

Pada dini hari 1 Oktober 1965 sekelompok tentara Pengawal Presiden RI Batalyon Cakrabirawa yang dipimpin Letnan Kolonel Untung melakukan  operasi penculikan terhadap sekelompok jenderal kanan Angkatan Darat (6 Perwira Tinggi dan 1 Perwira Menengah). Operasi ini dilakukan dalam rangka pengamanan keselamatan Presiden Sukarno atas rencana kudeta Dewan Jenderal yang akan dilaksanakan pada 5 Oktober 1965.

Untuk memperoleh dukungan dan menyukseskan gerakan, beberapa jam sebelum operasi penculikan berlangsung, Kolonel Abdul Latief – yang  menjabat sebagai wakil dari operasi gerakan- menemui Mayor Jenderal Suharto yang ketika itu menjabat sebagai Komandan KOSTRAD (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di Rumah Sakit RSPAD yang ketika itu sedang menjenguk anaknya yang bernama Tommy Mandala Putra  yang kena siram air panas  sup mie.

Pertemuan A. Latief dengan Suharto itulah bukti keterlibatan Suharto dalam operasi penculikan.

Sementara itu, beberapa hari sebelum berlangsung gerakan, Jenderal Suharto sebagai Komandan KOSTRAD mendatangkan pasukan dua Batalyon Angkatan Darat dari Jawa Timur dan Jawa Tengah (Batalyon 530 dan 434) dalam keadaan siap tempur dengan perlengkapan peluru tajam. Kedua Batalyon ini  diinspeksi oleh Suharto pada 30 September 1965 jam 08.00 di Lapangan Monumen Nasional di depan Istana Merdeka  Jakarta.

Menurut pengakuan Letnan Kolonel Untung dalam percakapan dengan Kolonel Penerbang Heru Atmodjo di kamar tahanan Cimahi Bandung, ada perubahan skenario atas penculikan para jenderal. Semula, dalam instruksi penangkapan para jenderal tidak  direncanakan untuk dieksekusi/dibunuh. Ini di luar skenario awal. Diduga, ada perintah khusus yang sengaja  diberikan kepada pelaksana operasi lapangan untuk membunuh jenderal tersebut. Siapa lagi yang diuntungkan dengan pembunuhan jenderal itu kalau bukan Suharto sebagai Komandan KOSTRAD. Karena ada semacam standar operational procedure bila Panglima AD meninggal maka yang akan menggantikannya adalah Panglima KOSTRAD yang ketika itu dijabat oleh Suharto. [2]

Ada dendam pribadi antara Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat  dengan Suharto. Ketika  Suharto menjabat sebagai panglima Kodam Jawa Tengah, Suharto pernah ditempeleng oleh A. Yani karena Suharto terlibat korupsi, terlibat  operasi penyelundupan barang dagangan  dengan Malaysia. [3]

 

Alibi yang tidak masuk akal

Dalam hitungan jam, tidak sampai satu hari, pada 1 Oktober 1965  Kolonel Yoga Soegomo sebagai Asisten I Kostrad/Intelijen  langsung mengumumkan,

“ Ini adalah perbuatan PKI, siapkan semua penjagaan, siapkan senjata, bongkar gudang. Ini PKI berontak” [4]

Padahal, PKI sama sekali tidak tahu-menahu, apa yang dilakukan terhadap para jenderal adalah sepenuhnya masalah  internal Angkatan Darat.

Dan, memang operasi penghancuran anggota PKI dan simpatisannya sudah direncanakan  secara matang oleh para petinggi Angkatan Darat. Secepat kilat di seluruh Indonesia sudah dikirim radiogram penumpasan terhadap PKI sampai ke akar-akarnya.

Pada minggu pertama Oktober 1965 sudah dimulai operasi penangkapan orang-orang yang dituduh anggota PKI. Ini terjadi hampir di seluruh kota di Indonesia. Operasi Militer dengan menggunakan bantuan organisasi milisi anti Komunis: Banser, Muhamadiyah, Pemuda Pancasila dan berbagai organisasi buatan tentara mulai melaksanakan operasi penghancuran terhadap PKI.

PKI sebagai partai Komunis  terbesar ketiga sesudah Uni Soviet dan Tiongkok  yang memiliki jumlah anggota 3 juta dan simpatisannya hampir mencapai 26 juta, dihancurkan dalam tempo singkat, karena memang PKI tidak melakukan perlawanan, tidak ada instruksi untuk melawan karena PKI memang tidak dirancang untuk melakukan pemberontakan, melainkan perjuangan untuk menuju ke masyarakat sosialisme berdasarkan Pancasila dan UUD 1945,  perjuangan menuju masyarakat yang demokratis, secara damai dan anti kekerasan.

Anggota dan simpatisan PKI ketika itu menuruti perintah penguasa militer  setempat maupun kantor pemerintah untuk datang, berkumpul, melaporkan diri, karena merasa tidak bersalah.  Namun justru orang-orang PKI dengan simpatisannya tidak boleh pulang ke rumah, ditahan, diinterogasi, dan selanjutnya di malam hari diculik oleh  gerombolan orang-orang sipil yang terlatih secara militer. Dengan sepengetahuan dan bantuan  militer kemudian  para tahanan itu dieksekusi tanpa proses hukum.  Ini terjadi tiap malam sejak 1965 sampai 1968.

Operasi penghancuran di masa damai bukan perang telah menewaskan 500 ribu sampai 3 juta jiwa putra-putri terbaik bangsa ini. Ratusan ribu ditahan di kamp-kamp konsentrasi kerja paksa, jutaan  manusia dibunuh, diculik, disiksa, ribuan perempuan alami kekerasan seksual, harta benda, property dirampas oleh tentara secara tidak sah.

Ratusan mahasiswa ikatan dinas yang belajar di luar negeri terpaksa harus hidup terlunta-lunta  karena paspornya dicabut oleh pemerintah militer.

Dan, sampai hari ini Korban tragedy 1965 masih mengalami persekusi dan stigma serta diskriminasi.

Tidaklah  mengherankan, bila menurut Bertrand Russel seorang tokoh Liberal dari Inggris pada tahun 1966 mengatakan:

“…in four months, five times as many people died in Indonesia as in Vietnam in twelve years.” Bertrand Russell, 1966. (Dalam empat bulan, manusia di Indonesia yang dibunuh, lima kali lipat dari jumlah manusia mati karena perang di Vietnam).

