Konflik dan Kekerasan Sekitar Land-Reform Tahun 1960-1967

7161 Viewed Redaksi 1 respond
Ilustrasi: Landreform dan aksi sepihak BTI menganyang setan desa [Foto: Sindonews]
Minggu, 18 Mei 2008 | Fauzi
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah Negara Agraris dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian. Dalam sebuah Negara agraris tanah merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan tanah secara tepat. Dalam pengeloalaan tanah itu sendiri tidak dapat hanya difokuskan hanya pada pengelolaan oleh pihak Negara terhadap tanah itu sendiri. Diperlukan adanya partisipasi penduduk dalam pengelolaan tanah ini, karena jika tidak demikian maka masalah ketimpangan kepemilikan tanah akan menjadi persoalan yang tidak akan kunjung selesai dalam sebuah Negara Agraris. Negara dalam hal ini sering berperan sebagai pihak yang menguasai tanah, padahal seharusnya Negara yang mengelola tanah tersebut untuk kesejahteraan masyarakat hal ini menurut UUD 1945 pasal 33.
Penduduk dalam konteks masalah pertanahan ini dikhususkan kepada masyarakat desa yang memang mendominasi mata pencaharian di bidang pertanian. Ini harus diperhatikan secara cermat karena tanah bagi penduduk desa adalah sesuatu yang sangat berharga bahkan apabila dapat diibaratkan tanah merupakan “Nyawa kehidupan” penduduk desa. Sehingga dalam permasalahan yang menyangkut pertanahan penduduk desa akan melakukan cara apapun demi tujuan terhadap tanah yang dikehendaki tersebut tercapai.
Pola kepemilikan tanah yang merupakan suatu “kearifan lokal” dari penduduk desa adalah kepemilikan tanah secara komunal. Sistem pemilikan model ini tidak mengizinkan seseorang menguasai sebuah bidang tanah yang luas, karena pada hakekatnya tanah adalah milik bersama dari penduduk desa bersangkutan. Dapat dibayangkan bagaimana sistem ini begitu menjujung tinggi adanya kebersamaan dikalangan penduduk desa itu. Sehingga tidak ada satu penduduk desa yang menonjol kekayaan tanah yang dimilikinya, karena tanah dikelola oleh para elit desa yang kemudian dibagikan secara “merata” kepada seluruh penduduk desa. Pembagian ini sendiri memiliki beberapa pola diantaranya yaitu sebidang tanah dikerjakan bersama atau diberikan hak khusus kepada seseorang untuk mengelola sebidang tanah dengan kurun waktu tertentu, dan setelah kurun waktu yang disepakati tersebut habis maka pengelolaan tanah tersebut pindah ke orang lain. Sistem ini berjalan terus memutar hingga seluruh penduduk desa memperoleh hak atas pengelolaan tanah tersebut. Kalaupun ada kepemilikan tanah secara turun temurun, itu merupakan sebuah hak istimewa yang diberikan kepadanya karena telah membuka hutan dan menggunakanya sebagai tempat tinggal.
Sistem kepemilikan secara komunal ini sudah berjalan secara turun temurun. Kebersamaan merupakan tujuan utama dari sistem ini. Sehingga dalam periode tanam paksa yang berjalan antara tahun 1830-1870 sistem ini memberikan suatu keadaan yang menarik dari kondisi petani pedesaan di jawa. Hal menarik tersebut adalah yang menurut Clifford Geertz disebut sebagai adanya Shared Poverty[1] atau pemerataan kemiskinan di kalangan petani di pedesaan Jawa. Disebut demikian karena banyaknya penggarap atau petani dalam sebidang tanah yang luasnya relatif kecil. Tetapi sistem kepemilikan tanah secara komunal ini mulai hancur seiring diberlakukanya Undang- Undang Agraria pertama yang membuat semakin terbukanya wilayah Indonesia khususnya Jawa untuk perkebunan perorangan atau partikelir yang menggunakan tenaga kerja sewaan dan untuk penyewaan tanah dari petani secara besar- besaran. Dengan diberlakukanya UU Agraria tersebut maka kepemilikan secara perorangan meningkat dalam jumlah yang sangat pesat karena banyaknya investor- investor asing yang membuka usaha perkebunan di daerah pedesaan jawa. Jurang pembedaan antara orang kaya dalam hal ini adalah majikan dan orang miskin dalam hal ini adalah buruh- buruh perkebunan semakin melebar. Banyak penduduk desa yang kehilangan tanahnya karena disewa oleh investor- investor perkebunan baik itu asing maupun pribumi, sehingga mereka terpaksa menjadi seorang buruh tani atau buruh perkebunan. Kedaan ini hampir serupa di seluruh Indonesia khususnya Jawa.
