Bom Di Hanoi, Keajaiban Di Bukit Cahaya

1177 Viewed Redaksi 0 respond
18875-cahaya-toelank-wordpress

Oleh: Martin Aleida
Deemen, Amsterdam. Farida Ishaja. Nama yang tidak sederhana. Dia memang tak sepopuler Farida Aryani, si jelita bintang film sezamannya. Tetapi, di kalangan para sastrawan, terutama di Medan, namanya menjadi tumpuan angan-angan. Awal 1960-an beberapa puisinya diterbitkan Harian Harapan Medan dimana banyak penulis muda merintis karier mereka. Farida selalu diucapkan dengan takzim. Juga kagum. Bukan karena puisi-puisinya yang menawan, tetapi oleh citranya sebagai seorang gadis yang turut bersama rakyat Vietnam mempertahankan diri dan memenangkan perang melawan kuasa dunia: Amerika Serikat dan boneknya Vienam Selatan.
Dia tiba di Hanoi tahun 1964 melalui pelabuhan Haipong dengan menumpang kapal laut lima-hari-lima-malam dari Tanjung Priok. Berada di Vietnam selama 12 tahun. Di Hanoi dia menggeluti kuliah sejarah, yang tidak seluruhnya berlangsung di dalam kelas, tetapi juga di dalam hutan, di lobang-lobang pesembunyian, jauh dari Hanoi yang heroik. Di hutan-hutan persembunyian, di kaki gunung, malam hari dia membaca dengan memanfaatkan kunang-kunang yang dia tangkap sendiri dan masukkan ke dalam gelas atau botol. Menempatkan alat penerangan zaman batu itu sedemikian rupa supaya tidak menjadi sasaran pemboman di malan hari. Siang, kunang-kunang yang baik hati itu dia lepaskan kembali ke hutan yang tidak pernah bebas dari gempuran pesawat-pesawat tempur AS.
Farida sempat pulang ke Jakarta bulan Agustus 1965. Sebagai penerjemah ikut dalam rombongan kesenian Vietnam yang diundang Bung Karno untuk turut merayakan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus. Dalam acara yang berlangsung di Istana, dia sempat disapa oleh Presiden Sukarno yang menanyakan kuliah apa di Hanoi? “Sejarah, Pak.” Dan Sukarno terdiam mendengar jawaban itu.
Duduk di ruang tamu rumahnya yang terletak di lantai dua, terasa seperti berada dalam hutan kecil yang ramah, penuh tanaman obat. Jambu, sambung nyawa, sirsak, serai, cabai gunung bromo, asam jawa, lidah buaya, rimbang, jahe, bawang putih, saledri, dan kaca piring, yang menghampar di lantai, memanjat di dinding. Kayaknya saya bukannya di Beukenhorst, Amsterdam, tetapi di hamparan tanah yang ramah di bawah zamrud khatulistiwa. Di sisi ruangan yang lain tersandar piano kepada siapa Revina, anak satu-satunya menumpahkan bakat musiknya. Revina juga belajar pencak silat. Anak semata wayangnya itu, bersama suaminya, sedang berkunjung ke Mesir, kampung halaman sang suami.
Tinggi tubuhnya mencerminkan rata-rata orang Indonesia. Gerak-geriknya tak tampak terhalang oleh usianya yang 72 tahun. Farida menerima kedatangan saya dengan mengenakan tutup kepala seorang muslim, kebaya pendek lengan panjang. Tidak saya tanyakan apakah tutup kepala itu dia kenakan sejak dia menunaikan ibadah haji bersama Aisyah, istri eksil asal Medan, Chalik Hamid, pada tahun 2015. Di tiap daun pintu, juga jendela, tertera tulisan “Hati-hati gas!” Hati jadi waswas dibuatnya. Peringatan itu ditujukan kepada Farida dan siapa saja di rumah itu untuk jangan mengulangi pengalaman pahit tetangga. Karena kelalaian, di gedung sebelah pernah terjadinya ledakan hebat sehingga penghuni sempat diungsikan.
Ketika saya tanyakan episode mana dari perjalanan hidupnya yang panjang dan menggetarkan, yang tidak bisa lekang dari ingatannya, saya duga dia akan menjawab: Vietnam! Ternyata bukan.

