“Saya Ingin Mati Di Tengah-tengah Perjuangan”

1502 Viewed Redaksi 0 respond
1965_anwar-umar

In Memoriam Anwar Umar, Mantan Tapol & Penyintas Tragedi Kemanusiaan 1965

Hari ini saya berduka sekali mendengar wafatnya Pak Anwar Umar, mantan Tapol PKI yang dipenjara 11 tahun tanpa pengadilan. Saya mengenal Pak Umar sebagai teman diskusi di KontraS dan IKOHI sejak 1998. Hampir semua acara KontraS dan IKOHI, dari diskusi hingga demonstrasi ia ikuti. Selama masih bisa berjalan dan bernapas pak Umar tak akan berhenti berjuang. Pak Umar adalah teladan bagi saya.

Berikut dapat kita simak sedikit profil dari pa Umar, demikian dia saya panggil.
___________________

Oleh: Anwar Umar

Tidak pernah terpikir sedikitpun dalam benak lelaki tua ini perjalanan hidupnya. Ia hanya bisa pasrah menjalani semuanya. Meski kepahitan, penderitaan dan duka seakan tak henti menjadi teman hingga usia tuan ya. Pria yang menghabiskan sebelas tahun di penjara ini, hanya bisa berjuang hingga sisa hidupnya. Berjuang untuk mencari keadilan dan hukum atas apa yang tidak pernah ia lakukan.

Anwar Umar (76 thn), belum genap enambelas tahun mendaftarkan diri untuk ikut BKR (Badan Keamanan Rakyat) di Lampung. Saat itu dirinya hampir ditolak lantaran usianya yang masih sangat muda. Toh, akhirnya ia dipercaya menjadi “mata-mata” Jepang. Tugasnyamengawasi barak-barak Jepang, termasuk menyelidiki kekuatan senjata dan jenis senjata yang dipergunakan Jepang. Dari sinilah perjalanan karier Umar dimulai.

Di tahun 1950 ia sudah diangkat menjadi Sersan, tahun yang sama ia sempat pindah ke Jakarta saat revolusi milter meletus. Di tahun yang sama ia juga mengundurkan diri dari BKR. Setelah beberapa lama menetap di Jakarta, Umar kembali ke Lampung. Niatnya untuk kembali ke kesatuan tidak memungkinkan lagi.

“Saat itu kesatuan sudah terpecah- belah. Akhirnya saya malah diangkat sebagai staf Gubernur, merangkap staf Perwakilan Pemerintahan Lampung yang masih ada di Jakarta,” kata Kakek dari belasan cucu ini.

Ketika peristiwa 65/PKI meletus, kondisi di Lampung-pun sudah sangat panas. Semua orang-orang partai sudah habis ditangkap. Umar sendiri mengakui secara resmi tidak tergabung dalam partai. Namun, ia dipercaya menjadi Sekjen/memimpin Serikat Buruh Se-Indonesia,
Non Partai yang ada di Lampung. Salah satu bupati yang mengenalnya, menasehatinya segemeninggalkan Lampung dan berangkat ke Jakarta, lantaran situasi Lampung yang sudah begitu memanas. Sebelum meninggalkan Lampung, Umar sempat menandatangani surat pernyataan sebanyak 3 lembar yang menyatakan ia tidak terlibat dalam organisasi/kegiatan apapun dalam partai PKI.

 

Dibawa Ke LP Jatinegara
Akhirnya pada 23 Oktober 1965 Ayah dari 8 orang putra berangkat ke Jakarta tepatnya di daerah sekitar Percetakan Negara. Sampai malam hari, dan belum lagi menginap, datang seseorang yang mengaku utusan RW. Utusan ini menyuruh Umar datang melapor ke rumah Pak RW. Umar pun segera menuju rumah RW, disana ia tidak menemui pak RW. Malah telah berkumpul banyak militer. Salah seorang diantaranya sambil menghunus senjata menyuruh Umar duduk dengan kasar.

“Saya tanya, dimana Pak RW, salah seorang militer itu menjawab pergi. Militer lainnya memanggil saya, sambil berteriak ‘siapa yang namanya Anwar Umar’. Berapa kali ditanyasaya hanya diam. Akhirnya saya jawab sambil berdiri. Ternyata mereka takut juga dengan sikap saya, karena dalam ilmu kemiliteran kalau sudah seperti itu kita tinggal
duel. Akhirnya dia bilang ‘Duduk saja pak. Tenang-tenang,” ungkap Umar.

Sambil menerawang seakan membuka lembaran hitam yang ingin dilupakannya, Umar meneruskan kisahnya. Malam hari itu ia dibawa ke pos lain yang berada di depan Gedung Mis Tjijih, sekitar Pasar Senen Jakarta. Disini ia sempat ditahan satu malam tanpa diberi makanan. Lapar pun menyerang, terlebih Umar tidak membawa uang sepeserpun.
Dirinya hanya bingung, mengapa ia ditangkap dan ditahan. Setelah itu sekitar jam 10.00 siang ia dipindahkan ke Jatinegara.