Seiring masuknya kapital- kapital perkebunan yang banyak menguasai tanah di daerah pedesaan Jawa, suatu proses moneterisasi dari kalangan penduduk desa sendiri merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Perubahan orientasi inilah yang nantinya akan membawa perubahan karakter penduduk desa yang mulanya sangat menjunjung tinggi kebersamaan kini lebih bersifat materialistis, karena semua diukur dalam ukuran materi atau uang. Proses ini sering disebut sebagai kapitalisasi pedesaan Jawa. Moneterisasi yang dialami penduduk desa ini menghilangkan perasaan kekeluargaan yang selama ini hinggap dalam jiwa masyarakat desa, sehingga mereka akan menempuh berbagai cara walaupun itu cara yang tidak benar untuk memperoleh tujuan yang ingin mereka capai. Bahkan sering terjadi perkelahian ataupun pembunuhan ketika terdapat sebuah persoalan yang menyangkut tanah didalamnya. Ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi apabila sebuah masyarakat sudah mengenal adanya uang dan orientasi mereka sudah tertuju pada segala persoalan yang menyangkut material.
Dalam masyarakat Jawa Timur periode ini sendiri merupakan masa yang dapat disebut sebagai periode terpuruknya para petani baik itu yang mempunyai tanah ataupun yang tidak mempunyai tanah. Muncul kelas baru dalam struktur agraris masyarakat jawa timur yaitu kelas kuli. Kelas kuli atau buruh inilah yang nantinya sangat tereksploitasi oleh berbagai kebijakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah kolonial belanda. Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa para elite lokal ikut berperan dalam pengeksploitasian tenaga kerja buruh ini. Berbagai kuota tambahan dikenakan dikenakan untuk kepentingan para elit lokal itu sendiri.
Kelas buruh yang tidak mempunyai tanah ini pada perkembangan selanjutnya banyak dipekerjakan di perkebunan- perkebunan milik pengusaha asing ataupun lokal. Mereka sering disebut dengan istilah buruh bayaran yang sistemnya adalah kontrak. Di daerah Madiun dan Kediri kepemilikan secara komunal hampir sulit untuk ditemukan lagi karena bertambah dengan pesatnya kepemilikan tanah secara perorangan ini. Ini terjadi pada periode sekitar tahun 1927[2]. Sebenarnya pemerintah kolonial telah berusaha untuk membatasi kepemilikan tanah secara perorangan ini tetapi pada kenyataanya mereka banyak mendapat tantangan dari para pemilik perkebunan dan dan elit- elit lokal. Pertentangan ini berlangsung berlarut- larut bahkan ketika Indonesia sudah mencapai kemerdekaan. Berbagai konflik sering terjadi antara buruh yang tidak mempunyai tanah tersebut dengan para pemilik tanah yang luas secara perorangan tersebut. Perkelahian dan pembunuhan dari kedua belah pihak adalah suatu kejadian yang biasa di pedesaan Jawa Timur.
Dengan diberlakukanya land reform pada tahun 1960 membuat persengketaan ini semakin meruncing. Apalagi dengan campur tangan dari organisasi politik ataupun masa seperti PKI dan BTI yang mengatas namakan petani sebagai dasar dari perjuangan mereka, konflik berkelanjutan ini seakan tidak pernah berakhir. Berbagai teror dilancarkan dari kedua belah pihak. Dalam hal ini para elite desa atau lokal menggunakan jasa para preman- preman bayaran untuk membentengi diri dari perlawanan kaum tani yang diorganisir oleh PKI dan BTI tersebut. Keadaan ini diperparah oleh kurangnya perhatian pemerintah pusat terhadap masalah penting mengenai tanah di Negara agrarian ini. Konflik ini berbuntut pada pembantaian besar- besaran terhadap para petani yang diindikasikan sebagai simpatisan PKI di jawa Timur. Jawa Timur menjadi objek adanya pembunuhan terhadap petani- petani yang dianggap simpatisan PKI karena wilayah ini adalah dasar