Kalau bukan Vietnam yang berbau mesiu dan tanah lobang persembunyian, lantas apa, Farida?
Lama dia terdiam. Melihat ke lantai. “Keluarga!” katanya kalem, menatap mata saya. Kemudian dia bercerita bagaimana ayahnya, Chaeruddin, ketua Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia), setelah peristiwa G30S diungsikan dan disembunyikan adik perempuannya, Butet, ke wilayah Bandung. Sang Ayah hidup seorang diri di ladang yang tak berpenghuni. Sendirian di sebuah dangau menunggu Si Butet datang menjenguk, membawa bekal. Keluar dari persembunyian, dengan bantuan saudaranya, bekerja sebagai pemegang buku di Institut Teknologi Bandung. Dia mengajar mengaji dan menjadi juru dakwah di Masjid Salman. Seganas-ganas angkatan darat mengejarnya, namun dia tak pernah tertangkap. Tokoh buruh itu meninggal karena sakit pada tahun 1988 di Jakarta, setelah dirawat di rumahsakit Bromeus, Bandung.

Sejauh-jauh bangau terbang akhirnya pulang ke kubangan jua. Buat Farida negeri sendiri lebih memanggil daripada daratan jauh di mana perang panjang berkobar, juga Eropa nan damai yang menjadi kampung halaman terkahir. Tak masalah kalau saya jadi cemburu mendengarkan kisah pelarian Ayah Farida yang memilukan itu, karena ayah saya tak punya rasa takut maupun heroisme seorang pelarian seperti itu. Ayah saya berdiri di tebing yang lain. Dia pendukung Masyumi. Dan saya masih ingat bagaimana saya menempelkan tanda gambar Bulan-Bintang di tangga rumah kami saat-saat kampanye pemilihan umum pertama di negeri kita, dulu. Pikiran dan hatiku ikhlas untuk mempersilakan dan mendengarkanmu berkisah tentang Ayahmu, seorang tokoh buruh dalam perburuan tentara yang begitu bengis.
Ketika pecah peristiwa G30S dan tentara melancarkan pengejaran besar-besaran, Ayahku diselematkan oleh teman karibku, dan dia disembunyikan di Hotel Des Indies di Harmoni. Kemudian dia dijemput oleh Si Butet, adikku, karena sudah dicari-cari, dan dibawa ke Bandung akhir 1965. Caranya, Ayah duduk berselimut di sebelah teman Butet yang menyetir mobil. Pada satu ruas jalan di Jakarta Si Butet berteriak memanggil tentara yang bediri di tepi jalan, “Mas, Mas, sudah malam, mau ikut? Ayolah…” Melompatlah tentara itu ke dalam mobil. Dan begitu duduk, melihat yang berkerudung selimut di depan, tentara itu bertanya: “Itu siapa? Sakit ya …?” Di jawab Butet, “Pakde saya. Sakit. Mau dibawa ke Bandung.” Tentara itu duduk anteng di dalam mobil, dan amanlah Ayah sampai di Bandung.
Setibanya di Bandung, Ayah dibawa oleh Uda, adik Ayah, tiga-hari-tiga-malam keliling berjalan kaki. Adik Ayah laki-laki ini adalah adik dari ibu Ashadi Siregar. Dia tinggal di rumah adiknya di Bandung itu. Lantas dari situ dia dipindahkan, di mana dia sangat menderita. Pernah memecahkan perabot dapur dan Ayah didamprat dengan kata macam-macam, yang sangat menyakitkan. Kemudian, Ayah dijemput oleh Butet, dibawa dan ditinggalkan di sawah yang terbengkalai. Sudah tak ada manusia yang mengurus sawah itu. Ayah tinggal sendirian di dangau yang tidak diketahui siapa pemiliknya. Sawah itu ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya. Itulah hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Butet. Ayah hidup hanya bersama bebek di situ. Dalam keadaan sakit dia harus merangkak untuk turun mengambil air.
Emak saya marah karena tidak diberi tahu di mana suaminya berada. Butet, yang memberitakan bahwa Ayahnya sudah meninggal, untuk memutus mata-rantai pengejaran tentara, kadang-kadang datang menjenguk. Butet jadi supir taxi untuk menghidupi anaknya. Kalau bertemu Ayah, Butet menghibur Ayah, dengan mengatakan hidupnya masih lebih baik dibandingkan dengan yang lain, yang di dalam tahanan tentara disiksa habis-habisan. Kaki diinjak pakai kaki meja. Distrum. Setiap mengunjungi Ayah, Butet selalu membawakan makanan, kemudian pulang meninggalkan ayah di dangau itu. Aku memuji adikku itu, kawin dengan jenderal dia jalani untuk menyelamatkan Ayah. Dia menikah dengan seorang yang berpangkat brigadir jenderal yang ditinggal mati oleh istrinya. Dan tidak mengatakan kepada jenderal itu siapa ayahnya.
Berkat bantuan seorang anggota keluarga kami, Ayah bekerja sebagai pemegang buku di Institut Teknologi Bandung. Bekerjalah dia di situ, dapatlah dia uang, dapatlah dia rumah. Di samping sebagai pemegang buku, dia juga menjadi pengkhotbah di Masjid Salman ITB. Sebelum ikut pergerakan buruh dia ‘kan seorang ustadz. Dia juga orang Syarikat Islam. Di SOBSI juga kalau ada tamu berbahasa Arab dia yang dipanggil sebagai penerjemah.
Di Masjid Salman dia mula-mula mengajar mengaji. Dapat simpatilah dari anak-anak muda. Dia disenangi. Orang respek padanya. Di kantor juga jadi buah-bibir, karena tulisan tangannya yang rapi. Dia jatuh sakit, lantas dimasukkan ke rumah sakit Boromeus. ITB yang membayar biaya perawatan. Keluhannya di perut. Ketika dioperasi ada yang salah. Kemudian dibawa pulang oleh Butet ke Jakarta. Ayah diserahkan kepada adiknya yang paling kecil. Emak sakit hati. Tapi, soalnya ‘kan harus menghilangkan jejak, sampai aman. Dia meninggal tahun 1988 di rumah Butet. Sampai menemukan ajalnya Ayah kami tak pernah tertangkap. Sewaktu anakku, Revina, berusia 15 tahun, berkunjung ke Indonesia tahun 1985, dia sempatkan untuk bertemu dengan kakeknya itu dan berfoto di dangau di atas gunung yang terpencil. Aku lupa nama daerah itu.