Penghancuran PKI dimulai dari Aceh di ujung utara Sumatera Utara  sejak 1 Oktober 1965 – diperkuat oleh penelitian Jess Malvin dalam artikelnya yang berjudul Mechanics of Mass Murder: A Case of Understanding the Indonesians Killings as Genocide.[5]

Penghancuran orang-orang yang dituduh Komunis itu terus menyebar ke Medan, Sumatera Utara dengan pola yang sama. Hal ini bisa dilihat dari film dokumenter The Act of Killing  yang dibuat oleh sutradara  Joshua Oppenheimer [6]. Betapa sadis dan biadabnya orang-orang preman yang direkrut oleh militer untuk melakukan penangkapan, penyiksaan  dan kemudian pembunuhan. Operasi penghancuran PKI juga dilakukan dengan pembakaran desa-desa  yang diduga sebagai basis orang-orang Komunis.

Secara singkat, penghancuran, pembunuhan terhadap orang-orang pengikut PKI beserta simpatisannya terjadi di seluruh Indonesia: Sumatera Barat,  Padang, Bukittinggi, Painan, Riau Palembang, Bengkulu, Jambi wilayah Sumatera Selatan dan juga Lampung, Tanjung Karang.

 “Muslim dengan sepengetahuan dan pesetujuan pihak militer menjarah rumah-rumah komunis di dalam kota dan menutup gedung-gedungnya di daerah-daerah. Pihak militer menggerebek rumah-rumah pimpinan PKI dan memberitahukan pihak pimpinan perusahaan minyak Caltex pada 29 Oktober 65, akan rencana militer, yang akan menangkapi anggota-anggota dan pimpinan buruh komunis Perbum, yang menjadi tulang punggung dan kekuatan PKI di Provinsi Riau.”[7] (Mike Head/Marian Wilkinson, Sydney Morning Herald, 20 Juli 1999).

Di wilayah Pulau Jawa, dimulai dari Jakarta,

Jawa Barat:  Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Cirebon, Kuningan, Sukabumi, Purwakarta, Karawang, Cikampek.

Jawa Tengah: Tegal, Brebes, Pemalang, Pekalongan, Batang, Kendal, Semarang, Salatiga, Pati, Purwodadi, Grobogan, Blora, Boyolali, Klaten, Solo, Wonogiri,  Magelang, Temanggung, Wonosobo, Purbalingga, Purwokerto, Banyumas, Cilacap.

Yogyakarta: Bantul, Sleman, Gunung Kidul, Kulon Progo

Jawa Timur: Surabaya, Pasuruan, Malang, Madiun, Banyuwangi, Mojokerto, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Tuban, Nganjuk

Bali: Denpasar, Singaraja

Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, Sulawesi, Kalimantan.

 

Rantai Komando Militer

Tentara Nasional Indonesia /Angkatan Darat (TNI-AD) menggunakan jalur komando penghancuran orang-orang yang diduga anggota PKI/simpatisannya, yaitu dengan memanfaatkan struktur komando KOTI (Komando Operasi Tertinggi), KOLAGA  (Komando Mandala Siaga) yaitu suatu komando yang semula dimaksud untuk keperluan konfrontasi ganyang Malaysia. Struktur komando melalui KOLAGA secara lebih terperinci diterangkan dalam penelitian Jess Melvin tentang rantai Komando penghancuran PKI di Aceh: [8]

…………………..Aksi-aksi pembunuhan mulai bergulir beberapa hari setelah militer berhasil merebut kekuasaan negara. Pada saat itu, fase-fase kekerasan terlihat jelas. Setelah menyatakan niatnya untuk “membasmi” Gerakan 30 September pada tengah malam 1 Oktober, TNI memerintahkan warga sipil untuk berpartisipasi dalam kampanye militer sejak 4 Oktober. TNI pun mendirikan “Ruang Yudha” (sentral koordinasi perang non-konvensional terhadap PKI) di Aceh pada 14 Oktober untuk memfasilitasi kampanye pemusnahan oleh militer. Pada setiap saat, seluruh tindakan militer dikoordinasikan melalui sistem komunikasi dua arah yang kompleks dan membentang sampai ke tingkat desa. Militer menggunakan banyak rantai komando untuk menggelar kampanye ini secara nasional……………………………..

Suharto yang setelah 1 Oktober 1965 memegang kendali operasi pengamanan  juga  diperkuat dengan  dibentuknya KOPKAMTIB (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) Pada 10 Oktober 1965  dimana Suharto lah yang menjadi Panglima Operasinya. Kopkamtib memiliki wewenang untuk menangkap, menahan, menginterogasi  dan mengeksekusi tanpa proses hukum. Kopkamtib juga didukung oleh perangkat komando Laksus (Pelaksana Khusus ) maupun Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah). Sistem kerjanya dengan menggunakan/mengoordinasikan  jalur komando militer: Kodam (Komando Daerah Militer) untuk tingkat Provinsi, KODIM (Komando Distrik Militer) untuk tingkat Kabupaten dan Koramil (Komando Rayon Militer) untuk tingkat Kecamatan. Sampai di tingkat Desa/Kota/Kecamatan. Militer memanfaatkan/menggunakan  Organisasi Massa keagamaan – Banser/Ansor serta Pemuda Muhamadyah disamping juga organisasi bentukan tentara seperti Pemuda Pancasila.  Di Jakarta dan kota-kota besar dibentuk organisasi kemahasiswaan KAMI (Kesatuanh Aksi Mahasiswa  Indonesia) dan Organisasi pemuda/pelajar KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia).

Organisasi bentukan tentara ini dengan mudah dan leluasa melakukan aksi-aksi penghancuran dan pengejaran orang-orang yang dituduh anggota PKI dan simpatisannya. Tentara berada di belakang organisasi bentukannya dan bahkan mensupport aksi-aksi perusakan yang dilakukan oleh ormas tersebut. Misalnya: menangkap orang, menganiaya, membakar rumah/gedung dan menjarah isinya.

Di berbagai kota di Jawa dan Sumatera,  penangkapan orang-orang PKI sudah dimulai sejak 1 Oktober 1965. Pembunuhan di muka umum dimulai pada 7 Oktober 1965  dan berlanjut ke tahap pembunuhan massal secara sistematis yang dimulai pada 14 Oktober 1965.