kekuatan PKI, ini terlihat bagaimana PKI sangat berkembang di daerah ini. Pembunuhan ini sendiri cenderung dilegalkan Negara karena PKI dianggap sebagai dalang sebuah kudeta yang sangat terkenal yaitu G 30 S. Berbagai pihak terlibat dalam pembunuhan keji ini mulai dari tentara, para petani yang membenci PKI, para elit desa, bahkan gerakan muda ansor yang merupakan gerakan religious para pemuda NU. Sebuah masa kelam dalam sejarah Indonesia yang seharusnya diungkap lebih mendalam, karena pada masa orde baru berkuasa selama 32 tahun kejadian yang menyedihkan ini cenderung ditutup-tutupi oleh rezim yang sedang berkuasa. Betapa tidak karena sebuah pembunuhan besar- besaran terhadap ratusan ribu petani di Jawa Timur tidak dilakukan oleh bangsa dari Negara lain, tetapi oleh saudara satu bangsanya sendiri.
PEMBAHASAN
A. Gagasan Land Reform dan Proses Pelaksanaanya
Seiring berjalanya proses revolusi 1945, ide- ide demokrasi secara terus menerus diterapkan pada Negara Indonesia yang masih sangat muda ini. Menyadari bahwa Negara ini merupakan Negara agraris maka masalah tanah yang pada periode sebelumnya merupakan masalah penduduk desa yang menyebabkan kemiskinan mereka, akan dilaksanakan segera. Berbagai UU diterapkan untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan hak- hak feodal yang diterima para tuan tanah dan elit desa pada masa pemerintah kolonial Belanda. Karena hal ini dianggap tidak sesuai dengan cita-cita demokrasi di Indonesia. Di samping itu pesatnya penduduk di Jawa khususnya baik itu karena kelahiran atau migrasi-migrasi penduduk luar Jawa untuk tinggal di Jawa dan tidak diimbangi dengan perluasan areal tanah bahkan cenderung berkurang membuat pemerintah merasa perlu untuk segera membuat sebuah peratuarn tentang kepemilikan dan pendistrsibusian tanah.
Langkah permulaan adalah Menteri Dalam negeri berdasarkan undang- undang yang berlaku yaitu (UU No. 13/1946), tidak mengakui desa beserta keluarga- keluarga yang berkuasa atas semua hak istimewa tradisionalnya. Sistem ini berjalan dengan memberikan kompensasi kepada para tuan tanah yang kehilangan hak atas tanahnya itu. Tanah- tanah yang sudah diambil alih pemerintah tersebut kemudian dibagikan secara merata kepada penduduk yang belum mempunyai tanah. Kemudian dibentuk undang- undang darurat (UU No. 13/1948) sebagai tindak lanjut dari land reform oleh Pemerintah RI. Adapun UU ini menyebutkan bahwa semua tanah yang sebelumnya dikuasai oleh sekitar 40 perusahaan gula Belanda di Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta, disediakan untuk petani- petani Indonesia. Pemberlakuan UU ini dimaksudkan untuk mengakhiri persaingan penguasaan tanah dan air yang tidak seimbang, antara perusahaan gula yang kuat dengan petani yang terorganisir. Dibentuk (UU No. 1/1958) oleh pemerintah untuk menghapuskan tanah- tanah partikelir dan semua hak- hak istimewa yang dimiliki tuan tanah. Tuan- tuan tanah diberi pilihan antara menjual tanah mereka langsung kepada petani Indonesia, atau mengalihkanya kepada pemerintah untuk dibagi- bagikan diantara penduduk setempat di bekas perkebunan yang bersangkutan[3].
Tetapi dalam prakteknya berbagai UU ini menemui banyak halangan terutama dari para tuan tanah dan elit desa. Berbagai unsur- unsur feodalisme tersebut masih sangat kuat pengaruhnya terutama di pedesaan. Ada kecenderungan anggapan bahwa para petani hanya mempunyai hak untuk menggarap tanah pertanian sedangkan kepemilikan secara mutlak tetap berada di tangan para elit lokal. Berbagai hak- hak feodal yang dimiliki para elit desa dalam hal ini lurah atau bekel seperti tanah lungguh, tanah apanage masih tetap kokoh walaupun UU sudah diberlakukan oleh pemerintah pusat. Lurah tetap memiliki peran yang sangat penting dalam masyarakat pedesaan Jawa dan sistem yang telah terstruktur selama berabad- abad ini tidak mudah untuk dibongkar begitu saja. Bahkan pemerintah kolonial Belanda tidak dapat membongkar sistem ini. Sehingga peran mereka masih tetap diberlakukan dalam struktur birokrasi pemerintah Kolonial.