Masing-masing punya kodratnya sendiri. Tahukah Farida berapa wanita yang penah menjalani hidup seperti yang telah engkau tempuh. Bagikanlah suka-dukamu itu.
Saya berangkat ke Vetnam dikirim oleh Lembaga Persahabatan Indonesia-Vietnam untuk mempelajari dari mana datangnya orang Indonesia. Dari Vietnam ke Indonesia atau Indonesia ke Vietnam. Dalam sebuah bukunya, Bung Aidit bilang berasal dari wilayah Mekong. Tetapi, ada bukti yang mengatakan penduduk Indonesia berasal dari satu wilayah pegunungan di Vietnam. Seharusnya saya berangkat menuju daerah-daerah yang disebutkan itu. Tetapi, suasana buruk. Saya tak bisa belajar. Perang semakin berkecamuk. Jadi saya bukannya belajar, tetapi mencari dan menggali lobang perlndungan.
Angkatan Laut Amerika Serikat melancarkan provokasi di Teluk Tonkin, dan menuduh Angkatan Laut Vietnam menyerang mereka. Suasa perang semakin memanas. Dalam perjalanan kembali ke Vietnam bersama rombongan kesenian yang diundang Bung Karno untuk ikut merayakan Tujuh-belas Agustusan, di mana saya jadi penerjemah, peristiwa G30S meletus. Persis ketika saya tiba di Kanton, kalau saya tak salah ingat. Saya datang ke kota di Tiongkok itu hanya untuk lewat saja menuju Hanoi. Di Kanton itu saya bertemu dengan Agam Wispi, penyair yang dikirim Harian Rakyat di Jakarta untuk meliput perang Vietnam.
Masa aman berakhir. Kami sudah mulai menggali lobang. Sesampai di Hanoi ada orang kedutaan Indonesia yang mengatakan, “Ada yang terjadi di Indonesia.” Saya tetap sekolah. Tetapi, waktu itu sekolah sudah tidak di Hanoi karena kota itu sudah mulai dibombardir. Sekolah diungsikan ke gunung. Ke gunung! Jauh gunung itu.

