PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah Negara Agraris dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Dalam sebuah Negara agraris tanah merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan tanah secara tepat. Dalam pengeloalaan tanah itu sendiri tidak dapat hanya difokuskan hanya pada pengelolaan oleh pihak Negara terhadap tanah itu sendiri. Diperlukan adanya partisipasi penduduk dalam pengelolaan tanah ini, karena jika tidak demikian maka masalah ketimpangan kepemilikan tanah akan menjadi persoalan yang tidak akan kunjung selesai dalam sebuah Negara Agraris. Negara dalam hal ini sering berperan sebagai pihak yang menguasai tanah, padahal seharusnya Negara yang mengelola tanah tersebut untuk kesejahteraan masyarakat hal ini menurut UUD 1945 pasal 33.
Penduduk dalam konteks masalah pertanahan ini dikhususkan kepada masyarakat desa yang memang mendominasi mata pencaharian di bidang pertanian. Ini harus diperhatikan secara cermat karena tanah bagi penduduk desa adalah sesuatu yang sangat berharga bahkan apabila dapat diibaratkan tanah merupakan “Nyawa kehidupan” penduduk desa. Sehingga dalam permasalahan yang menyangkut pertanahan penduduk desa akan melakukan cara apapun demi tujuan terhadap tanah yang dikehendaki tersebut tercapai.
Pola kepemilikan tanah yang merupakan suatu “kearifan lokal” dari penduduk desa adalah kepemilikan tanah secara komunal. Sistem pemilikan model ini tidak mengizinkan seseorang menguasai sebuah bidang tanah yang luas, karena pada hakekatnya tanah adalah milik bersama dari penduduk desa bersangkutan. Dapat dibayangkan bagaimana sistem ini begitu menjujung tinggi adanya kebersamaan dikalangan penduduk desa itu. Sehingga tidak ada satu penduduk desa yang menonjol kekayaan tanah yang dimilikinya, karena tanah dikelola oleh para elit desa yang kemudian dibagikan secara “merata” kepada seluruh penduduk desa. Pembagian ini sendiri memiliki beberapa pola diantaranya yaitu sebidang tanah dikerjakan bersama atau diberikan hak khusus kepada seseorang untuk mengelola sebidang tanah dengan kurun waktu tertentu, dan setelah kurun waktu yang disepakati tersebut habis maka pengelolaan tanah tersebut pindah ke orang lain. Sistem ini berjalan terus memutar hingga seluruh penduduk desa memperoleh hak atas pengelolaan tanah tersebut. Kalaupun ada kepemilikan tanah secara turun temurun, itu merupakan sebuah hak istimewa yang diberikan kepadanya karena telah membuka hutan dan menggunakanya sebagai tempat tinggal.
Sistem kepemilikan secara komunal ini sudah berjalan secara turun temurun. Kebersamaan merupakan tujuan utama dari sistem ini. Sehingga dalam periode tanam paksa yang berjalan antara tahun 1830-1870 sistem ini memberikan suatu keadaan yang menarik dari kondisi petani pedesaan di jawa. Hal menarik tersebut adalah yang menurut Clifford Geertz disebut sebagai adanya Shared Poverty
[1] atau pemerataan kemiskinan di kalangan petani di pedesaan Jawa. Disebut demikian karena banyaknya penggarap atau petani dalam sebidang tanah yang luasnya relatif kecil. Tetapi sistem kepemilikan tanah secara komunal ini mulai hancur seiring diberlakukanya Undang- Undang Agraria pertama yang membuat semakin terbukanya wilayah Indonesia khususnya Jawa untuk perkebunan perorangan atau partikelir yang menggunakan tenaga kerja sewaan dan untuk penyewaan tanah dari petani secara besar- besaran. Dengan diberlakukanya UU Agraria tersebut maka kepemilikan secara perorangan meningkat dalam jumlah yang sangat pesat karena banyaknya investor- investor asing yang membuka usaha perkebunan di daerah pedesaan jawa. Jurang pembedaan antara orang kaya dalam hal ini adalah majikan dan orang miskin dalam hal ini adalah buruh- buruh perkebunan semakin melebar. Banyak penduduk desa yang kehilangan tanahnya karena disewa oleh investor- investor perkebunan baik itu asing maupun pribumi, sehingga mereka terpaksa menjadi seorang buruh tani atau buruh perkebunan. Kedaan ini hampir serupa di seluruh Indonesia khususnya Jawa.