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia khususnya dalam periode pembangunan peran lurah masih sebagai seseorang yang mempunyai kekuasaan tertinggi di wilayah desa yang dipimpin olehnya[4]. Oleh karena itu diterapkan berbagai strategi untuk menjalankan land reform secara maksimal. Diantaranya adalah diberikanya berbagai kompensasi agar para elit desa tersebut bersedia untuk menjual tanah yang dimilikinya kepada Negara atau pemerintah pusat. Keadaan ini kemudian membuat PKI dan BTI selalu mendesak agar pemerintah pusat segera mengesahkan UU Agraria yang nantinya akan membawa kehidupan petani pedesaan menjadi lebih baik. Bahkan PKI dan BTI membentuk beberapa panitia untuk menyelidiki berapa luas tanah yang dimiliki oleh para elit desa dan tuan tanah serta penyelewengan yang terjadi di dalamnya.
Di samping benturan dengan kepentingan elit- elit lokal tersebut, kendala dari pemberlakuan UU Agraria yang baru ini adalah tidak adanya persetujuan DPR dengan diberlakukanya UU tersebut. Tetapi pada masa demokrasi terpimpin saat kekuasaan presiden sangat mutlak dan mengacuhkan peran legislatif dalam poros kekuasaan maka akhirnya UU Agraria ini dapat terlaksana. Pada tahun 1960 dibentuk UU Pokok Agraria Indonesia (UU No, 5/1960) oleh presiden. UU ini ditandatangani oleh presiden pada tanggal 24 September 1960[5]. Ini merupakan suatu kelanjutan dari usaha dari pemerintah untuk melakukan land reform Indonesia. Tindak lanjut dari UU ini adalah pada tanggal 24 September 1961 telah terbentuk panitia- panitia di ketiga tingkat daerah otonom untuk melaksanakan kegiatan pendaftaran pertama dan seterusnya dari kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimum menurut hukum[6]. Adapun kelebihan tanah tersebut akan dibagikan kepada petani yang memerlukan tanah.
B. Land Reform dan Konflik di Jawa Timur
Kebijakan land reform di Jawa Timur dilakukan oleh panitia yang ditunjuk pada tahun 1961 untuk meredistribusi tanah di pedesaan. Berbagai kepemilikan secara individu mulai dibatasi dengan kuota maksimal yang harus dipatuhi karena jika tidak sisa tanah yang dikuasai oleh perorangan tersebut akan diambil alih Negara. Tetapi dalam prakteknya sering terjadi penyimpangan dan kecurangan yang dilakukan oleh para tuan tanah. Mulai dari pemalsuan luas tanah yang dilaporkan sampai pembuatan akta palsu dengan nama orang lain atau nama fiktif. Berbagai penyuapan juga terjadi kepada panitia pelaksana, dan ini merupakan fenomena yang umum terjadi karena sudah mengakar. Dalam sejarahnya proses penyuapan ini sering terjadi dalam hal perizinan.
Tidak meratanya pembagian tanah dan berbagai bentuk penyimpangan pelaksaan tersebut mengindikasikan adanya kemandulan pihak pemerintah khususnya panitia pelaksana land reform yang ditunjuk pada tahun 1961 untuk mengurus wilayah- wilayah otonom sehingga membuat banyak petani di Jawa khususnya Jawa Timur merasa tidak sabar untuk menanti realisasi UUP Agraria tersebut. Ujung- ujungnya adalah banyak terjadi aksi sepihak dari para petani untuk “merampas” tanah- tanah milik tuan tanah yang besar. Di samping itu perampokan terhadap hasil bumi dari tanah milik tuan tanah juga sering terjadi pada periode ini.
Polarsasi kekuatan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari karena memang dalam pedesaan Jawa Timur terdapat dua kelompok besar yang mempunyai kepentingan yang bertolak belakang. Di satu pihak para tuan tanah yang ingin mempetahankan tanah- tanah mereka dan kaum petani gurem yang menginginkan agar tanah para tuan tanah tersebut terdistribusi secara merata. Dapat dipahami bahwa kedua pihak melakukan berbagai cara untuk mencapai tujuanya, karena seperti yang disebutkan di atas bahwa tanah bagi penduduk desa adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Keadaan ini diperparah oleh berbagai partai politik yang melakukan