Di Jawa dan Bali, angkatan bersenjata mengoordinasikan serangan melalui komando Kostrad dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Mereka dapat beroperasi tanpa koordinasi dengan Kodam setempat. RPKAD memang pertama-tama dikerahkan untuk menumpas PKI di Jawa Tengah karena provinsi ini dikenal sebagai basis massa PKI. Pembunuhan massal di daerah ini tak terhindarkan, jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kota-kota yang paling menjadi sasaran penumpasan adalah Solo, Boyolali, Klaten, Purwodadi dan Pati  juga di Daerah istimewa Yogyakarta.

Kostrad pertama kali digunakan untuk melumpuhkan Gerakan 30 September di ibukota sebelum akhirnya memelopori serangan-serangan di Jawa Tengah sejak tanggal 18 Oktober. Pada Desember, RPKAD pindah ke Bali. Komandan RPKAD juga ditugaskan untuk mengoordinasi sebuah jaringan nasional regu-regu pembunuh yang terdiri dari orang-orang sipil.

Mengenai keterlibatan RPKAD dalam merekrut kelompok sipil untuk menjadi bagian dari pasukan sipil bersenjata yang ditugasi untuk membantu penghancuran PKI diakui oleh salah seorang perwira RPKAD Sintong Panjaitan dalam kesaksiannya di Symposium kesejarahan membedah tragedy 1965 di Hotel Aryaduta Jakarta pada April 2016:

RPKAD  terpaksa harus memberikan pelatihan militer kepada kelompok organisasi masyarakat sipil karena keterbatasan jumlah tentara  pasukan RPKAD.

Sementara itu di  Bali, yang  juga dikenal sebagai pusat aktivitas/basis PKI, menjadi prioritas serangan militer gelombang kedua.

Di Bali pembunuhan massal secara membabi- buta dan massal dimulai ketika Sarwo Edhie Wibowo Komandan RPKAD yang ditugasi Suharto untuk mulai kampanye pembunuhan massal di Bali. Aksi  pembunuhan  dimulai terhadap  seorang Ketua  PKI di Bali yang bernama I Gede  Puger, ditusuk dengan bayonet, ususnya terburai keluar, kemudian  ditembak di kepalanya  dan disaksikan massa yang  memadati tanah lapang tempat dilakukannya pembantaian.  Bukan hanya Puger yang dibunuh tetapi juga seluruh anak dan istrinya. Bahkan, Gubernur Bali yang sangat disegani oleh penduduk Bali yang bernama Anak Agung Bagus Sutedja juga hilang tanpa bekas di mana kuburnya.  Atas   kendali dan sokongan penuh dari militer, maka dimulailah aksi pembunuhan massal di Pulau Bali secara  meluas.[9]

Walaupun kepemimpinan militer nasional memilih untuk mengoordinasikan kudeta dan kampanye pemusnahan melalui jaringan komando yang semi-otonom dan berbasis wilayah, hal tersebut tidak mengurangi taraf sentralisasi koordinasi militer di balik genosida. Demikian pula, cara kerja semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Genosida terhadap orang Yahudi atau Holocaust yang dilakukan Nazi di Jerman juga dikoordinasi melalui banyak rantai komando yang berbasis wilayah.[10]

 

PKI Partai legal untuk membangun Indonesia yang Demokratis dan Sosialis

Sejak berdirinya PKI pada 23 Mei 1920, partai ini memberi kontribusi penting untuk membangun Indonesia yang anti pada system penjajahan dan ingin membangun Indonesia yang bebas dari penghisapan manusia oleh manusia maupun penindasan dari suatu bangsa  oleh bangsa lain. PKI memperjuangkan rakyat dari keterbelakangan dan  kebodohan. Oleh sebab itu partai ini mendapat simpati dan dukungan yang luas dari rakyat Indonesia.

Pada 1926 PKI mengorganisasikan perlawanan terhadap penjajah Belanda. Perlawanan ini mengakibatkan banyak anggotanya ditangkap, dihukum gantung dan ada yang dibuang sampai ke Digul Papua.

Ketika Jepang melakukan invasi dan pendudukan di Indonesia pada 1942-1945 PKI melakukan perjuangan di bawah tanah untuk melawan fasisme Jepang.

Singkatnya, PKI memiliki tradisi revolusioner, anti imperialisme, anti kolonialisme dan anti feodalisme. Semangat inilah yang terus dikembangkan  sampai Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945 dan terus sampai sesudah perang  kemerdekaan.

Dengan dukungan anggota PKI yang luas serta program-program partai yang memang sesuai dengan keinginan masyarakat, PKI  bisa  jadi akan memenangkan dalam Pemilihan Umum – kalau Pemilihan Umum diselenggarakan – .  Jadi, tidak masuk akal apabila PKI akan melakukan kudeta atau pun pemberontakan. Terlebih lagi, PKI mendapat dukungan yang sangat kuat dari Presiden Sukarno seperti yang dikatakan dalam pidato Bung Karno pada Ulang Tahun PKI yang ke 45 di Istana Olah Raga Gelora Bung Karno pada 23 Mei 1965  yang dihadiri tidak kurang dari 115 ribu massa PKI dan simpatisannya:

“PKI yo sanak yo kadang yen mati aku sing kelangan (PKI adalah saudaraku, kalau mati saya yang kehilangan)” [11]

Pengaruh PKI yang meluas di seluruh Indonesia serta dukungan anggota dan organisasi massa di bawah payung PKI serta kedekatan PKI dengan Soekarno Presiden RI sangat mencemaskan lawan-lawan politik PKI dan Soekarno.  Adapun yang termasuk lawan politik Soekarno dan PKI ialah kelompok yang oleh Bung Karno disebut kaum kontra-revolusioner, kelompok yang  ingin mendirikan negara Islam dan kelompok yang secara sembunyi-sembunyi mau pun terang-terangan  yang bermain mata dengan imperialisme  Amerika Serikat, termasuk kelompok militer kanan   Jenderal-jenderal Angkatan Darat.