Seberapa jauh?
Mungkin sekitar 140 kilometer. Kami kuliah di kaki gunung. Sisi gunung ditoreh. Di situ dibikin lobang-lobang perlindungan. Di bawah tempat kami belajar, ada parit-parit tempat perlindungan. Tempat kami belajar, yang juga jadi tempat-tinggal, dibangun sedemikian rupa sehingga kalau terjadi pemboman, bom tidak akan jatuh menghantam kami. Jadi, banyaklah akal orang Vietnam untuk menghadapi perang.

Berapa lama belajar sehingga bisa berbicara dan membaca dalam bahasa Vietnam?
Cepat kok. Sistemnya sama seperti kita, Bahasa Indonesia. Lima bulan sebenarnya saya sudah bisa mengikuti kuliah. Tetapi, kakak angkat saya, orang Vietnam Selatan, bilang teruskanlah lagi, sehingga tidak perlu tergantung pada orang lain lagi. Setiap hari saya belajar, berbaur dengan penduduk yang tidak-bisa-tidak harus berbahasa Vietnam.

Rumah sekolah di pengungsian itu dibuat dari bahan apa?
Rumah itu kami bangun sendiri. Dibuat dari bambu. Atapnya rumbia. Dindingnya tepas, dilamur lumpur. Seluruh universitas (di Vietnam Utara ketika itu) diungsikan ke hutan, dan ditempatkan secara terpencar-pencar. Di bukit yang belum ditanami, kami tanami singkong untuk swasembada. Sayur-sayuran juga. Kami memelihara bebek. Saking seringnya makan bebek saya jadi eneg melihat bebek. Mahasiswa asing agak diistimewakan. Maka, dikasilah saya daging bebek dan rebung. Mula-mula enak. Tapi, kalau tiap hari itu terus, setahun capeklah kita hahaha… Akhirnya, saya cari cabe rawit liar di pinggir-pinggir hutan. Saya kasi cuka, garam, bawang putih. Itulah acar saya. Kalau ada petani yang lewat, saya beli telur. Kadang-kadang saya bikin makanan dari telur untuk menyemangati diri dari rutinitas bebek.
Beberapa lama saya di situ, kemudian dipindahkan ke daratan rendah. Tahun 1966 kawan-kawan Indonesia dari mana-mana berdatangan. Saya dipanggil untuk menjadi penerjemah. Keluarlah saya dari sekolah.

 

Dosennya bagaimana?
Semua pindah. Dosennya pindah. Bibliotiknya pindah. Tukang masak juga pindah. Ada yang mengorganisir. Pindah pada umumnya dengan menggunakan bus. Ada yang naik kereta-api. Jalan yang dilalui tidak beraspal, terkadang kita harus melewati air. Walah walah…. Kalau naik truk, truk terbuka. Ada mobil yang kecil-kecil, dan banyak. Ada yang naik sepeda. Seluruh dosen dan keluarga mereka ikut mengungsi. Hubungan saya dengan dosen dekat sekali. Semua bersatu-padu. Di Jakarta, bawa pacul saja saya malu. Membonceng singkong di sepeda malu. Sekarang malah dibawa ke mana-mana. Gara-gara perang. Kalau jalan digigit lintah itu sudah biasa.

Bagaimana susana di dalam kelas, peralatan pengajarannya?
Ada papan-tulis yang terbuat dari kayu. Menggunakan kapur tulis. Di bawah jejeran bangku ada parit persembunyian. Parit itu digali sedemikian rupa sampai ke pintu keluar. Kalau terdengar bom, bang bum bang bum …, langsung turun ke parit itu. Di luar sana ada pula lobang-lobang.