“Disitu, dihalaman gedung Widana, yang halamannya luas, banyak sekali orang yang ditahan, jumlahnya sekitar 800 orang. Setelah 3 hari memblundak hingga 3 ribuan. Satu kompi PM berjaga-jaga. Kapasitas sel kamar tahanan ditempati hampir 60 orang. Malam hari kami tidak bisa tidur, hanya duduk saja. Lantaran udara yang begitu panas, beberapa orang meminum air seninya sendiri.

Setelah beberapa hari, kami dipindahkan ke penjara Cipinang sekitar jam satu siang. Semua pakaian kami dilucuti hanya tinggal baju singlet dan celana dalam. Di siang bolong itu, kami disuruh merangkak kodok menuju sel, panas luar biasa. Kalau menengok belakang saja langsung ditendang. Di Sel semakin sempit dan sesak karena dimuatin sebanyak 45 0rang,” ujar Umar.

Seakan mengumpulkan sisa-sisa kisah yang tak pernah bisa dilupakan ini, Umar melanjutkan cerita, bagaimana ia dan teman-teman selnya selama satu minggu tidak menerima makanan dan minuman. Mereka hanya dibiarkan begitu saja. Setelah satu minggu berlalu, datang keluarga yang menjenguknya sambil membawa makanan. Saat itu Umar kembali bersedih. Ia ingin membagi makanannya tersebut, tapi tidaklah mungkin cukup untuk seluruh tahanan.

Waktu terus berjalan dengan lambatnya. Tanpa sanggup mengingat berapa lama sudah berada dalam tahanan, akhirnya Umar harus kembali menjalani siksa lainnya. Siksa fisik yang membekas dan mening galkan luka batin tersendiri. Umar menuturkan, hari itu ketika ia baru memasuki halaman sudah mendengar jeritan menyayat dari seorang wanita yang sedang disiksa/diinterogasi. Saat itu ia berkata pada dirinya sendiri, tidak akan menjerit bila disiksa. Ketika ia disetrum, tangannya diikat rapat dengan kawat dan distrum dengan kapasitas Aki 20 Volt, Umar menjerit mengeluarkan suara kesakitan sangat keras. Tubuhnya melambung hingga keatas. Saat itu ia dipaksa mengaku dan menandatangani surat, yang menyatakan ia terlibat dan merencanakan sesuatu untuk NKRI. Tapi Umar tidak mengakui perbuatan itu dan ia harus menerima siksaan atas sikapnya ini.

“Siksaan terus berlanjut. Setelah itu saya dibawa ke ruang lain. Disana telah ada beberapa orang polisi (kalau tidak salah satunya jaksa penuntut), dan kembali saya disiksa. Tubuh saya dihantam dengan kursi jati hingga kursi itu rontok. Tak cukup sampai disitu, siksaan terus berlanjut. Kepala saya dibenturkan ketembok berkali-kali. Untung saja karena selalu menggunakan peci maka kepala saya masih agak terlindungi. Karena beratnya siksaan ini saya lalu berkata, lebih baik saya ditembak saja biar mati sekalian. Penyiksaan dihentikan sebentar. Di sel ada teman yang membisiki agar saya mau menandatangani pernyataan tersebut, daripada mati atau cacat seumur hidup. Bila nanti bila pekara ini dibawa kepengadilan baru kita tolak. Akhirnya saya menerima ide tersebut dan menandatangani pernyataan tersebut,” tutur Umar sambil berkaca-kaca.

 

Penjara Tangerang

 

Setelah itu Umar kembali dipindahkan ke penjara Cipinang. Tapi hanya beberapa hari saja. Lalu ia kembali dibawa ke Salemba. Kapasitas penjara yang hanya 800 orang sudah diisi hingga mencapai 3 ribu lebih tahanan. Satu sel dihuni 5 orang dan kembali ia tidak bisa tidur. Tapi ia hanya semalam, lalu dipindahkan ke penjaraTangerang. Kehidupan penjara dan siksa yang ada membuat banyak tawanan yang meninggal dunia lantaran kelaparan dan sakit/tidak dirawat. Nasi yang diberikan dicampur dengan kaca atau pasir. Hampir setiap hari ada saja yang meninggal setelah “menyantap” menu tersebut. Tak butuh waktu lama, rata-rata tawanan meninggal karena mengalami pendarahan usus.

Demikian juga yang dialami oleh Umar. Waktu itu kabarnya ia akan dipindahkan ke Pulau Buru. Namun, karena kondisi kesehatan yang sangat buruk, membuatnya tidak jadi ‘berangkat”. Saat itu ia sedang menderita busung lapar, malaria dan matanya sudah kuning. Ia hanya mendengar cerita dari teman-teman yang ada, Pulau Buru adalah hutan belukar yang tidak pernah dijamah manusia. Ada beberapa penduduknya yang bahkan setengah primitif. Kemudian Umar ditahan di Salemba sambil menjalani rehabilitasi. Disini tiap minggu ia memperoleh pemeriksaan kesehatan. Setelah hampir enam bulan, kesehatannya sudah mulai pulih hingga ia dipindahkan kembali.

