Ibu Supanah Perempuan Tangguh Dari Pati *Ia meyakini suaminya di eksekusi dan dikuburkan di kuburan massal wilayah Pati
Oktober-November 1965
Ibu Supanah dan teman-temannya meyakini bila Pak Sadono sang suami adalah salah satu dari korban yang dieksekusi di Kuburan Massal di daerah Pati: Hutan mBrati, Hutan Pekainan, Hutan Jeglong, Hutan Grogolan.
Malam menjelang Subuh ada gedoran pintu di sebuah rumah berdinding bambu di desa Bulumulyo Kecamatan Batangan Kabupaten Pati, Jawa Tengah sambil memanggil nama seseorang yang dicari:
“Sadono, Sadono …… buka pintu…….”
“Siapa itu, malam-malam begini gedor pintu, tidak sopan”, jawab seorang Ibu dari dalam kamarnya dengan lantang.
Betapa terkejutnya, setelah pintu dibuka didapatinya 3 orang: satu bersepatu tentara berbaju hijau dan seorang polisi serta pak Bayan Desa. Suatu hal yang tidak seperti biasanya.
“Pak Sadono, ada?” tanya Pak Bayan Desa.
“Ada, itu sedang mendekap anaknya, di kamar”, jawab Ibu Supanah istri pak Sadono tanpa menaruh curiga.
“Bu, Pak Sadono saya ajak untuk hal yang baik, tidak apa-apa, sebentar saja, nanti siang juga sudah pulang lagi”, kata Pak Bayan minta kepada Ibu Supanah agar merelakan sang suami diajak pergi.
Dalam hati kecil ibu Supanah ada perasaan curiga, karena ini tidak biasa, malam-malam begini khok mengajak pergi sang suami. Namun, di hadapan petugas Desa, aparat kepolisian dan tentara, ibu Supinah tidak bisa menolaknya.
Pak Sadono dibawa pergi, meninggalkan rumahnya, istrinya dan kedua anak-anaknya yang masih berusia 4 dan 2 tahun. Aparat desa, polisi dan tentara menggandengnya membawa pergi entah ke mana di kegelapan malam.
Setelah kejadian dijemputnya Pak Sadono, beberapa jam kemudian,kira-kira pukul sembilan pagi, tiba-tiba ada kejadian yang mencekam. Di jalan depan rumah Ibu Supanah, ada kerumunan orang bersama orang berseragam tentara dengan bersenjatakan lengkap, berteriak-teriak sambil membawa parang, clurit, golok, pentungan, linggis, mengawal sebuah truk yang menderu-deru berisi sarat orang-orang di atasnya:
“ Bunuh, tangkap, jangan sampai lolos ………”
Semua orang, pemuda, dan anak-anak laki-laki yang kedapatan di desa Bulumulyo ditangkap, kepalanya dipukuli hingga berdarah. Tangan, diikat dengan tali karung goni. Kemudian, badannya dilemparkan ke atas truk, hingga berjejal-jejal dan ada yang terkapar dengan mengaduh. Kejadian ini disaksikan oleh Ibu Supanah yang baru saja mengkhawatirkan kepergian sang suaminya.
Ibu Supanah meyakini, gerombolan orang tadi bukan penduduk di desa itu karena hampir semua warga desa Bulumulyo adalah teman-teman baik Pak Sadono.
Hari itu telah berlalu.
********
Perempuan Tangguh
IBU SUPANAH dari PATI
(bagian 2)
Ibu Supanah tertegun, mendengar pemberitahuan bahwa sang suami telah di “Sukabumi” kan, dimasukkan ke bumi, dibunuh. Apa salahnya, begitu mudahnya menghilangkan nyawa?
Masih menjadi tanda tanya, apakah sang suami meninggal saat dalam interogasi yang penuh dengan penyiksaan? Atau, kalau dibunuh, di mana kuburnya?
Karena ketidak-pastian itulah, ibu Supanah masih terus mencari dan mencari.
