Berani Mengungkap Kebenaran 1965
- Catatan dari Tuban
Warli, 71 tahun, bukan lah korban tragedi Genosida 1965, begitu juga orangtuanya. Bahkan boleh dibilang ia membantu operasi pembunuhan orang-orang yang dituduh PKI di Tuban, daerah kelahirannya. Tetapi belakangan ia menyadari bahwa ternyata orang seperti dirinya adalah bagian dari korban karena ikut melakukan tindakan yang ia sendiri tak pernah menginginkannya; mengubur orang-orang yang mati karena dibunuh di daerahnya.
Pada 1965, saat kejadian itu dia berusia 17 tahun dan baru menikah. Karena dibawah perintah dan tekanan aparat, bersama penduduk desa lainnya; ia harus membantu aparat mengubur mayat-mayat Tapol 1965 yang dibantai di beberapa titik lokasi. Ada 2 tempat eksekusi dan lokasi kuburan massal yang tak begitu jauh jarak dari rumahnya sekarang.
Di lokasi pertama, kala itu, dieksekusi 32 orang yang dijemput dari rumah masing-masing lalu dibawa dengan truk militer. Saat truk bergerak menuju lokasi pertama ini, salah satu tapol seorang guru SR anggota PGRI Non Vaksentral meloncat dari atas truk dan berhasil meloloskan diri meskipun ditembaki.
Lokasi pembunuhan kedua berada sejauh 50 meter ke bagian sisi selatan dengan 24 korban yang tak diketahui asal daerah dan tempat tinggalnya. Eksekusi dilakukan sekira jam 22.00-an malam, tiap 4 orang dalam satu rentetan tembakan dengan posisi badan memunggungi sang eksekutornya. Leher tiap korban diikat dan bergandengan satu dengan korban lainnya.
Kedua lokasi berada dalam areal hutan jati yang sama. Sejak 1965 hingga kini telah mengalami dua kali penanaman kembali (replanting). Akses jalan telah ada sejak dulu dan digunakan untuk menuju arah desa lainnya.
Lokasi kuburan massal pertama berupa lubang 6×4 meter dan yang kedua seukuran 4×4 meter dengan kedalaman 1,5 meter. Lubang ini digali dan dipersiapkan sejak sore hari. Perintah penggalian liang kubur berlaku buat warga desa yang apabila ditolak maka bisa menyebabkan petaka.
Mau tak mau akhirnya harus berangkat melaksanakan (penggalian dan penguburan) karena jika menolak bisa disalahkan dan itu berarti celaka buat dirinya.
“Purun mboten purun nggih budhal-budhal mawon, lha yen mboten mangke dikatutke dosane”, terang saksi hidup yang ikut melakukan penggalian dan penguburan massal para korban pada masa itu.
Lokasi kuburan massal yang ditunjukkan Warli disebut orang sebagai pak-bethok (Tepak Gethok_Red) dan berada tak jauh di sisi jalan yang membelah hutan jati, yang merupakan bagian dari desa Ngayub Kaligenuk kecamatan Plumpang. Sedangkan Warli sendiri adalah penduduk Tawangrejo di kampung sebelahnya, bagian dari desa Sumberagung Dempel.
“Jaman biyen, mateni uwong niku gak ana urusan, benten kalih jaman sak niki”, ucap Warli menjelaskan bahwa pada masa itu membunuh orang yang telah ada daftarnya, tak ada sangsi hukumnya; berbeda dengan sekarang.
Keterangan Warli ini menunjukkan bahwa pembantaian ini ada dasar data mengenai orang-orang yang menjadi korban genosida pada tahun 1965 dan masa-masa setelahnya. Pihak yang paling mengetahui data dan jumlah korban ini, pastinya, adalah pihak yang melakukan penjemputan dan pembunuhan massal para korban.
Namun sampai hari ini tak ada keberanian membuka data dan kasus ini. Kekejian seperti ini merupakan kejahatan serius, meski telah berlalu lebih setengah abad, sebagaimana disebut Warli “tak ada urusannya”. Alih-alih mengurus dan menyelesaikannya demi keadilan, kebenaran fakta seperti ini malah terus-menerus ditutupi dan bahkan diingkari.
Lebih parahnya lagi, propaganda usang yang terus-menerus mengulang cerita kekejaman PKI didaur kembali, terutama oleh kalangan militer dan para mantan jenderal yang harusnya sudah diseret ke pengadilan. Nyatanya data korban dan kekejian tentara tak pernah dibuka seterang-terangnya.
Dimulai 2 November 1965
Perburuan terhadap para korban di Tuban umumnya, menurut penyintas tragedi di daerah ini dimulai pada 2 November 1965. Untuk daerah Dempel ini tak kurang dari 20 orang direkrut melaksanakan penjemputan, eksekusi hingga penguburannya. Penduduk lokal yang dilibatkan, bekerja dibawah paksaan aparat dan kehilangan semua alasan buat menolaknya.
Orang seperti Warli dan beberapa warga lainnya memiliki riwayat hubungan yang erat dan panjang dengan hutan jati di daerah ini. Pekerjaan mulai dari penanaman bibit pohon, perawatan hingga penebangan pada masa panen; mereka lah yang bekerja. Beberapa dari korban yang diketahui dibunuh atau pun yang hilang adalah pekerja hutan jati seperti dirinya.
Akan halnya operasi pembunuhan massal yang terjadi di daerah ini, warga desa juga menyaksikan bagaimana kelompok organisasi massa pemuda islam mendatangi rumah orang-orang, mencari dan mengeksekusi ramai-ramai para korban itu sekaligus di tempat mana korban itu ditemukan.
Tak ada yang bisa mengatasi kekacauan yang dengan cepat meluas seperti ini. Tak juga negara yang bahkan aparatnya alih-alih melerai, malah menjadi bagian dari jalannya operasi genosida 1965. Aparatus negara ini bahkan diketahui menyuruh penduduk bekerja menyiapkan lubang-lubang kuburan di lokasi hutan jati.
Berdasarkan fakta-fakta dan pengalaman empiris di lapangan, operasi pembunuhan secara besar-besaran dalam Genosida 1965 ini memang dirancang berikut persiapan operasionalisasinya. Jadi bukan sebatas reaksi spontan sebagai sebuah konflik horisontal dalam politik.
Di Lokasi Hutan SalamHutan Salam yang masuk kawasan Perhutani KPH Jatirogo juga menjadi lokasi kuburan massal, diduga berisi 24 orang korban genosida 1965 di daerah Tuban. Diantara 24 orang itu ada 3 orang Gerwani dibunuh dan dikubur di lokasi itu. Diantara ketiga perempuan Gerwani itu ada yang dikenali bernama Trijoto, kolega Sodiningsih yang juga anggota Gerwani dari Tuban.
Saksi mata Darso, yang saat kejadian tengah menggembalakan ternaknya; berkisah soal apa yang dilihatnya di lokasi Hutan Salam ketika itu. Eksekusi 24 orang dilakukan dengan cara ditembak sten-gun. Keseluruhan korban yang dieksekusi dikuburkan di lokasi itu juga.
Pembunuhan dan penguburan secara massal di hutan Salam ini terjadi pada bulan November 1965. Itu ditengarai terjadi sebelum memasuki puasa bulan Ramadhan yang bertepatan dengan awal-awal Desember 1965. Malam awal memasuki bulan puasa masih terjadi pembunuhan massal di daerah Nggowa yang lokasinya dikenal dengan hutan PKI.
[Bersambung]
Your comment?