Kartini

Penulis: Anton DH Nugrahanto.
Arti penting Kartini itu bukan di sosoknya, tapi di idee-nya. Jadi pada masa pergerakan 1920-an banyak tokoh-tokoh pemikir memerlukan simbol idee pergerakan perempuan di Indonesia, maka ketemu lah idee Kartini ini yang tulisan-tulisannya dulu diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bagian dari politik etis Belanda terhadap kaum Bumiputera yang digunakan oleh politisi politisi Liberal di Den Haag untuk menyerang kebijakan kaum konservatif yang tidak sepaham perkembangan bumiputera. Kaum Liberal menginginken adanya pendidikan bagi kaum Bumiputera karena melihat sumber daya manusia yang besar di Hindia Belanda, inilah yang ingin dikelola secara efektif oleh kaum Liberal yang kemudian mencetusken garis politik etis pada awal abad 20.
“Arti penting Kartini itu bukan di sosoknya, tapi di idee-nya”
Oleh kaum pergerakan dibawah kelompok Tjokro, RA Kartini malah dijadiken simbol idee, apalagi RM Kartono amat terkenal di kalangan kaum pergerakan, rumahnya di Bandung dijadiken rujukan bertemunya kelompok kelompok aktivis yang bergerak di Radicalen Concentratie, dari sinilah kemudian pandangan pandangan kaum pergerakan melihat Gerakan bergaya Revolusi Eropa lebih cocok ketimbang pergerakan bergaya Revolusi Bangsawan Jawa seperti Diponegoro yang punya kelemahan dalam teori teori perlawanannya dengan sifat lokalistik, dalam revolusi Eropa pemikiran utamanya adalah soal ketidakadilan distribusi kekayaan penguasa baik itu Nasionalistik maupun yang sifatnya imperialistik. Dalam tulisan tulisan Kartini yang disasar justru kejumudan bangsawan Jawa yang gagal melihat perkembangan baru dunia, bangsawan bangsawan Jawa yang hanya mengandalkan kekayaan sewa tanah dan sistem landrente peninggalan Raffles ketimbang membangun kebudayaan berbasis pendidikan.
RA Kartini adalah bagian dari trah Tjondronegoro, trah ini bisa dibilang sebagai trah bangsawan yang melakukan politik perlawanan frontal terhadap Hindia Belanda, salah satunya adalah kasus pemberontakan di Garut yang digerakkan oleh kelompok Tjokro. Salah seorang pengikut Tjokro dari garis bangsawan Tjondronegro, Sosrokardono menjadi penggerak awal pemberontakan dengan teori teori perlawanan modern, dari pemberontakan Sosrokardono ini juga menjelaskan bagaimana trah Kartini, bangsawan pesisir Jawa menjadi kaum take over pemberontak pemberontak di Selatan yang sudah habis ketikan pembersihan orang orang Diponegoro dilakukan oleh Hindia Belanda dan perangkat perangkat pemerintahan dibawahnya.
Kartini dengan cerdas menggambarkan dialektika konflik kaum Bangsawan Jawa ini ke dalam jaman baru dan Kartini melihat kegelisahan ketidakadilan di sektor pendidikan. Kartini mengangkat tokoh seorang putera Nusantara bernama Salim, kelak Salim ini adalah salah satu tokoh penting dalam kabinet Sukarno semasa Revolusi dengan nama tenar Hadji Agus Salim, sementara Abendanon pendukung politik Liberal melihat ini adalah kebangkitan pemikiran perempuan Jawa dalam memahami alam pikiran feminis revolusioner Eropa, bagi mereka Renaissance telah muncul di tanah Jawa. Dan kaum pergerakan beberapa tahun kemudian melihat tulisan tulisan Kartini sebagai lambang kesetaraan pemikiran dan perlawanan politik perempuan Indonesia dalam melihat ide ide ketercerahan kemudian digabungkan dengan semangat baru “Kemerdekaan Indonesia” yang di tahun 1930 diteriakkan Sukarno muda di Bandung sebagai bagian politik garis api antara kaum konservatif Parlemen dengan kaum Nasionalis Radikal non Kooperatif dimana Sukarno dan Hatta jadi simbol dalam pergerakan kaum muda.
