19 Desember 1948 | Amir Sjarifuddin Dieksekusi Mati
Catatan: Martin L
Hari ini tepat 70 tahun lalu Amir Sjarifuddin bersama 10 orang kawannya menjalani eksekusi mati di desa Ngaliyan, Karanganyar.
Sebelum ditembak, Amir dkk dibariskan di tepi lubang besar yang dipersiapkan sebagai kuburan bagi mereka. Sambil berbaris mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya, dilanjutkan dengan lagu Internationale.
Sesudah menyanyikan lagu Internationale, Amir meminta waktu sejenak membaca Alkitab dan berdoa sebagai seorang Kristen. Ia juga meminta supaya Alkitab yang selalu dibawanya ditaruh di bawah kepalanya untuk dijadikan sebagai bantal waktu ia dikuburkan. (Sutan. H. Pardede, Di Pinggir Sungai Yang-Tse (Catatan Kenangan dan Pemikiran, hlm. 25).
Setelah berdoa, Amir kembali ke barisan. Ia siap untuk ditembak. Dari dalam barisan, Amir berteriak lantang:
”Bersatulah kaum buruh seluruh dunia. Aku mati untukmu!”
Saat teriakan Amir berakhir, letusan senjata dari regu tembak menyalak.
Amir Sjarifuddin (dkk) dihukum mati tanpa pernah diadili. Tuduhan yang dikenakan kepada mereka; memimpin pemberontakan di Madiun, 19 September 1948.
Surat keterangan eksekusi mati terhadap Amir dkk yang dikeluarkan oleh Kepolisian Keresidenan Surakarta pada tanggal 20 September 1950 tidak menjelaskan segi-segi hukum dari eksekusi mati itu.
Isi proses verbal dan surat keterangan eksekusi mati tersebut bahkan tidak pernah diserahkan kepada keluarga Amir dkk. (M.R. Siregar, Tragedi Manusia dan Kemanusiaan: Holokos Terbesar Setelah Nazi, hlm. 41).
Terkait eksekusi mati Amir dkk, mantan Presiden Dewan Gereja se-Dunia, Pdt. Dr. SAE Nababan pada tanggal 26 Nopember 2009 menyatakan:
”…Harus dipertanyakan, bagaimana pemerintah yang dipimpin oleh Mohammad Hatta yang berpendidikan Barat itu dapat melaksanakan hukuman mati kepada Amir dkk tanpa proses peradilan? Indonesia yang pada waktu itu telah berunding dengan Belanda di bawah pengawasan PBB, tentu sudah mengetahui tentang adanya peradilan yang wajar bagi seorang tawanan perang atau tawanan politik, apalagi pemberlakuan hukuman mati. Harus dicatat bahwa “hukum perang” yang diterapkan untuk menjatuhkan eksekusi mati kepada Amir dkk tidak mengena!”
Amir Sjarifuddin lahir di Medan, 27 Mei 1907. Ia menorehkan riwayat perjuangan dalam tiga masa; sejak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, Pendudukan Jepang hingga tiga tahun pertama masa Revolusi Kemerdekaan.
Amir tokoh penting dibalik lahirnya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Ia banyak berkiprah dalam dunia politik, pers dan pendidikan kebangsaan.
Ketika sebagian besar pemimpin nasional memilih bekerjasama dengan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya, Amir memilih jalan melakukan perlawanan terhadap Pendudukan Jepang.
Di masa Revolusi Kemerdekaan, Amir memainkan peranan penting memimpin perjuangan pembebasan bangsa Indonesia. Sayangnya, hidup Amir berakhir di tangan sesama bangsa yang mengkhianati revolusi.
Mohammad Hatta, menumbalkan Amir dan 8.000 golongan revolusioner untuk melapangkan jalan masuknya cengkeraman imperialisme ekonomi-politik Amerika Serikat dan Belanda di Indonesia, lewat Teror Putih yang bernama Peristiwa Madiun. []
Your comment?