Perjalanan pulang pergi dengan berjalan kaki sejauh 38 kilometer, masih dibebani dengan menggendong si anak perempuan yang kecil yang berumur 2 tahun serta anak laki-laki yang berusia 4 tahun, yang terkadang mogok karena kelelahan, perjalanan pulang membezoek Pak Sadono. Terkadang, ibu Supanah menyeret-nyeretnya agar segera sampai di rumah. Sungguh perjuangan yang tidak mudah. Masih ditambah lagi, di benak pikirannya selalu terbayang Pak Sadono sang suami yang dikatakan telah dibunuh.
Keadaan di desa Bulumulyo masih mencekam di hari-hari pada bulan Oktober, November, Desember 1965. Hampir semua orang laki-laki, pemuda yang dituduh sebagai pengikut Partai Komunis Indonesia dan pendukung Presiden Sukarno ditangkap, ditahan, disiksa dan bahkan dibunuh.
Rumah-rumah dibakar, harta benda dan segala isi di dalam rumah dijarah.
Beruntung, rumah ibu Supanah terlewat tidak dirusak atau pun dibakar karena memang rumah kecil, berdinding bambu serta tidak ada harta benda yang bisa dijarah karena tergolong rumah petani miskin.
Kini, alasan pembersihan, penangkapan dan penahanan serta pemenjaraan melebar ke hal-hal yang bermotif pemerasan ekonomi, mengambil kekuasaan perangkat desa, sentimen pribadi, iri-hati, bahkan bermaksud ingin merebut istri orang.
Pada suatu hari, di kantor Balai Desa Bulumulyo ada pertemuan Ibu-ibu, dalam pembicaraannya menyinggung hal Ibu Supanah.
“Itu, Ibu Supanah …… suaminya orang terlibat. Ia juga menjadi anggota Lekra dan Gerwani.”
Langsung saja Ibu Supanah mendidih darahnya, meledak kemarahannya,
“Apa, saya mau ditangkap, ditahan juga? Siapa yang mau kasih makan dua anak-anakku, anak-anakku masih kecil. Saya tidak ikut-ikutan organisasi apa itu? Saya cuma petani, buruh tani, cari rumput, masak dan momong anak.”
Ibu Supanah harus menjelaskan karena banyak teman-temannya para gadis dan perempuan desa yang ia kenal juga menjadi korban penangkapan seperti:
Jasumi, Sumini, Jasmi, Suminah. Gadis dan perempuan dari Pati yang ibu Supanah kenal, pada akhirnya harus ditahan di Penjara Wanita Bulu di Semarang dan Plantungan di daerah Kendal selatan selama 9 – 14 tahun tanpa proses hukum. Penjara yang menyeramkan, bekas pemusatan orang-orang penderita sakit lepra.
Sementara itu, para pejabat desa Bulumulyo sebelum 1 Oktober 1965, sudah banyak yang diganti karena umumnya ditahan, dan bahkan dibunuh. Untuk menggantikannya, didatangkan orang-orang dari luar desa Bulumulyo. Ketika itu, hampir seluruh penduduk desa Bulumulyo adalah pendukung setia Presiden Sukarno yang pada umumnya ikut organisasi yang berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia.
Pemerasan yang dilakukan para punggawa desa dan juga oleh para “preman” desa terhadap para keluarga Tapol, dengan cara mengancam dan menakut-nakuti:
“ He, kamu harus serahkan sebidang tanah, atau jual sapi untuk menebus sang suami yang ditahan, kalau tidak, suami kamu akan ditembak atau akan dibuang ke pulau Nusa Kambangan ……. “
Lain lagi, ada seorang aparat militer dan para pemuda gerombolannya yang datang bermaksud mencari seseorang untuk ditangkap. Didapatinya rumah itu kosong hanya ada seorang gadis yang menunggunya. Gadis itu dibawa pergi ke suatu tempat entah di mana karena kedua mata si gadis itu ditutup rapat. Dan, apa yang terjadi?