 

Rumah sekolah dan tempattinggalnya memadai? Siapa teman sekelas Farida?
Cukup untuk tempattinggal. Ada meja, tempattidur untuk aku dan Maria, kawanku sekelas, orang Polandia. Dia pulang ke Polandia. Dia pintar. Maria jadi profesor di Warsawa dan sekarang sudah pensiun. Dia sangat mencinta Indonesia. Ketika menghadiri satu resepsi, saya tak ikut, karena ada yang harus kukerjakan, orang-orang yang hadir menceritakan dia menyanyikan lagu Indonesia, Kepada saya dia bilang, “Aku tadi menyanyikan lagu Indonesia, banyak yang senang, mereka tepuk-tangan. Saya nyanyikan Burung Kakak Tua …”
Waktu saya hanyut di sungai, Marialah yang menolang saya. Sebab dia jago berenang. Ceritanya begini. Kami pergi ke sungai. Sungai itu deras, airnya seperti ditumpahkan dari gunung. Dia ingin merokok, maka dibawanyalah rokok. Kami bawa juga tustel untuk foto-foto. Waktu jalan di air, ada kader perang rakyat melawan Perancis yang mengajari, kalau berjalan di dalam air, pakai tongkat. Dia kasi kursus kilat kepada kami. Dia ajari bagaimana menggunakan tongkat ketika berjalan di dalam air.
Aku ikut Maria yang berjalan di depan. Kami salah menggunakan tongkat itu, akibatnya kami hanyut. Kami bertiga, si bapak yang mengajari terdiam melihat kami terpeleset dan hanyut. Di dalam hati aku berteriak: “Aku bukannya mati melawan Suharto, tapi mati konyol di negeri orang sepeti ini. Alangkah malunya…” Hanyutlah aku. Sementara Si Maria ‘kan jago berenang, dia berenang. Untunglah ada pulau di tengah sungai. Ada pohon yang menjuntai ke sungai. Kutangkaplah pohon itu. Si Maria ke mana aku tak tahu. Naiklah aku ke darat. “Ke mana Si Maria,” tanya hatiku. Eeee …, kelihatan bungkus rokoknya mengambang. Entah bagaimana, akhirnya aku bisa menepi. Begitu bertemu Maria, dicuminya aku sambil menangis-nangis. Dia ‘kan orang yang emosional. Sementara orang Vietnam tua yang mengajari kami tadi hilang entah ke mana. Mungkin dia ketakutan.

Posisi di dalam lobang bagaimana? Duduk? Berdiri?
Duduk. Berdiri pun bisa.

Berapa orang di dalam satu lobang?
Dua bisa. Tapi, tak boleh, Tak boleh mati berdua, kalau mati harus satu saja. Kalau bom jatuh, pecahannya ‘kan mencar. Pecahannya itu bisa membunuh banyak orang. Jadi lubang itu dibuat mencar. Kalau kena, satu saja yang mati, yang lain hanya kena goncangannya. Orang-orang Vietnam sudah mempelajari semua jalan untuk mempertahankan diri, menuju kemenangan.