Situasi politik  dalam negeri Indonesia  pada 19 Desember 1961 –  01 Mei 1963 diwarnai oleh semangat anti imperialisme, anti kolonialisme dan anti kapitalisme. Indonesia terlibat dengan gerakan mengembalikan Irian Barat (Papua Barat) ke pangkuan Republik Indonesia, Presiden Sukarno bahkan menyerukan kepada rakyatnya, bila usaha merebut Irian Barat dengan cara perundingan gagal, maka Indonesia siap merebut dengan senjata. Semangat konfrontasi anti kolonialisme Belanda meningkatkan semangat patriotisme di kalangan rakyat Indonesia termasuk anggota dan simpatisan PKI.

 

Penyebaran Hoax dan Propaganda Hitam serta Ujaran kebencian 

Skenario yang sudah dipersiapkan  sebelumnya oleh Angkatan Darat untuk mendiskreditkan PKI dengan menyebarkan berita bohong (Hoax) seolah Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) sebuah organisasi perempuan Kiri  yang memiliki program demi kemajuan kaum perempuan di Indonesia melakukan mutilasi terhadap jenasah para jenderal dengan cara menyileti tubuh dan alat kelamin para jenderal serta menyukil mata yang sebelumnya juga diadakan tarian harum bunga dengan disertai pesta sex, ini semua berita bohong dan tidak benar. Terbukti di kemudian hari pada 4 Oktober 1965 setelah diadakan pengangkatan tubuh jenasah dari  sebuah sumur tua  dimana jenasah para jenderal itu dibuang,  bukti visum dari dokter yang melakukan pemeriksaan  atas perintah Suharto dan diserahkan  kepada Suharto sendiri  pada 5 Oktober 1965 menyatakan tidak ada bukti kekerasan seperti  yang dipropagandakan oleh tentara.[12]

Bukti  visum yang sangat penting tersebut  sengaja disimpan dan tidak diumumkan ke publik oleh Suharto. Memang ini ada unsur kesengajaan oleh militer agar massa rakyat tersulut emosi kebenciannya kepada PKI. Dengan penyebaran berita kebohongan yang terus menerus dipropagandakan oleh militer seolah menjadi kebenaran  dan kemudian menyulut kemarahan rakyat dan terjadilah aksi pembunuhan orang-orang yang dituduh Komunis.

Strategi dan taktik penyebaran hoax ini persis seperti strategi juru propaganda rejim fascist  Hitler Paul Joseph Goebbels (1897 – 1945) , kebohongan yang terus-menerus disebarkan kepada publik  sesering mungkin dan  sebanyak mungkin  sehingga kebohongan tersebut dianggap sebagai kebenaran.[13] Inilah strategi yang diterapkan oleh militer dalam rangka menghancurkan PKI. Bukan itu saja, penyebaran isu  seolah PKI itu kafir, atheis, anti agama, biadab, a moral  menambah keberingasan massa anti PKI untuk berbuat lebih kejam dalam menghancurkan PKI.[14]

Media resmi  militer yang mempropagandakan kebohongan adalah surat kabar Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang selanjutnya menjadi rujukan berita radio maupun televisi yang semua pemberitaannya  dikontrol oleh militer.

Surat kabar yang menyuarakan golongan Kiri dan Nasionalis maupun golongan Agama yang mendukung Bung Karno semuanya dibreidel, dilarang terbit yaitu: Harian Rakyat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), Bintang Timur, dll. Sehingga militer dengan leluasa menyebarkan berita bohong, fitnah yang mendiskreditkan PKI dan Bung Karno.

 

Perang Dingin dan Keterlibatan Amerika Serikat  di Indonesia

Setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki  Jepang pada 6 dan 9 Agustus 1945 berakhirlah Perang Dunia kedua /Perang Pasifik. Jepang menyerah kepada  tentara Sekutu/Amerika Serikat. Namun, tidak serta merta  tidak ada ancaman perang.  Justru medan perang kini berubah menjadi Perang Dingin. Dua adi kuasa Dunia Amerika Serikat yang mewakili Blok Barat yang mengusung ideologi Demokrasi (liberal ala Barat) yang kapitalistik dan Uni Soviet yang mewakili Blok Timur yang mengusung ideologi Sosialisme/Komunisme.

Sementara itu, negara-negara yang baru tumbuh, baru berkembang yang baru saja memerdekakan dirinya dari sistem kolonialisme, menggalang solidaritas internasional dan membentuk kelompok baru yang diberi nama Non Blok (Non Alignment). Bermula dari digelarnya Konferensi Asia Afrika yang pertama di Bandung Indonesia  pada  18 – 24 April 1955. Dan, pada menjelang 1965  Indonesia dengan berani keluar dari PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa dan memprakarsai digelarnya Konferensi the New Emerging Forces (Conefo) dengan semangat  untuk membangun dunia baru yang bebas dari exploitation de l’home par l’home dan de nation par nation. Conefo mulai dibentuk pada 07 Januari 1965, yang beranggotakan negara-negara  yang baru berkembang/memerdekakan diri yaitu Negara-Negara di Latin Amerika, Asia dan Afrika.

Menyikapi perkembangan politik dalam negeri Republik Indonesia yang bergeser ke Kiri dengan Bung Karno yang dianggap sebagai “trouble maker” yang didukung kuat oleh PKI, maka  Amerika Serikat dengan sekutunya mulai mempersiapkan opsi untuk melakukan kontra spionase yang bertujuan untuk menghancurkan PKI sebagai kekuatan pokok yang target utamanya adalah menggulingkan Soekarno.

Opsi penghancuran PKI dapat disimak pada hasil Rapat Rahasia petinggi CIA di kota Bagio City Manila, Philipina  pada 23 Maret 1965 yang dihadiri oleh Averell Harriman (Veteran Perang Dunia II sebagai anggota OSS-Office of Strategy Study, Intelijen  Militer), William Bundy, Elsworth Bunker (juru runding dalam perdamaian RI-Belanda pada kasus Irian Barat), dan Howard P. Jones (Duta Besar Amerika di Indonesia selama tujuh tahun). [15]

Pertemuan itu menentukan sikap politik terhadap Indonesia. Mereka mendapat perintah langsung dari Presiden Amerika Serikat Johnson sebagai Ketua National Security Council (NSC). Pertama mereka membicarakan apakah politik luar negeri Amerika masih bisa diteruskan seperti adanya sekarang dimana kita (baca: Amerika Serikat) menghadapi Vietnam dan Indonesia  yang eskalasinya semakin gawat .

