Dia Yang Fasis Berwajah Lugu, Menghantam Rakyat Dengan Serdadu

- Catatan Mengenai Pelanggaran HAM Dan Konflik Agraria Di Indonesia Pada Periode 2015-2016
Oleh : AmatSenopati
Pakar politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan Jokowi-JK gagal menyelesaikan kasus HAM masa lalu dalam dua tahun sehingga menjadi tantangan.
“Ini tidak mudah. Jokowi mengandalkan dan bergantung pada elit politik dari kalangan militer. Beberapa posisi menteri diduduki petinggi militer. Sementara, pelanggaran HAM banyak dilakukan mereka,” ujarnya.
Hal senada disampaikan pakar politik dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Tobias Basuki.
“Ini akan jadi dilema jangka panjang antara penyelesaian kasus HAM atau konsolidasi politik,” ujarnya kepada salah satu portal media.
Setara Institute menyebutkan, dalam dua tahun pemerintah Jokowi-JK telah terjadi sedikitnya 45 kasus kekerasan yang bisa dikategori sebagai pelanggaran HAM di Papua. Jenis pelanggaran itu seperti penangkapan 2.293 warga Papua, pembunuhan 13 orang, dan penembakan 61 masyarakat Papua.
Sementara Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat dalam dua tahun rezim ini terdapat pembiaran 300 kasus kekerasan atas ekspresi kebebasan fundamental yang seharusnya dilindungi konstitusi.
Pemerintahan Jokowi juga telah mengeksekusi mati 18 orang terpidana dan menolak 64 grasi yang diajukan mereka. Lebih parahnya lagi, menurut data KontraS, terdapat 35 vonis hukuman mati yang dijatuhkan pengadilan di Indonesia.
Konflik Agraria
“Pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar. Kita 0,2 persen penduduk menguasai 74 persen tanah. Inilah satu distribusi lahan paling ekstrim di dunia,” ujar Hafid (komnas Ham)
Sebagian besar tanah Indonesia ini dikuasai segelintir perusahaan saja seperti HPH, perkebunan sawit, tambang, dsb. Ada 1 orang (Sinarmas) yg menguasai 5 juta hektar tanah. Padahal jika dibagi ke 5 juta petani, bisa didapat 50 juta ton beras/tahun. Cukup untuk makan 500 juta orang.
Bagi Hafid, distribusi tanah yang terjadi saat ini menunjukkan negara telah dimiliki sekelompok kecil penduduk. Sementara orang miskin tidak memiliki celah untuk keluar dari kemiskinannya karena mereka tidak mempunyai tanah.
Berdasarkan catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), “jika di tahun 2015 terjadi 252 kasus, maka jumlah ini meningkat sekitar 450 kasus di tahun 2016. Dengan rincian luasan wilayah konflik sekitar 1.265.027 hektar lahan, serta melibatkan 86.745 KK. Kasus konflik tertinggi berada di Riau 44 kasus, disusul Jawa Timur 43 kasus dan Jawa Barat 38 kasus.”
Sumber lain, dari rilis catatan akhir tahun yang dikeluarkan oleh PP (pimpinan pusat) AGRA (Aliansi Gerakan Reforma Agraria) menyebutkan, “Sepanjang tahun 2016, AGRA juga mencatat setidaknya ada 30 konflik agraria di 12 Provinsi yang mengakibatkan kekerasan, penangkapan dan kriminalisasi terhadap kaum tani dan masyarakat yang mempertahankan tanah, baik konflik baru atau konflik lama yang kembali memanas karena tak kunjung selesai.”
“Dari 30 kasus tersebut 92 petani korban kekerasan, 39 korban penembakan, 228 orang ditangkap dan 83 dikriminalkan. Bahkan dalam beberapa bulan terakhir ini, sekitar 200 petani kecil ditangkap dan dikriminalkan dengan tuduhan pembakar lahan di Kalimantan dan Sumatra.”
Dari data yang dihimpun oleh AGRA Jateng ditemukan fakta bahwa, “dari seluruh penghuni lapas di Blora 50% dipenuhi pelaku kriminal yang mayoritas kaum tani (didakwa mencuri kayu) ditengah monopoli tanah Perhutani di Kabupaten Blora mencapai 50 % dari luas administrasi kabupaten yang seluas 182.058 Ha.”