Gerombolan orang-orang tak bermoral itu kemudian melakukan aksi pelecehan seksual secara beramai-ramai terhadap gadis itu……………………. Sungguh biadab dan tidak bermoral.
Ibu Supanah kini harus mencari nafkah sendiri, ”mocok-mocok”, menjadi buruh tani, menanam padi, menyiangi rumput di sela-sela tanaman padi, atau menjual tenaga sebagai buruh tani pemetik cabe, tomat atau pun memanen kacang-tanah di sawah atau pun ladang-ladang di desa Bulumulyo. Sore hari, ia pulang ke rumahnya sambil membawa daun-daunan untuk pakan 2 ekor kambing ternak piaraannya. Ini dilakukan karena ia bersama kedua anaknya harus hidup. Terkadang, si kecil dibawanya ke ladang, ke sawah atau dititipkan di rumah embahnya.
Ibu Supanah – pada 1965/66 berusia sekitar 24-25 tahun, masih juga harus melawan orang-orang yang ingin menggangu, berbuat kurang ajar terhadap dirinya.
Ketika pada suatu sore hari setelah selesai memberi makan ternak. Tiba-tiba ada seorang punggawa desa, namanya Jarwi si Bayan Jelek berniat jahat untuk mengganggunya. Namun, Ibu Supanah dengan berani dan garang menantang:
“Hei, kowe jangan kurang ajar, ya.
Aku sudah punya suami, miliki dua anak.
Pergiiiiiiiiii …………….
Aku tidak sudi, awas saya pukul kamu”
Teriak Ibu Supanah dengan mengacungkan kayu pentungan.
Dalam masa penantian yang tidak menentu, Ibu Supanah masih tetap terbayang Pak Sadono sang suami yang dikabarkan telah dibunuh. Namun, ini justru menjadi kekuatan untuk menjadi perempuan tegar. Meski Pak Sadono tidak ada, namun Ibu Supanah tetap anggap ia masih hidup dan senantiasa ada di sampingnya.
Anak-anak yang ditinggalkannya makin lama makin besar, bisa membantu ngarit, mencari rumput untuk makan ternak. Dan, ingin bersekolah.
Dengan kemandiriannya, hidup secara prihatin, dari hasil buruh mocok-mocok, menyiangi rumput, menanam padi memanen hasil bumi, beternak kambing, memelihara ayam, Ibu Sadono dapat menyekolahkan dua anaknya sampai tamat dan menjadi sarjana. Sungguh luar biasa.
Di tengah hutan jati, di bawah kebun ketela pohon para keluarga korban berziarah, melakukan ritual tabur bunga untuk mengenang dan mendoakan agar arwah para Tapol yang dieksekusi memperoleh kedamaian abadi. Ibu Supanah dan teman-temannya meyakini bila Pak Sadono sang suami adalah salah satu dari korban yang dieksekusi di Kuburan Massal di daerah Pati: Hutan mBrati, Hutan Pekainan, Hutan Jeglong, Hutan Grogolan.
*Kisah ini ditulis seperti yang diceritakan oleh Ibu Supanah kepada Bedjo Untung
simak pula
Malam Jahanam di Hutan Jati Jeglong dan Temuan Kuburan Massal di Daerah Pati
Kisah Handoyo Triatmoko, Pendiri YPKP 1965 Cabang Pati : ‘Saya bertemu algojo yang menembak mati ayah saya’
Keterangan Gambar
Ibu Supanah bersama korban 65 di desa Bulumulyo ketika menerima kunjungan Truth Foundation Korea Selatan setelah melihat kuburan massal.
Mengenang Tapol yang dieksekusi di lubang maut di Hutan Jeglong Pati.
Memorialisasi di Kuburan Massal Hutan Grogolan Pati
(Gambar Dok.YPKP65/bj)
Your comment?