campur tangan dalam polarisasi kekuatan masyarakat pedesaan. PKI yang bersemboyan “tanah untuk rakyat” berada dipihak para petani gurem ini. Maka dibentuk BTI untuk mewadahi aspirasi para petani gurem dalam memperjuangkan haknya untuk memperoleh tanah. Di sisi lain PNI dan Masyumi berada di pihak para tuan tanah karena memang dalam arena politik mereka adalah partai yang sangat menentang PKI yang terlalu berpengaruh di pemerintahan. PNI dan Masyumi juga sangat menentang berbagi aksi yang digalang oleh PKI lewat BTI untuk melakukan aksi secara sepihak untuk merebut secara paksa tanah- tanah milik para tuan tanah, karena mereka menganggap bahwa proses pendistribusian harus melalui berbagi prosedur yang sudah ada. Di sisi lain PKI sangat menentang berbagai prosedur yang ada karena dianggap lebih menguntungkan para tuan tanah daripada para petani gurem.
Keadaan desa di Jawa Timur yang sangat kompleks ketidakmerataanya adalah akibat berbagai kebijakan pemerintah kolonial dalam masa tanah paksa. Beberapa keluarga sikep mengangkat dirinya menjadi cikal-bakal atau keluarga pendiri desa, dam berusaha memonopoli kedudukan-kedudukan desa. Selanjutnya ada golongan pemilik halaman. Dan akhirnya masih ada kelompok numpang di antara mereka yang tidak pernah lenyap seluruhnya seperti halnya dengan golongan sikep. Apa yang terjadi ialah bahwa karena beban-beban negara setiap orang menjadi menjadi semakin miskin. Di samping itu pertambahan penduduk yang pesat dan sedikitnya lapangan pekerjaan yang dapat diperoleh membuat petani gurem merasa hidupnya sangat tertekan.
Persengketaan tanah ini juga melibatkan pihak pesantren, dimana pihak pesanten ini dengan digalang oleh Masyumi berpihak kepada para tuan tanah. Aksi-aksi sepihak kelompok petani untuk mengambil alih tanah milik para tuan tanah tersebut juga merupakan bentuk awal konflik sosial di wilayah Jombang-Kediri. Pada bulan Juni 1962, misalnya, di Kaliboto, Kediri, terjadi pengambilalihan sepetak sawah oleh ratusan anggota PKI terhadap tanah milik Haji Syakur, dan di Kentjong sawah milik Haji Samur juga diambil alih oleh massa PKI. Konflik sosial akibat penerapan UUPA dan UUPBH itu ternyata tidak hanya melahirkan konflik antara tuan tanah dan petani, tetapi juga antara pihak pabrik gula dengan petani. Pada November 1964 misalnya, ketika Pabrik Gula Ngadiredjo mengambil-alih tanah milik Pabrik Gula Jengkol yang lama tidak dimanfaatkan tetapi sehari-hari digarap oleh para petani BTI (Barisan Tani Indonesia, organisasi petani underbouw PKI), terjadi insiden penembakan yang menewaskan 15 petani. Konflik terdahsyat adalah kasus bentrokan anggota PKI dengan para pemuda yang tergabung dalam organisasi Persatuan Pelajar Islam (PII), sayap pelajar Masyumi, di Kanigoro (wilayah Kediri, Jawa Timur) pada bulan Januari 1965.
Berbagai doktrin perjuangan PKI yang dipergunakan sebagai dasar perlawanan sosial terhadap pihak tuan tanah sering dilakukan. Diantaranya adalah melalui BTI (Barisan Tani Indonesia), SOBSI dan Pemuda Rakyat, PKI juga mulai menggarap desa-desa dan mengeluarkan slogan “Tujuh Setan Desa”. Mereka yang disebut setan itu adalah tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa serta pengirim zakat. Setelah slogan ini dipropagandakan, mulailah terjadi pembantaian dan pembunuhan terhadap mereka yang oleh penduduk desa dianggap ‘setan’. Dengan maraknya aksi brutal PKI, enam partai mengeluarkan pernyataan yang sifatnya mengecam tindakan PKI. Mereka adalah PNI, NU, Parkindo, Partai Katolik, PSII dan IPKI. Di samping slogan “tujuh setan desa juga terdapat lagu perjuangan yang sering dinyanyikan. Lagu perjuangan tersebut adalah kembang- kembang genjer, yang merupakan lagu daerah masyarakat Banyuwangi. Penggagas agar lagu ini dibuat sebagai lagu perjuangan adalah D.N. Aidit, karena menurutnya lirik dari lagu ini merefleksikan berbagai penderitaan yang diderita oleh petani gurem dan perjuanganya dalam menjalani hidup.