Amerika Serikat harus  mendorong Soekarno untuk mengubah arah politik luar negerinya. Dijawab oleh Dubes Amerika Serikat saat itu:

Misi saya mendekati Soekarno agar mau mengubah arah politik luar negerinya,  namun  tidak ada satu orang di dunia pun yang mampu mengubah sikap keras Soekarno yang anti Imperialisme Amerika Serikat.

Jika demikian keadaanya habisi saja Soekarno.

Dijawab oleh Dubes Amerika:

Usaha pembunuhan terhadap Soekarno sudah dilakukan dan semuanya gagal. Begitu pun Angkatan Darat pernah melakukan usaha kudeta, 17 Oktober 1952 namun usaha tersebut gagal.

Solusi terakhir adalah memanfaatkan situasi terakhir di Indonesia tahun 1965  yang diwarnai oleh tajamnya sikap politik AD dan PKI, bagaimana menjebak PKI untuk terperosok ke lubang dan kita (Amerika Serikat) akan menghancurkannya. (Wawancara dengan Letkol (Penerbang) Angkatan Udara RI  Heru Atmodjo).[16]

 

Peristiwa Madiun awal Realisasi Doktrin Truman 

Di era Perang Dingin, Truman Presiden Amerika Serikat mencanangkan  Doktrin untuk mencegah tersebarnya ideologi Komunisme yang terkenal dengan istilah policy of containment. Peristiwa Madiun adalah realisasi Doktrin Truman di Asia Tenggara khususnya di Indonesia.

Sebelum terjadinya peristiwa Madiun tercium adanya konspirasi, pertemuan rahasia di Sarangan di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 21 Juli 1948 yang melahirkan Red Drive Proposal, yang isinya Pemerintah Amerika Serikat akan membantu 56 juta dollar kepada Pemerintah RI apabila mengeluarkan/membasmi  Komunis dari pemerintahan RI. Pertemuan tersebut dihadiri petinggi pemerintah Republik Indonesia: Soekarno, Hatta, Soekiman, Natsir, Roem, dan Kepala Polisi Soekanto, dengan pimpinan delegasi Amerika Serikat, Merle Cochran dan Gerard Hopkins, penasihat Presiden Trauman. (Laporan Roger Vailland seorang Wartawan Komunis Perancis yang dikutip Poeze).[17]

Mantan Gubernur Jenderal Madiun Soemarsono yang sekarang masih hidup dan tinggal di Australia – saya beruntung dapat jumpa di dalam kamar tahanan di Salemba Jakarta pada  tahun 1972 – 1974  ia mengatakan, Peristiwa Madiun bukan pemberontakan, PKI lakukan tindakan bela diri karena banyaknya kader dan tokoh PKI yang dibunuh, diculik oleh tentara Siliwangi. Ketika mengumumkan pergantian kepemimpinan pemerintahan di Madiun, keesokan harinya melapor kepada Pemerintah Pusat yang berkedudukan di Yogya. Sumarsono juga melaporkan, tidak ada pembunuhan seperti yang disiarkan lawan-lawan PKI. Justru di pihak PKI banyak yang menjadi korban. Ini tidak dilaporkan. Lagi-lagi hoax, kabar bohong sengaja disebarkan untuk memprovokasi timbulnya gerakan pembasmian terhadap komunis.[18]

Akhirnya Peristiwa Madiun dianggap selesai. Usaha pembasmian PKI gagal, bahkan pada Pemilihan Umum 1955 PKI keluar sebagai pemenang dalam 4 besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI.

Tindakan merongrong pemerintah Republik Indonesia  juga dilakukan oleh PRRI/Permesta  yang dengan terang-terangan ingin memisahkan dengan RI . Dan Amerika Serikat berada di belakangnya. AS mensuplai senjata kepada tentara PRRI melalui perairan Laut Samudera Indonesia di Sumatera Barat.

Malang, bagi mata-mata CIA Allen Lawrence Pope yang menerbangkan pesawat pembom B-52  tertembak jatuh setelah duel pesawat udara dengan penerbang AURI  Kapten Dewanto pada 18 Mei 1958 di Ambon Maluku.[19]

Rangkaian kejadian ini adalah suatu bukti mata rantai keterlibatan AS untuk melakukan containment policy, melakukan penghancuran gerakan revolusioner, gerakan Kiri di Indonesia. Namun gagal. Baru 17 tahun kemudian setelah Peristiwa Madiun atau  7 tahun kemudian setelah ditembak jatuhnya pesawat mata-mata CIA, rencana pemusnahan Komunis, orang-orang yang jadi anggota PKI serta pendukung Bung Karno dilaksanakan pada 1965, dan berhasil.

Operasi  penghancuran PKI berhasil dilakukan dengan  merancang  apa yang disebut G30S yang sepenuhnya sudah direkayasa oleh militer dengan CIA di  belakangnya. Dengan terbunuhnya  6 perwira tinggi serta 1 perwira menengah Angkatan Darat,  dijadikan dalih untuk menghancurkan PKI. Ini mirip dengan dalih rejim fasis Hitler di Jerman yang menumpas habis Partai Komunis Jerman setelah terjadinya kebakaran Reichstag di lokasi Parlemen Jerman pada jam 21:15 malam  27 Februari 1933 yang dikaitkan pembakaran itu dilakukan  oleh agen Komunis.  Sebagai akibatnya 4000 orang Komunis ditangkap.[20]

Dimulai sehari setelah gerakan, pada 01 Oktober 1965  TNI-AD  telah mengirimkan radiogram ke seluruh mata rantai komando militer di seluruh Indonesia untuk menumpas PKI sampai ke akar-akarnya. Dan ini diartikan sebagai komando untuk melakukan pembunuhan massal terhadap orang-orang pengikut PKI beserta keluarga dan simpatisannya.[21]

Dokumen Rahasia CIA yang telah dibuka untuk Publik

Sejumlah dokumen percakapan  kabel (telegram) diplomatik Amerika soal tragedi 1965 sebanyak  39 Dokumen  setebal  30.000 halaman  telah dibuka ke publik oleh lembaga non profit National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