Sementara itu, dalam lingkungan penjara ada proyek pertanian dan perternakan yang hasilnya untuk kepentingan militer. Umar berpikir untuk menyegarkan badan lebih baik ia ikut/bekerja di proyek tersebut. Selama lebih satu tahun Umar bekerja menanam sayur-mayur. Ia tidak
memperoleh apapun untuk jerit payahnya ini, hanya mendapatkan jatah makanan.

Pada tanggal 26 September 1976 Umar bebas. Tapi ia masih dikenai tahanan rumah selama tiga bulan, dan tahanan kota selama 6 bulan, baru setelah itu ia bisa bebas sepenuhnya. Tapi kondisi yang ada saat itu membuatnya tetap tidak bisa bebas. Mereka masih tidak diperbolehkan untuk menerima tamu, mengikuti rapat/kegiatan-kegiatan lainnya. “Di KTP saya ada tanda ET. Meski sekarang KTP saya tidak lagi bertanda ET, tapi saya tidak mendapatkan KTP seumur hidup selayaknya oarng- orang yang sudah berumur diatas 65 tahun. Mereka menganggap saya masih ada masalah. Tapi saya sendiri tidak peduli, bagi saya kemana saya pergi tidak akan berbuat kesalahan,” tegas Umar.

Pada tahun 1998 Umar mulai bergerak kembali. Ia ikut dalam demo- demo mahasiswa yang sedang marak saat itu menentang rezim orde baru. Saat Ulang Tahun LBH di tahun 1998, Umar mendapat kesempatan untuk menyampaikan orasi. Di depan Ali Sadikin, Adnan Buyung Nasution serta undangan lain yang hadir, Umar menyampaikan orasinya yang berjudul “Anak Desa Masuk Kota Melawan Suharto.”

“Dari situ saya terus bergerak dan bergabung dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Hal terpenting dalam perjuangan kami adalah membebaskan teman-teman yang belum dibebaskan. Saya juga menjadi salah satu yang mengorginir keluarga tahanan. Hal ini sengaja saya lakukan karena di rumah saya hanya seorang diri. Isteri saya menikah lagi saat saya sedang dalam penjara. Saat keluar saya “ditampung” oleh isteri saya meski hanya beberapa
hari. Sesuai peraturan penjara, bila tidak ada keluarga yang menampung maka akan ditampung oleh salah satu organisasi.

 

Berjuang Untuk Meraih Keadilan
Mata Umar berkaca ketika menceritakan derita keluarganya. Anak- anak yang pendidikannya rendah, yang ikut merasakan pahitnya hidup diting gal sang ayah. Bahkan salah seorang anaknya bunuh diri saat Umar berada di penjara. Sang anak putus asa karena tidak tahu bagaimana kabar ayahnya. Ironisnya, Umar sendiri baru mengetahui saat ia keluar dari penjara. Hubungan terpisah yang terlalu lama, menyebabkan hubungan Umar dan anak-anaknya kurang akrab dan harmonis.

Kini Umar menjalani hari-hari tuanya sendiri, disebuah kamar sewaan kecil di Jakarta. Lelaki tua yang masih gagah ini mengerjakan sendiri semua kebutuhannya. Mulai dari mencuci baju, menyetrika dan memasak. Tidak ada uang pemasukan yang pasti. Dari ketrampilan mengurut yang dimilikinya, Umar mencoba bertahan hidup. Baginya sudah cukup bila ia sudah memiliki sedikit minyak tanah, beras, kecap dan garam untuk meneruskan hidupnya sehari-hari.

“Saya memang sendiri dan hidup sendiri. Tapi saya ingin terus berjuang. Bila saya mening gal jangan di kamar atau di atas kasur yang “tidak ada artinya”. Saya ingin mati ditengah-tengah perjuangan bersama teman-teman lainnya. Inilah fokus utuma perjuangan saya. Hanya itu harapan saya, karena saya tidak menginginkan apapun,” ungkap Umar sambil tersenyum lirih.

Keinginan Umar kini hanya meminta keadilan. Bila bisa ia ingin namanya direhabilitasi bahkan bila mungkin ia mendapatkan kompensasi untuk semua derita yang telah dirasakan. Disamping itu Umar tetap akan berjuang. Ia juga mengharap pemerintah tidak melakukan diskriminasi bagi dirinya serta korban-korban 65 lainnya. Hingga kini, Umar sadar masih ada anggapan bahwa kejahatan yang terberat di Indonesia adalah 65. Tapi, sampai kini-pun pemerintah belum mengklarifikasi kejadian sebenarnya dan siapa tokoh utama dari peristiwa 65. Umar terus berjuang agar keadilan dan hukum ditegakkan serta benar-benar dijalankan

Sumber: Berita KontraS No. 02/III-IV/2005

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
Illustrasi: Kaskus

Penggalan Kepala Dipajang sepanjang Jalan

Illustrasi: Tapol Pulau Buru [Foto: BecomeIndonesia]

Ladang Pembantaian Massal Indonesia

Related posts
Your comment?
Leave a Reply