Berbagai doktrin bahwa tanah adalah milik rakyat dan bukan milik Negara ataupun tuan tanah telah membuat PKI merekrut ribuan simpatisan yang nantinya akan berjuang secara sepihak untuk menuntut hak mereka atas tanah. Setiap hari PKI Mengumpulkan ratusan lelaki dan perempuan yang bersenjatakan pacul, arit, dan palu untuk merampas secara paksa tanah milik tuan tanah yang dianggap melebihi batas ketentuan. Kalau tidak melakukan perampasan tanah maka dilakukan penjarahan terhadap hasil bumi yang ada diatasnya. Di lain pihak para tuan tanah memiliki preman- preman bayaran yang diutus untuk menjaga dan melakukan perlawanan terhadap gerakan petani yang digalang PKI. Di samping preman- preman bayaran tersebut kesatuan pemuda muslim juga aktif melakukan perlawanan terhadap gerakan petani. Sehingga perkelahian yang berujung pada pembunuhan terjadi dalam kedua pihak dan tidak dapat dihindari.

 

C. Pembantaian Petani di Jawa Timur

Dengan diumumkanya peristiwa G 30 S oleh Mayor Jendral Soeharto, dan juga disebutkan bahwa dalang dari suksesi ini adalah PKI, maka berbagai upaya untuk membasmi para “gerombolan pemberontak” ini mulai dilancarkan secara gencar. Daerah yang paling banyak dilakukan operasi ini adalah Jawa Timur, karena banyak sekali simpatisan PKI di wilayah ini. Karena banyak sekali kejadian- kejadian pembunuhan di daerah ini seperti peristiwa Kanigoro di Kediri, peristiwa Tanggul Kulon di Banyuwangi, Peristiwa Jengkol di Kediri, Peristiwa Utrecht di Jember, Peristiwa penyerangan wisuda sarjana Universitas Brawijaya, peristiwa Rapat Liga Demokrasi di Surabaya, dan peristiwa Cemethuk di Banyuwangi.
Oleh karena itu pada waktu pasca G 30 S wilayah Jawa Timur yang paling sangat kacau. Berbagai pembunuhan dan pengejaran terhadap petani yang diindikasikan merupakan simpatisan PKI dilakukan oleh tentara yang membunuhi karena dendam kesumat mereka karena para Jendral mereka “dibunuh” secara keji dengan inisiatif PKI, para tuan tanah yang juga dendam karena sering mendapat terror bahkan penganiayaan dari petani yang diorganisir PKI untuk merebut tanah mereka, dan juga para golongan keagamaan yang juga sangat dendam dan benci dengan PKI karena mereka dianggap menyimpang dan sering melakukan terror terhadap para pemuka agama islam. Dendam dan kebencian sangat mengilhami peristiwa ini sehingga sifat manusiawi seakan hilang.