Setinggi apa lobang persembunyian itu?
Setinggi badan. Ada yang setinggi tubuhku saja, 1,5 meter. Parit dan lobang-lobang itu kami gali sendiri. Umumnya, kalau masuk ke dalam parit persembunyian hanya setinggi leher. Tapi, kalau aku bisa tenggelam, karena aku pendek.
Ada teman laki-laki, orang Indonesia. Dia pemberani, tapi takut kodok. Dia lihat ada kodok di dalam lobang. Dia bilang “Tolonglah buang kodok itu!” Aku tahu dia takut. Saya jawab, kodok itu ‘kan tak apa-apa. “Tidak, tolonglah buang. Kau adalah pahlawan, tolonglah buang kodok itu,” bujuknya. Begitu saya keluarkan kodok itu, maka keluarlah puji-pujian segala macam yang dia tujukan kepadaku. Kodoknya dua, satu besar satu kecil. Ya, begitulah orang. Ada pula yang takut pada anak tikus, cindil. Mungkin dia tidak takut, tapi jijik, geli.
Banyak ceritanya. Saya, misalnya, bangun pagi, lari sekitar setengah jam. Naik bukit turun bukit. Kiri-kanan banyak pohon besar-besar. Di sela-selanya ada belukar, yang kami tebas dan kami tanami singkong. Saya naik ke bukit. Ada pepohonan yang besar-besar. Diantara pepohonan itu ada makhluk kecil, Matanya besar. Dari ketinggian dia melihat saya. Kulihat dia. Jangankan lari, takut pun dia tidak. Kupikir, apa itu hantu? Bajing bukan. Saya jalan terus. Dan tersesat. Saya duduk. Lama saya berpikir, bagaimana saya harus pulang. Tinggal di sini bisa dimakan beruang. Dan aku lapar waktu itu. Ada ular pohon. Kalau saya dicakot bisa payah. Akhirnya, saya menemukan jejak dari mana saya datang. Hampir dua jam tersesat. Kuncinya, kalau berada dalam keadaan sepert itu jangan panik. Tunggu, pikir dulu. Atau ikuti aliran air. Ikuti aliran air ke hulu, jangan ke hilir. Dan kita harus tahu makanan hutan yang bisa dimakan.
Di Vietnam saya belajar tanaman dan binatang apa saja yang bisa dimakan di dalam hutan. Itu bagian dari pendidikan tidak resmi. Juga, kalau kau melihat ada bom yang dijatuhkan, jangan langsung lari. Jangan! Itu membabibuta namanya. Pertama, tentu kita tiarap. Terus lihat ke atas. Jadi, kalau bentuk bomnya kelihatan memanjang di atas sana, maka jatuhnya akan jauh. Jadi, jangan lari. Tapi, kalau bentuknya bulat menghitam, cepatlah hindari tempat itu. Secepatnya! Larilah kau tungganglanggang. Jauhi itu. Kalau ada lobang, masuk lobang, kalau tidak ada, tiarap! Kalau ada racun, gunakan air kencing, tumpahkan di sobekan kain, di syal, dekapkan ke hidung.
Kalau tanaman, jangan langsung kau makan, apalagi bentuknya cantik. Jadi, apa yang bisa dimakan? Perhatikan babi. Apa yang dia makan? Kiambang dia makan. Cacing dia makan. Buah-buahan tertentu dia makan. Jadi, itulah yang kau makan. Monyet tak ada kulihat di sana, tapi babi, ayam, ada. Ular jangan, karena dia itu bisa makan yang beracun. Kalau ayam tidak makan yang beracun. Babi juga tidak. Babi itu seperti orang. Sistem pencernaan babi sama seperti orang. Karena itu, maka ada yang bilang makan babi sama dengan makan orang. Aku pernah sakit, ada orang Tibet bilang jangan makan babi. Sebab sistem penceranaannya sama dengan kita. Kalau sakit, daging yang panas juga tak boleh dimakan.

 

Farida belajar memanggul senjata?
Pertama-tama kami pelajari apa “perang rakyat” itu. Kami mahasiswa asing belajar mengenal senjata, termasuk baris-berbaris. Berlatih baris-berbaris juga, tapi tidak penting. Bongkar-pasang senjata diajarakan, tetapi senjata tidak diserahkan kepada kita. Tidak pernah saya bawa-bawa senjata. Senjata itu hanya untuk musuh. Untuk musuh saja pun kalau tak ada alasan tidak digunakan. Kita tak boleh ngawur! Waktu di Jakarta saya ‘kan sudah mahajaya (resimen mahasiswa), ketika masuk kuliah geografi Universitas Pajajaran, Bandung. Fakultas geografinya di Jakarta. Mahajaya dibentuk untuk mengganyang Malaysia. Tapi, waktu dites, saya terlalu kurus. Tinggi tak sampai 155. Yang dipilih yang gede-gede, yang kecil pendek macam saya tidak. Jadi, ketika latihan mengenal senjata di Vietnam saya sudah tidak merasa asing. Di Vietnam kriteria seperti di mahajaya itu tak ada, karena semua mahasiswa harus mengikuti latihan. Ada juga mahasiswa yang tidak ikut, kerana takut, karena tak kuat, sebab harus lari sambil membawa ransel. Pagi, misalnya, dibangunkan dan latihan berlari sambil memanggul ransel.
Banyak mahasiswa dari Tiongkok, ada juga dari Jerman Timur. Dari Uni Soviet saya gak lihat. Laki perempuan berlatih bersama, campur. Tinggal di gedung yang sama. Saya dipilih sebagai wakil mahasiswa asing, dan dimasukkan ke dalam regu untuk melawan agresi Amerika Serikat. Dalam pertemuan-pertemuan penting saya bertindak sebagai juru bicara.
Ada uang saku?
Ada. Banyak! Sama dengan menteri. Saya gunakan untuk makan. Setelah meninggalkan hutan, kembali ke Hanoi, maka berkumpullah dengan mahasiswa Vietnam. Ada makanan yang cocok dengan kita. Mahasiswa asing, karena makanan mereka asing, jadi mahal. Mereka makan di kantin. Waktu di dalam hutan ada tukang masak.