Dalam Dokumen yang telah di-deklasifikasikan itu, Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengetahui secara mendetail bahwa Angkatan Darat (AD)  bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) melakukan operasi pembunuhan massal terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) sejak 1965. Bahan-bahan baru ini menunjukkan lebih jauh bahwa para diplomat di Kedutaan Besar AS di Jakarta menyimpan catatan identitas para pemimpin PKI yang dibunuh, dan para pejabat AS mendukung secara aktif upaya-upaya AD untuk menghancurkan gerakan buruh yang berorientasi kiri di Indonesia.[22]

Dokumen yang dipublikasikan ini  berasal dari sebuah kumpulan hampir 30.000 halaman arsip catatan harian Kedutaan Besar AS di Jakarta, Indonesia, dari 1964 hingga 1968. Kumpulan ini, yang kebanyakan sebelumnya dirahasiakan (classified), diproses oleh National Declassification Center sebagai tanggapan terhadap tumbuhnya minat publik mengetahui lebih jauh tentang dokumen-dokumen AS lainnya berkaitan dengan pembunuhan massal 1965-66. Aktivis hak asasi manusia dan kebebasan informasi dari Amerika dan Indonesia, pembuat film, serta sekelompok senator AS yang dipimpin oleh Tom Udall (Demokrat, New Mexico), menyerukan agar arsip-arsip ini di-deklasifikasikan.

Dokumen-dokumen ini berkaitan dengan salah satu periode sejarah Indonesia dan hubungan AS-Indonesia yang paling penting dan bergolak. Dalam periode tersebut, terjadi beberapa perkembangan politik. Di antaranya, runtuhnya secara perlahan-lahan pertalian antara Jakarta dan Washington, pecahnya sebuah perang skala rendah dengan Inggris akibat dibentuknya Malaysia, meningkatnya ketegangan antara AD dan PKI, makin radikalnya Presiden Indonesia Sukarno, serta diperkuatnya operasi rahasia AS yang bertujuan memprovokasi bentrokan antara PKI dan AD.

Dokumen tersebut juga dengan jelas memperlihatkan kerja sama yang erat antara organisasi massa Islam yang anti PKI dengan AD, kemudian  meluncurkan sebuah kampanye pembasmian terhadap PKI dan organisasi-organisasi massa yang berafiliasi pada PKI. Dalam kampanye pembasmian ini, 500.000 orang yang dituduh pendukung PKI dibunuh antara bulan Oktober 1965 dan Maret 1966 dan hingga satu juta orang ditahan. Akhirnya Sukarno dilengserkan dan diganti oleh Jendral Suharto yang memimpin Indonesia selama 32 tahun kemudian.[22]

Saya kutipkan beberapa Dokumen tersebut:

 

Dokumen 4

US Embassy in Jakarta, Telegram 971 to Secretary of State, Secret

1965-10-12

Duta Besar AS di Indonesia, Marshall Green, melaporkan tentang sebuah percakapan dengan duta besar Jerman Barat. Menurut dubes Jerman Barat, “AD Indonesia sekarang mempertimbangkan kemungkinan menggulingkan Sukarno sendiri dan sedang mendekati beberapa kedutaan negara-negara Barat untuk memberitahukan bahwa tindakan ini mungkin terjadi.” Seorang wakil AD mendekati Duta Besar Jerman sesudah Sukarno nampaknya mengacuhkan upaya AD menunjukkan beliau bukti “keterlibatan PKI dalam Gerakan 30 September.”

 

Dokumen 8

Letter from Norman Hannah, CINCPAC to Marshall Green, Secret

1965-10-23

Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 5 pol 23-9 Sept 30th Mvt Nov 10-19 1965

Dalam surat ini, Hannah, penasihat politik pada komandan pasukan AS di Pasifik (commander-in-chief for the Pacific, CINCPAC) menanyai Dubes AS Green bagaimana CINCPAC dan AS patut menanggapi “kemungkinan yang cukup tinggi bahwa AD Indonesia akan meminta bantuan kita untuk melawan pemberontakan PKI.” Permintaan semacam itu, dia berspekulasi, “dapat mencakup apapun mulai dari operasi dan bantuan tersembunyi hingga angkutan, dana, peralatan komunikasi, maupun senjata.” Seminggu kemudian, Green mengajukan permohonan agar pemerintahan Johnson “menjelajahi kemungkinan diberikannya bantuan jangka pendek satu kali saja, secara tersembunyi dan tanpa bisa dilacak sumber bantuan tersebut” sebagai tanda dukungan AS, dengan ini memulai perluasan dukungan tersembunyi AS pada AD yang kemudian mencakup dana, peralatan komunikasi, dan senjata.

 

Dokumen 14

Telegram 1516 from American Embassy in Jakarta to Secretary of State, Secret

1965-11-20

Sumber: RG 84, Entry P 339, Jakarta Embassy Files, Box 14, Folder 6 pol 23-9 September 30th Mvt, November 20-30, 1965

Telegram penting ini melaporkan percakapan antara pengamat-pengamat Barat dan aktivis PKI di Jakarta dan Jawa Tengah, termasuk Jogjakarta. Menurut seorang “jurnalis Australia yang bisa diandalkan” yang baru kembali dari Jawa Tengah, “sebuah sumber PKI yang menyatakan dirinya dekat dengan 50 orang tokoh terpenting PKI Jogjakarta menyatakan PKI tidak menerima pemberitahuan sebelumnya tentang Gerakan 30 September dan bahwa terdapat kebingungan besar dalam partai tentang apa yang perlu dilakukan mereka.” Orang Australia itu, fasih berbahasa Indonesia, “adalah jurnalis Barat pertama yang mengunjungi Jawa Tengah pada tanggal 10 Oktober” dan menemukan kader-kader PKI setempat “sepenuhnya bingung dan menyatakan tidak tahu apa-apa tentang Gerakan 30 September sebelum terjadinya peristiwa.” Telegram ini sepertinya menunjukkan bahwa para pejabat AS mengetahui betul bahwa mereka yang dituduh pendukung dan anggota PKI, yang sedang ditangkapi atau dibunuh dalam kampanye represi dan pembunuhan massal yang dipimpin AD, tidak mempunyai peran, bahkan pengetahuan, tentang Gerakan 30 September, sekalipun pada saat yang bersamaan AS mulai menawarkan dukungan tersembunyi yang cukup berarti bagi kampanye pembersihan itu.