Momen yang dimanfaatkan untuk menjadi semacam “pembenaran” bagi upaya menuntaskan berbagai kesumat dan konflik sosial yang punya akar sejarah cukup dalam di kawasan Jombang-Kediri. Dimulailah aksi-aksi pembersihan terhadap warga PKI. Dalam kasus di Jombang dan Kediri, terlihat peranan kelompok komunitas pesantren dalam aksi-aksi pembantaian tersebut cukup besar. Selain sebagai sumber legitimasi religius, kelompok pesantren ini bahkan juga terlibat langsung di lapangan. Berbagai kisah mengenai penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan sangat banyak terjadi di periode ini. Diantaranya adalah terdapat dalam sebuah ladang terbuka ratusan petani yang diindikasikan sebagai simpatisan PKI disuruh berbaris dan didepanya sudah menunggu seorang algojo yang membawa golok yang kemudian ditebaskan ke leher mereka. Terjadi juga penculikan terhadap para petani yang melakukan aksi sepihak pada periode pra- G 30 S, dimana para korban penculikan tersebut disiksa tanpa adanya kepastian hukum atau kemudian dibuang hingga sampai sekarang nasibnya tidak diketahui. Legitimasi dari pemerintah bahwa PKI adalah pemberontak membuat seakan- akan nyawa dari seorang simpatisan tidak berharga. Mereka dianggap seperti binatang yang dapat diperlakukan seenaknya. Tidak luput dari usaha pembasmian ini adalah keluarga petani bersangkutan yang ikut dilecehkan, disiksa, dan dibunuh.

Terdapat sebuah kisah memilukan dari seorang wanita yang bernama Sukinah yang merupakan warga Blitar Jawa Timur, ia merupakan seorang aktifis Gerwani. Suaminya ditangkap kerana diindikasikan terlibat dalam berbagai bentuk kekerasan pada masa pra G 30 S, bersama 3 anaknya dan janin 5 bulan dalam kandungannya kabur ke kota untuk menghindari penangkapan, karena pelarian yang sering ia lakukan maka ia memutuskan untuk menitipkan ke-empat anaknya di rumah anaknya. Ia menceritakan bahwa, ia sering di kejar-kejar oleh aparat khususnya angkatan darat tanpa tahu apa salahnya. Saat ia menumpang di rumah kakanya, kakak iparnya yang merupakan anggota angkatan darat mencoba memperkosanya[7]. Berbagai usaha pelecehan terhadap Sukinah sering terjadi. Dari contoh kisah simpatisan PKI tersebut tentunya kita bias membayangkan bagaimana penderitaan yang diterima seseorang simpatisan PKI walaupun ia sendiri tidak mengetahui apa salahnya.

 

KESIMPULAN
Tanah sebagai sumber kehidupan masyarakat desa memiliki peran yang penting sehingga suatu pengelolaan tanah yang baik diperlukan dalam hal ini. Sejarah mencatat bahwa segala persoalan dikalangan masyarakat desa akan selalu berakhir dengan konflik berkepanjangan. Usaha pemerintah untuk meredistrbusi kepemilikan tanah dari milik perorangannya yang luas untuk dibagikan kepada petani gurem yang tidak mempunyai tanah merupakan iktikad baik pemerintah, untuk memperbaiki kehidupan masyarakat desa khususnya petani gurem yang hidup menderita.