Seiring masuknya kapital- kapital perkebunan yang banyak menguasai tanah di daerah pedesaan Jawa, suatu proses moneterisasi dari kalangan penduduk desa sendiri merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Perubahan orientasi inilah yang nantinya akan membawa perubahan karakter penduduk desa yang mulanya sangat menjunjung tinggi kebersamaan kini lebih bersifat materialistis, karena semua diukur dalam ukuran materi atau uang. Proses ini sering disebut sebagai kapitalisasi pedesaan Jawa. Moneterisasi yang dialami penduduk desa ini menghilangkan perasaan kekeluargaan yang selama ini hinggap dalam jiwa masyarakat desa, sehingga mereka akan menempuh berbagai cara walaupun itu cara yang tidak benar untuk memperoleh tujuan yang ingin mereka capai. Bahkan sering terjadi perkelahian ataupun pembunuhan ketika terdapat sebuah persoalan yang menyangkut tanah didalamnya. Ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi apabila sebuah masyarakat sudah mengenal adanya uang dan orientasi mereka sudah tertuju pada segala persoalan yang menyangkut material.
Dalam masyarakat Jawa Timur periode ini sendiri merupakan masa yang dapat disebut sebagai periode terpuruknya para petani baik itu yang mempunyai tanah ataupun yang tidak mempunyai tanah. Muncul kelas baru dalam struktur agraris masyarakat jawa timur yaitu kelas kuli. Kelas kuli atau buruh inilah yang nantinya sangat tereksploitasi oleh berbagai kebijakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah kolonial belanda. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa para elite lokal ikut berperan dalam pengeksploitasian tenaga kerja buruh ini. Berbagai kuota tambahan dikenakan dikenakan untuk kepentingan para elit lokal itu sendiri.
Kelas buruh yang tidak mempunyai tanah ini pada perkembangan selanjutnya banyak dipekerjakan di perkebunan- perkebunan milik pengusaha asing ataupun lokal. Mereka sering disebut dengan istilah buruh bayaran yang sistemnya adalah kontrak. Di daerah Madiun dan Kediri kepemilikan secara komunal hampir sulit untuk ditemukan lagi karena bertambah dengan pesatnya kepemilikan tanah secara perorangan ini. Ini terjadi pada periode sekitar tahun 1927
[2]. Sebenarnya pemerintah kolonial telah berusaha untuk membatasi kepemilikan tanah secara perorangan ini tetapi pada kenyataanya mereka banyak mendapat tantangan dari para pemilik perkebunan dan dan elit- elit lokal. Pertentangan ini berlangsung berlarut- larut bahkan ketika Indonesia sudah mencapai kemerdekaan. Berbagai konflik sering terjadi antara buruh yang tidak mempunyai tanah tersebut dengan para pemilik tanah yang luas secara perorangan tersebut. Perkelahian dan pembunuhan dari kedua belah pihak adalah suatu kejadian yang biasa di pedesaan Jawa Timur.
Dengan diberlakukanya land reform pada tahun 1960 membuat persengketaan ini semakin meruncing. Apalagi dengan campur tangan dari organisasi politik ataupun masa seperti PKI dan BTI yang mengatas namakan petani sebagai dasar dari perjuangan mereka, konflik berkelanjutan ini seakan tidak pernah berakhir. Berbagai teror dilancarkan dari kedua belah pihak. Dalam hal ini para elite desa atau lokal menggunakan jasa para preman- preman bayaran untuk membentengi diri dari perlawanan kaum tani yang diorganisir oleh PKI dan BTI tersebut. Keadaan ini diperparah oleh kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap masalah penting mengenai tanah di Negara agrarian ini. Konflik ini berbuntut pada pembantaian besar- besaran terhadap para petani yang diindikasikan sebagai simpatisan PKI di jawa Timur. Jawa Timur menjadi objek adanya pembunuhan terhadap petani- petani yang dianggap simpatisan PKI karena wilayah ini adalah dasar kekuatan PKI, ini terlihat bagaimana PKI sangat berkembang di daerah ini. Pembunuhan ini sendiri cenderung dilegalkan Negara karena PKI dianggap sebagai dalang sebuah kudeta yang sangat terkenal yaitu G 30 S. Berbagai pihak terlibat dalam pembunuhan keji ini mulai dari tentara, para petani yang membenci PKI, para elit desa, bahkan gerakan muda ansor yang merupakan gerakan religious para pemuda NU. Sebuah masa kelam dalam sejarah Indonesia yang seharusnya diungkap lebih mendalam, karena pada masa orde baru berkuasa selama 32 tahun kejadian yang menyedihkan ini cenderung ditutup-tutupi oleh rezim yang sedang berkuasa. Betapa tidak karena sebuah pembunuhan besar- besaran terhadap ratusan ribu petani di Jawa Timur tidak dilakukan oleh bangsa dari Negara lain, tetapi oleh saudara satu bangsanya sendiri.
Trackbacks/Pingbacks
[…] Luthfi Sejarah reforma agraria yang berimpitan dengan sejarah kekerasan di perdesaan Konflik dan Kekerasan Sekitar Land-Reform Tahun 1960-1967 – Fauzi Pergolakan agraria berujung pembantaian 1965-1966 Memory Kolektif: dari tanah sampai ke […]