“Dan belum lama ini, Perhutani terus memperkuat kerjasama dengan TNI, Polri, bahkan pemerintah daerah tingkat kabupaten untuk melakukan pengamanan hutan. Bahkan pemerintah daerah di beberapa kabupaten menjalankan MoU terkait pencegahan dan pengamanan hutan dari pengerahan intelejen, kontrol territorial, dan pengerahan pasukan tempur gabungan dengan penanganan persuasif maupun keras.”
Masih dari data yang dihimpun oleh AGRA Jateng, “Perhutani sebagai cabang usaha milik Negara pada sektor kehutanan dijadikan perusahaan untuk kemanfaatan umum dan memupuk keuntungan dengan dasar hukum UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan PP No. 72 Tahun 2010 yang berbasis pada monopoli tanah seluas 2.445.006 Ha atau 19 % dari luas daratan Jawa dan Madura yang melingkupi 5.403 desa sekitar dan di dalam hutan dengan jumlah penduduk hampir mencapai 6 juta kepala keluarga di Jawa dan Madura. Jika ambil rata setiap kepala keluarga terdapat 4 anggota keluarga, maka hampir mencapai 24 juta yang bergantung dan hidup di hutan. Di Jawa Timur seluas 1.133.835 Ha, Jawa Tengah seluas 635.747 Ha, dan Jawa Barat seluas 675.416 Ha.”
“Lebih parah lagi, selain terus melakukan tindak kekerasan yang semakin intensif, dari catatan yang dihimpun oleh Aliansi Mahasiswa Papua dalam periode April-Juni 2016 sedikitnya 4,080 orang petani, mahasiswa, suku bangsa minoritas dan masyarakat pedesaan di Papua telah ditangkap paksa oleh aparat.” (AMP)
“Di DKI Jakarta dan sekitarnya, sepanjang tahun 2016 setidaknya telah tergusur sebanyak 1.275 jiwa di Bukit duri Jakarta Timur, 90 KK di rawajati kalibata Jakarta Selatan, 396 KK di pasar ikan Jakarta utara dan ancaman terhadap 7.000 Jiwa di Kampung baru Dadap Tanggerang. Dalam penggusuran tersebut, setidaknya 5 orang luka parah, 1 di tembak dan 17 lainnya ditangkap.” (LBH Jakarta)
Berdasarkan catatan akhir tahun 2016, LBH Jakarta menerima setidaknya 1444 pengaduan dengan jumlah pencari keadilan sebanyak 121571 orang. LBH menangani lebih lanjut 165 kasus untuk ditangani secara struktural dengan total 8958 pencari keadilan.
Data AGRA menyebutkan, Saat ini monopoli tanah untuk sektor perkebunan dan pertambangan telah mencapi 41,87 juta hektar yang hanya dikuasai oleh segelintir Pengusaha Besar komperador dan Tuan Tanah Besar. Sekitar 35,8 juta hektar tanah dikuasai oleh hanya 531 perusahaan. Disisi yang lain setidaknya terdapat 31.951 desa berada dalam status ketidakjelasan karena penujukan kawasan hutan yang berpersoalan.
Terdapat 29 (duapuluh Sembilan) juta hektar tanah dimonopoli untuk perkebunan sawit, dan 5,1 juta hektar diantaranya hanya dikuasai oleh 25 tuan tanah besar swasata. Mereka adalah Wilamar Group Internasional, Sinar Mas Group, IOI Group, Raja Garuda Mas Goup, Batu Kawan Goup, Salim Group dan Goup Group lainya. Dan kesemuanya ini dapat terjadi akibat dari Kebijakan Pemerintah yang memberikan hak penguasaan yang monopli terhadap Tuan Tanah besar maupun Pengusaha Besar Komperador.
Negara yang secara konstitusional diberikan kewenangan untuk menguasai tanah dan diberikan kewenangan untuk mengatur demi kepentingan dan kemakmuran rakyat justru melakukan monopoli dangan hak memiliki. Setidaknya 1,18 juta hektar tanah dimiliki oleh Perkebunan Nusantara Holding III, dengan pengusahaan status lahan 68% sudah bersertifikat, 20% sertifikat berakhir atau sedang dalam proses perpanjangan dan 12% belum bersertifikat.