Usaha dari pemerintah ini dikukuhkan lewat UUP Agraria tahun 1960. Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat berbagai penyimpangan yang berujung pada terjadinya konflik antara petani yang dimotori oleh PKI lewat BTI dengan para tuan tanah yang dimotori oleh PNI, NU, dan Masyumi. Di pedesaan Jawa Timur sendiri terjadi polarisasi pada kedua unsur tersebut yang memiliki kepentingan berlawanan. Pertentangan kepentingan ini berujung kepada terjadinya perkelahian dan pembunuhan diantar kedua kubu. Keadaan ini berlangsung sangat lama. Ketika di Jakarta diumumkan bahwa PKI telah melakukan suatu kudeta dengan membunuh petinggi perwira AD, maka sebagai akibatnya adalah terjadi berbagai bentuk pembunuhan secara masal terhadap para petani yang dicurigai sebagai simpatisan PKI. Keadaan ini sungguh sangat menyedikan karena pembantaian ratusan ribu orang yang diindikasikan sebagai simpatisan-simpatisan PKI dilakukan oleh saudara-saudara se-bangsa sendiri.
Seharusnya keadaan ini menjadi koreksi bersama agar kejadian serupa tidak berulang lagi. Peran pemerintah sebagai pihak yang menguasai tanah dan menggunakannya demi kesejahteraan masyarakat harus dilakukan secara optimal karena hal ini tercantum dalam UUD 45 pasal 33.
Daftar Pustaka

· Geertz, C. 1971. Agricultural Involution. California : University Of California.
· Fransisca Ria Susanti. 2007. Kembang-Kembang Genjer. Yogyakarta : Jejak.
· Ibnu Purna, dkk. 1999. Membuka Lipatan Sejarah Menguak Fakta Gerakan PKI. Jakarta : Pustaka Cidesindo.
· Ipong S Azhar. 1999. Radikalisme Petani Masa Orde Baru. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.
· Rahardjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan Dan Pertanian. Yogyakarta : Gadjah Mada Universiti Press.
· R O’G Anderson, Benedict danb T McVey, Ruth. 2001. Kudeta 1 Oktober 1965. Yogyakarta : LKPSM.
· Sediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta : PT. Gramedia.
· Suhartono W. Pranoto. 2001. Serpihan Budaya Lokal. Yogyakarta : Agastya Media.
· Yumiko M. Prijono dan Prijono Tjiptoherijanto. 1983. Demokrasi Di Pedesaan Jawa. Jakarta : Penerbit Sinar Harapan.[1] Justus M. van der kroef, “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa”, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, .6( Jakarta: Gramedia, 1984) hlm. 152.
[2] Onghokham, “Perubahan Sosial di Madiun Selama Abad XIX: Pajak dan Pengaruhnya Terhadap Penguasaan Tanah”, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, .1( Jakarta: Gramedia, 1984) hlm. 23.[3] Selo Soemardjan, “Land Reform di Indonesia”, Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, .1( Jakarta: Gramedia, 1984) hlm. 104- 105.
[4] Suahartono W. Pranoto, Serpihan Budaya Feodal. ( Yogyakarta: Agastya Media, 2001). Hlm. 81.[5] Op. Cit., hlm. 103.
[6] Ibid.
[7] Fransisca Ria Susanti.Kembang-kembang genjer, (Yogyakarta : Wangun Printika, 2007). Hlm. 120-132.
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.

Jalan Gejayan, “Jalan Komunis” Affandi

Membaca Tragedi ’65 Secara Berbeda

Related posts
Trackbacks/Pingbacks
  1. Mem PKI-kan Petani, Menjarah Tanah : Kekerasan dan Perampasan Tanah Pasca (Genosida) 1965 – Genosida 1965-1966 - Agustus 9, 2017

    […] Luthfi Sejarah reforma agraria yang berimpitan dengan sejarah kekerasan di perdesaan   Konflik dan Kekerasan Sekitar Land-Reform Tahun 1960-1967 – Fauzi   Pergolakan agraria berujung pembantaian 1965-1966 Memory Kolektif: dari tanah sampai ke […]

Leave a Reply