Dalam suasana perang, apa yang Farida kenang?
Kami diungsikan setelah terjadi provokasi Teluk Tonkin. Pihak Amerika Serikat bilang kapal perang Vietnam menyerang mereka. Terjadi bentrok antara kapal perang Vietnam dan Amerika. Kami diungsikan. Mahasiswa asing dari Eropa Timur pulang. Mereka bilang kepada saya, pesawat yang digunakan Amerika Serikat adalah pesawat tempur supersonik, dengan kecepatan melebihi suara, kalau menembak matilah kita, kata mereka. Baiklah, kalian pulang, kata saya, kalian punya negeri tempat pulang, saya tidak punya, negeri saya dikuasai militer.
Ketika itu, lewat surat yang titipkan Ayah pada orang Vietnam yang sedang berada di Indonesia, dia menulis, “Tinggalah di sana. Jangan pisahkan dirimu dari gerakan rakyat Vietnam.” Itu pesan Ayah kepadaku dalam suratnya. Surat itu masih kusimpan. Sementara teman-teman bilang: pulang! Ada yang mengajak ke Australia. Tetapi, ada orang Vietnam yang menasihati, “Kau di sini sajalah. Kami sudah biasa menghadapi keadaan seburuk ini. Biar sengsara kau masih dalam perlindungan kami,” katanya. Wanita Vietnam yang jadi kakak angkat saya itu orang Saigon. Dia masih hidup, pernah saya jumpa. Dia bilang kalau kau pulang, kau bukannya pulang ke rumah, tapi ke penjara.
Ketika peristiwa G30S pecah, saya teringat pada cerita Emak saya yang mengalami razia terhadap orang-orang komunis awal 1950-an. Teringat pada keluarga saya yang berada dalam keadaan genting, ikut menyembunyikan wakil ketua Partai Komunis Indonesia, MH Lukman. Keadaan pada akhir 1965 itu tentulah sangat susah. Bung Slamet Rachmat, yang kemudian menjadi suami saya, ketika itu berada di Moskow. Ketika itu, kami yang berada di Hanoi. Lantas kami kembali ke pengungsian. Kawan-kawan Vietnam bertambah simpati kepada saya. Mereka mengatakan peristiwa G30S akan berdampak panjang. Di belakangnya berdiri Amerika Serikat. Di dalam kelas hanya saya sendiri orang asing.

 

Kapan pendidikan selesai?
Selesai tahun 1976. Ketika itu kami sudah tidak di gunung, sudah kembali ke Hanoi. Orang-orang sudah kembali. Ijazah diberikan di ruang sekolah. Mempertahankan paper di Vietnam berat, tidak seperti di Belanda. Semua orang datang. Macama-macam pertanyaan yang harus dijawab. Di Belanda tidak begitu. Di Belanda sini saya ambil S2. Saya tiba di Belanda 1981. Masuk kuliah di Institut Sejarah Asia Moderen di Amsterdam tahun1985 selesai 1989. Profesor Saskia Wieringa ikut menjadi salah seorang pembimbing saya.

 