Dan siapakah yang bertanggung jawab menjadikan Kartini sebagai Pahlawan dengan alam menyusupkan bahwa Kartini menjadi bagian alam bawah sadar perempuan Indonesia, yang paling bertanggung jawab ya Bung Karno, di tahun 1950-an Bung Karno menjadikan dua orang sebagai simbol perempuan Republik, pertama adalah Kartini yang disimbolkan sebagai bagian dari ketercerahan kaum perempuan dan bagian dari politik pendidikan Bung Karno untuk menggerakkan kaum perempuan. Kedua adalah Sarinah, pengasuh masa kecil Bung Karno yang dipersepsikan sebagai daya hidup perempuan jelata Indonesia yang memiliki karakter mengabdi pada Negara dan Bangsa yang dicintainya, bahkan Sarinah sendiri dimasa masa Revolusi Sukarnois, diartikan sebagai SARINAH = Siapa Anti Republik Indonesia Niscaya Akan Hancur. Jargon jargon Bung Karno ini menggerakkan dua hal besar Indonesia. Sementara Kartini menggerakkan semangat besar kaum Perempuan Indonesia menjadi kaum cerdas intelektual, di masa Bung Karno kaum perempuan banyak masuk ke Perguruan Perguruan tinggi dan menjadi motor intelektual publik. Gabungan antara Kartini dan Sarinah, jadilah Herlina Si Pending Emas, yang mampu menembus belantara Irian Barat dan menjadi simbol kemampuan Republik mengelola politik perang sehingga JF Kennedy meyakinkan Luns, Menlu Belanda bahwa bila RI menggempur Belanda maka NATO akan buang buang duit di Asia Tenggara. Jadilah Irian Barat diserahkan Republik tanpa reserve dan ini kemenangan besar Bung Karno, karena selain merobek robek kertas perjanjian KMB, Bung Karno mampu merebut menyempurnakan geopolitik Negara Proklamasi 1945 “Dari Sabang Sampai Merauke itu wilayah kita”, yang merupakan sumpah Bung Karno setelah KMB diteken tahun 1949.
Nah, memang sedari awal yang paling bertanggung jawab menjadikan Kartini sebagai Pahlawan Nasional kaum Perempuan ya Bung Karno, itulah latar belakang kenapa Bung Karno menjadikan Kartini Pahlawan, sekaligus menunjukkan kejeniusan Bung Karno dalam melakukan penempatan tokoh tokoh nasional sebagai “Ruh kebangkitan peradaban tanah air The Greater Indonesia” Jadi bukan ini akal akalan Abendanon, akal akalan Balai Pustaka, akal akalan Suharto. Tapi Sukarnolah yang bertanggung jawab pertama kali soal ketokohan Kartini.
Nah, soal Suharto inilah yang menarik. Setelah Suharto muncul jadi penguasa Republik dengan dua senjata politik : Teknokrasi dan Bayonet, maka peran Kartini digeser menjadi bagian domestik, Suharto bukan orang yang mendalami filosofi kebangsaan seperti Sukarno, namun ia punya kelebihan dalam melihat gerak natural dalam alam pikiran orang Indonesia. Politik pertama Suharto itu soal politik domestik, misalnya PKK atau Dharma Wanita, kaum Perempuan digerakkan ke sektor domestik tapi dengan cerdik ditempatkan ke dalam gerakan gerakan perempuan dengan basis kerja sukarelawan dalam menyokong masyarakat. Jadilah keadaan ini, Kartini disederhanakan menjadi simbol simbol kebaya, bukan lagi di masa Sukarno yang menjadikan Kartini sebagai “Kaum Perempuan Modern” seperti tergambar dalam foto foto di Kartini School, sekolah pendidikan perempuan yang didirikan Van Deveenter.
Lain Sukarno, lain Suharto, Pramoedya adalah tokoh unik dalam melihat Kartini, Pram bisa menjelaskan dalam Novelnya “Panggil Aku Kartini Saja” disini banyak orang mengira Kartini dipandang sebagai bagian gerakan egaliter perempuan, tapi disisi lain Pram melihat Kartini adalah perempuan Jipang Panolan yang menantang kaum Mataram penguasa selatan Jawa yang tak paham politik pesisir Jawa yang lebih terbuka dan memiliki ide ide soal laut dengan caranya yang lugas, tataran Pram ini ketemu sebenarnya dalam diri Susi Pudjiastuti seorang perempuan Nusantara yang punya gaya modern dalam membongkar penjara penjara patriarkhi di Nusantara ini.. [Anton DH Nugrahanto]
Your comment?