Dalam Dokumen CIA yang di-deklasifikasikan tersebut semakin jelas dan nyata akan peran dan keterlibatan Amerika Serikat, Kerajaan Inggris dan Australia  yang  memasok peralatan senjata, alat komunikasi dan finansial untuk memperlancar upaya penghancuran PKI dan penggulingan  Presiden Soekarno.

Sangat jelas sekali bahwa CIA berada di balik rekayasa pembunuhan massal genosida 1965.[23]

 

Rekomendasi Komnas HAM dan Keputusan IPT 65 Den Haag

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang melakukan penyelidikan terkait peristiwa 1965-66 dengan membentuk Tim Penyelidik pro-yustisia  Peristiwa 1965-66 mengumumkan hasil penyelidikannya pada 23 Juli 2012, Peristiwa 1965 adalah kejahatan kemanusiaan, ada upaya sistematis yang dilakukan aparat kekuasaan (militer) untuk melakukan tindakan pelanggaran HAM antara lain: pembunuhan, penahanan, penyiksaan, penjarahan, pemerkosaan, kerja paksa mirip perbudakan, diskriminasi dan pemindahan penduduk secara paksa. Komnas HAM juga merekomendasikan agar hasil penyelidikannya ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung dengan membentuk Pengadilan HAM adhoc untuk menyidik pelaku kejahatan dan memproses secara hukum  sesuai Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39/Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 26/Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tim Penyelidik Komnas HAM  juga mengungkap adanya  rantai komando yang dilakukan oleh apparat militer dalam pelaksanaan kejahatan kemanusiaan tragedy 1965-66.[24]

International People’s Tribunal untuk pelanggaran HAM 65 (IPT 65) di Den Haag  yang bersidang 10-13 November 2015 untuk mengadili pihak yang bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965  menyatakan bahwa  Pelanggaran HAM Peristiwa 1965 dan tahun sesudahnya bukan saja sebagai Kejahatan Kemanusiaan tetapi juga Genosida karena mengandung unsur penghilangan ras tertentu serta  ada niat, ada maksud untuk menghilangkan sekelompok orang yang berbasis perbedaan ras, golongan,  suku dan keyakinan/kepercayaan.

IPT 65  menyimpulkan ada  10 Kejahatan Kemanusiaan, yaitu:

Pembunuhan massal, Pemenjaraan, Penjarahan/Perampokan, Perbudakan, Penyiksaan, Penghilangan Orang secara Paksa, Kekerasan Seksual,  Pengasingan,  Propaganda Palsu, dan  Genosida.

Tribunal secara jelas juga menemukan adanya keterlibatan negara-negara asing yaitu Amerika Serikat, United Kingdom dan Australia yang ikut membantu finansial, alat-alat komunikasi dan persenjataan  sehingga mendorong terjadinya genosida pada 1965 dan tahun-tahun sesudahnya.

Dalam keputusan IPT 1965, Yacoob menyatakan kejahatan kemanusiaan itu dilakukan terhadap “para pemimpin PKI, anggota atau simpatisannya, loyalis Sukarno, dan anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), serikat buruh, serikat guru, dan khususnya kalangan Tionghoa atau yang berdarah campuran. Ini dapat digolongkan dalam genosida.”

“Karena tindakan ini diarahkan pada kelompok-kelompok tertentu, dengan tujuan khusus untuk menghancurkan sekelompok, sebagian atau seluruhnya. Tindakan tersebut menyangkut sejumlah tindakan yang tertera dalam Konvensi Genosida 1948.” [25]

Kuburan Massal Genosida 1965

Penumpasan PKI dan simpatisannya yang menewaskan sekurang-kurangnya 500.000 jiwa – 3.000.000 jiwa bukan  fiksi atau khayalan semata, namun didukung adanya bukti, fakta dan kesaksian. YPKP 65 (Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/66) dalam penelitiannya telah menemukan lokasi Kuburan massal 112 lokasi- yang dilaporkan kepada Komnas HAM dan Menko Polhukam pada 2016. Dan sekarang ini (Agustus 2018) sudah mencapai sejumlah 230 tempat – baru di Pulau Sumatera dan Jawa. Di Pulau Bali masih belum terdata secara lengkap. Jumlah masih terus bertambah karena penelitian masih berlangsung.[26]

Atas laporan penemuan Kuburan Massal yang dilakukan YPKP 65, semula pihak Menko Polhukam berjanji akan menindak- lanjuti yaitu untuk melakukan verifikasi,  merawat, tidak ada niat untuk menghancurkan atau pun menghilangkan barang bukti tersebut. Namun, belakangan pihak militer yang diwakili Menko Polhukam menyangkalnya.  Seolah-olah Kuburan Massal tidak ada. Lagi – lagi ini suatu bukti Negara/Pemerintah Republik Indonesia  tidak serius dan tidak ada niat untuk menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan/genosida 1965.

Pada Desember 1999 dan awal Januari 2000 YPKP 65 melakukan penggalian (exhumasi) di hutan Situkup, Dempes, Kaliwiro, Wonosobo Jawa Tengah. Sejumlah 21 kerangka diketemukan, dan teridentifikasi. Mereka  adalah korban genosida 1965.[27] Sayang, Negara/Pemerintah Republik Indonesia sampai hari ini belum ada kemauan politik untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, sehingga upaya exhumasi  dan memorialisasi belum dijalankan sebagaimana yang dikehendaki para korban dan keluarganya. Upaya mengungkap sejarah masa lampau dianggap sama saja dengan memberi angin terhadap hidupnya kembali Komunisme, suatu alasan yang dicari-cari, melanggengkan impunitas, stigmatisasi dan pembodohan.

Desakan, Tuntutan dan Suara Korban

Saudara-saudara peserta Symposium yang saya hormati.

Pada kesempatan yang baik ini saya atas nama pribadi maupun Korban Pelanggaran HAM/YPKP 65 mengajak saudara-saudara para Korban, Survivor, Organisasi Korban, Aktivis HAM di berbagai dunia khususnya di Asia untuk bergandengan tangan, bahu-membahu untuk tingkatkan solidaritas dalam mendesak Negara/Pemerintah menuntaskan kasus pelanggaran HAM.

Apa yang terjadi di Indonesia, Korea, Viet Nam, Kamboja, Laos, Myanmar, Philipina, Thailand tidak bisa terlepas dari dampak Perang Dingin dengan containment policy.