Catatan yang dirilis oleh KPA dan AGRA adalah sumber data paling valid di Indonesia, karena KPA sebagai NGO/Ornop yang memang fokus di isu-isu agraria dan AGRA adalah ormas (Organisasi masyarakat) sipil berskala nasional yang menghimpun petani, nelayan dan suku bangsa minoritas juga fokus pengorganisasian di isu agraria.
Tentu jumlah sebenarnya jauh lebmih tinggi mengingat data yg disebutkan adalah berdasarkan basis massa masing-masing, belum lagi catatan ormas tani atau lembaga yang lain yang juga fokus di isu agraria seperti STN (serikat tani nasional), SPI (Serikat Petani Indonesia), SPP (Serikat Petani Pesundan) selain lembaga atau organ nasional tadi, masih ada ribuan serikat tani lokal yang juga memiliki catatan dan besar kemungkinan konflik yang tak tercatat jauh lebih besar jumlahnya.
Reforma agraria palsu Jokowi-JKJokowi juga punya program feforma agraria, mengutip dari rilis yang diterbitkan oleh AGRA. menyebutkan : “Program reforma agraria Jokowi didalam strategi nasional pelaksanaan reforma agraria adalah program redistribusi dan legalisasi (sertifikasi) 9 juta hektar tanah, dan pencapaian target 12,7 juta ha untuk alokasi Perhutanan Sosial seperti Hutan Kemasyarakatan (HKM), Hutan Desa (HD), dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Intinya program Reforma Agraria (RA) Jokowi adalah bagi-bagi tanah bekas HGU milik tuan tanah (perkebunan besar), Membagi tanah-tanah telantar milik tuan tanah (perkebunan besar), Membuka akses tanah milik tuan tanah besar seperti Perhutani kepada tani miskin dengan cara tumpang sari, PHBM, dan kemitraan.”
“Dengan demikian, RA Jokowi akan tetap melestarikan monopoli tanah, karena tuan tanah tetap berkuasa memonopoli tanah, tetap bebas menghisap dan menindas buruh tani dan tani miskin. Membagikan tanah sisa milik tuan tanah kepada rakyat pedesaan secara terbatas dan hanya cukup untuk sebagian kecil (minoritas) rakyat miskin pedesaan. Sedangkan tenaga produktif kaum tani tidak akan bebas dari penghisapan dan penindasan feodalisme dan imperialisme.”
Program RA Jokowi adalah palsu, karena program tersebut hanya legalisasi aset atau sertifikatisasi yang bertujuan untuk memperluas pasar tanah (land market) dan kredit perbankan. Program ini bahkan semakin mengancam terjadinya perampasan tanah semakin massif dan legal, karena memudahkan jual-beli tanah yang menguntungkan perusahaan perkebunan besar dan perbankan yang dengan mudah dapat menyita asset kaum tani karena gagal bayar kredit akibat merosotnya harga komoditas pertanian.
Kesimpulannya bahwa, Ide, konsep dan pelaksanaan Program RA Jokowi bertentangan dengan aspirasi sejati kaum tani dan rakyat Indonesia. Dimana hakekat reforma agraria sejati yakni penghapusan atas monopoli tanah dan penghapusan setiap bentuk penghisapan dan penindasan yang bersumber dari monopoli atas tanah. Reforma agraria sejati, suatu konsep menyeluruh tata kelola dan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria, yang sanggup membebaskan kaum tani dan rakyat Indonesia secara umum, dari penghisapan dan penindasan feodalisme dan kapitalisme monopoli (imperialisme).
Reforma agraria sejati, sebagai fondasi bagi pembangunan Industri nasional untuk melahirkan modernisasi pertanian, sekaligus menjadi syarat mutlak bagi kemajuan tenaga produktif di pedesaan. RA dan pembangunan Industri nasional, sekaligus memutuskan ketergantungan kapital, alat kerja, sarana produksi pertanian hingga tujuan produksi pertanian yang tidak diabdikan pada kepentingan tuan tanah besar dan Imperialisme.
Your comment?