Di sini di Jeju Island 25.000 – 30.0000 terbunuh

Di Indonesia  500.000 – 3.000.000 menjadi korban pembunuhan massal

Runtuhnya Uni Soviet dan reunifikasi  Jerman menjadi pertanda berakhirnya Perang Dingin. Meskipun  telah usai, tetap menyisakan dampak dari perang tersebut. Konflik di semenanjung Korea, persekusi, stigmatisasi dan diskriminasi atas Korban Genosida 1965  di Indonesia masih terus berlangsung. Karena itu saya menyambut baik proses reunifikasi Korea. Biarlah setiap bangsa menentukan nasib bangsanya sesuai kehendak bangsa itu sendiri, tanpa  ada campur tangan negara lain.

Kami Korban dan Survivor di Indonesia dengan ini mendesak kepada pemerintah RI dan juga negara-negara yang terlibat dalam rekayasa genosida 1965 : Amerika Serikat, United Kingdom, Australia serta negara-negara Barat  yang mengambil keuntungan dari  tindakan pembunuhan massal dan semua tindak pidana tidak bermoral pada peristiwa  1965 dan sesudahnya  untuk mempertanggungjawabkannya.

Pemerintah Republik Indonesia dan Negara-Negara yang terlibat Genosida 1965 harus minta maaf, mengakui telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang difasilitasi oleh apparat Negara, serta  harus melakukan penyidikan dan mengadili semua pelanggaran terhadap kemanusiaan, memberikan kompensasi dan santunan/ganti rugi yang memadai kepada korban dan penyintas. Pemerintah RI harus menjamin tidak ada lagi pengejaran (persekusi) terhadap Korban yang masih dilakukan oleh pihak apparat keamanan/kelompok intoleran serta  menghilangkan pembatasan-pembatasan bagi para korban dan penyintas, sehingga mereka dapat menikmati sepenuhnya hak asasi manusia seperti yang dijamin oleh hukum Indonesia maupun  internasional.”

Kebenaran harus diungkap,

Keadilan harus ditegakkan,

Rekonsiliasi tak akan terwujud tanpa keadilan

Terima kasih.

Jeju Korea  04 Oktober 2018

Bedjo Untung

Ketua YPKP 65

 (YAYASAN PENELITIAN KORBAN PEMBUNUHAN 1965/1966

Indonesian Institute for The Study of 1965/1966 Massacre)
SK Menkumham No.C-125.HT.01.02.Tahun 2007; Tanggal 19 Januari 2007
Berita Negara RI Tanggal  5 Juni 2007 No.45 Alamat: Jalan M.H.Thamrin Gang Mulia I  No.21 Kp. Warung Mangga, Panunggangan, Kecamatan Pinang, Tangerang 15143, Banten,  Indonesia
Phone : (+62 -21) 53121770, Fax 021-53121770 | E-mail
ypkp_1965@yahoo.com |

Website: http://www.ypkp1965.org

Makalah untuk Jeju4.3  [ Unduh Di Sini ]

English Version [Download Here]

________

Catatan/Referensi:

[1] Ladang Pembunuhan Massal di Boyolali Dok. YPKP65

[2] Harsutedjo “Catatan Rahasia G30S”

[3] Subandrio “Kesaksianku tentang G30S”

[4] Harsutedjo, Ibid.

[5] Jess Melvin: A Case of Understanding the Indonesians Killings as Genocide

[6] Film dokumenter The Act of Killing yang dibuat oleh sutradara  Joshua Oppenheimer.

[7] Mike Head/Marian Wilkinson, Sydney Morning Herald, 20 Juli 1999

[8] Jess Melvin, Ibid

[9] Robert Cribb, The Indonesian Killings
Memoar Oei Tjoe Tat

[10] Jess Melvin: Ibid

[11] Pidato Bung Karno pada Ultah PKI ke-45 di Gelora Bung Karno Senayan 23 Mei 1965

[12] Liauw Yan Siang: Tak Ada Penyiksaan Terhadap 6 Jenderal: Alfred D. Ticoalu Harian Indo PROGRESS

                    21 September 2015

[13] https://kapurwakan.wordpress.com/2011/03/24/tekhnik-propaganda-nazi/

[14] Ibid; Harsutedjo

[15] Heru Atmodjo: Wawancara Bingkai Merah

[16] Heru Atmodjo: Ibid

[17] Suar Soeroso: 60 TAHUN PERISTIWA MADIUN Pelaksanaan Doktrin Truman Di Asia.

[18] Soemarsono: Revolusi Agustus

[19] https://id.wikipedia.org/wiki/Allen_Lawrence_Pope

[20] Kebakaran Reichstag: sejarah-hitler.blogspot.com/2008/03/kebakaran-reichstag.html

[21] Jess Melvin: Ibid

[22] http://ypkp1965.org/blog/2017/10/17/kedutaan-besar-as-mengikuti-berjalannya-pembunuhan-massal-di-indonesia-pada-tahun-1965/

[23] ypkp1965.org: Ibid

[24] Laporan Tim Penyelidik pro yustisia Komnas HAM Peristiwa 1965-66

[25] Laporan Akhir IPT 65 Den Haag

[26] Investigasi Kuburan Massal YPKP 65

[27] Exhumasi YPKP 65/massgraves exhumation/lexy

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
Usman Hamid [Photo-Credit: TribunNews]

Perspektif alternatif dalam melihat Peristiwa 1965

JEJU 4.3: The Chairperson of the Central 65 YPKP, Bedjo Untung, delivered an International Conference speech and lecture material at the "Jeju4.3 International Conference for the 70th Anniversary" event in the island city of Jeju, South Korea (4/10). [Photo: YPKP'65]

Indonesian Genocide 1965: Cold War and The United States Responsibility

Related posts
Trackbacks/Pingbacks
  1. Belajar dari Perjuangan dan Proses Perdamaian di Jeju Korea [April 3 Jeju Uprising and Massacre — 70 Years Later] – Perpustakaan Online Genosida 1965-1966 - November 8, 2018

    […] justice. Ia menjadi pembicara pada sesi Cold War, Genocide and the Role of the US     Genosida Indonesia1965: Perang Dingin dan Keterlibatan Amerika Serikat – Bedjo Untung  […]

Leave a Reply