Bagaimana ketemu Slamet Rachmat?
Dia mahasiswa tamatan Moskow. Dia belajar matematika dan fisika, dan nuklir di sana. Selesai tahun 1965. Saya bertemu dengannya di Vietnam. Dia mau dinaikkan lagi menjadi Doktor. Dari Universitas Lumumba di Moskow dia mau dimasukkan ke Universitas Lomonosov untuk mencapai gelar Doktor. Tetapi, dia dan teman-temannya melihat bahwa mereka tidak bisa tinggal di Moskow. Harus menuju Timur untuk pulang. Walaupun hidup enak di Moskow, tetapi itu bukan tujuan kami, begitulah kata mereka. Kelompok Mas Rachmat itu berangkat ke Tiongkok dan terus ke Vietnam. Sementara yang sakit tinggal di Tiongkok. Tetapi, pada tahun 1966 itu belum waktunya untuk pulang ke Indonesia. Perang Vietnam sudah mulai memanas. Sudah ada pemboman. Orang-orang sudah mulai mengungsi.
Saya menikah dengan Rachmat tahun 1969. Anak kami, Revina, lahir 10 November 1970 di Hanoi. Saya melahirkan secara normal, berbarengan dengan seorang perempuan dari Laos dan Tiongkok. Kami satu ruangan.
Dalam menata hidup, diputuskan Rachmat berangkat lebih dulu ke Belanda. Revina bersamaku. Saya dan Revina menyusul ke Belanda dari Tiongkok tahun 1981. Kami masuk ke Tiongkok tahun 1978.
Rachmat memasuki Belanda melalui Jerman. Dia menyeberang ke Belanda di pertemuan perbatasan tiga negara (Jerman-Belgia-Belanda) di Vaals, dekat Aachen, di wilayah Jerman. Aku berangkat dari Peking ke Schiphol dengan anakku. Tak ada masalah dengan paspor. Malah paspor lamaku lebih dihargai. Begini. Setelah peristiwa G30S, Duta Besar Indonesia untuk Vietnam, Sukrisno, yang diangkat Bung Karno, mengatakan kepada mahasiswa Indonesia: “Adik-adik, saya adalah duta besar luarbiasa dan berkuasa penuh yang diangkat oleh Bung Karno. Kalian tinggallah di sini baik-baik. Saya sendiri tidak bisa menerima pemerintahan yang baru.” Sesudah itu dia pergi tak tahu ke mana.
Stibanya di Schiphol saya dan Revina ditempatklan di ruangan marsose, karena kami pencari suaka. Marsose itu melihat anakku yang masih kecil. Kami semua berlima. Yang tiga lainnya tak usah kusebutkan.
Rachmat yang tiba di Belanda setahun lebih dulu, datang menjemput di Schiphol. Kepada polisi yang sedang bertugas dia katakan bahwa istri dan anak putrinya sekarang datang dari Peking. Rachmat mengatakan bahwa dia bersama kami ingin menggabungkan diri sebagai pencari suaka. Polisinya memanggil marsose. Marsose datang. Saya bilang saya tak bisa pulang ke Indonesia karena saya menentang rezim Suharto. Saya dari Indonesia ke Vietnam,

sekarang saya kemari. Hubungan Belanda dengan Indonesia lebih dekat. Kami diperlakukan sangat simpatik. Marsose itu malah menggendong-gendong anakku. Umur Revina sebelas tahun waktu itu. Marsosenya gemuk, penampakan wajahnya simpatik sekali.

 

Perasaan Farida ketika itu seperti apa?
Marsose itu berperikemanusiaan. Sesampainya di Belanda, Rachmat diterima oleh sebuah lembaga pelarian politik dan dibantu oleh seorang advokat. Dia dapat izin tinggal dan dapat rumah juga. Sebelumnya dia menumpang dulu di rumah kawan yang datang ke Belanda lebih dulu. Kami bergabung. Tak ada prosedur apa pun terhadap kami berdua. Mas Rachmat ketawa-ketawa, kami langsung dibawanya. Ada formulir yang diminta kuisi. Kuisi. Dari Schiphol kami langsung dibawa ke rumah teman.
Marsose yang menangani kami baik sekali. Kami sama-sama terharu. Karena pengaruh anak, barangkali. Juga karena kepribadian marsosenya sendiri. Mengapa saya pilih Belanda? Karena kedekatan hubungan sejarah. Ketika ditanya saya bercerita biasa-biasa saja. Ada yang diperlakukan keras, karena belum apa-apa sudah cerita bahwa anaknya dibunuh, inilah … itulah … Macam-macam. Kami lancar saja.

 

Berapa lama kemudian Farida memperoleh kewarganegaraan Belanda?
Tunggu kingat dulu, ya… Kalau tak salah tahun 1985. Semua yang bekaitan dengan proses yang ada kaitannya dengan dokumen diurus oleh Mas Rachmat. Ketika di sini, saya tidak bersikap heroik seperti wanita-wanita Filipina umumnya. Saya mengikuti ajaran Vietnam, kalau lawan tidak bertanya macam-macam, ya, diamkan saja. Banyak yang mengkritik saya karena saya bilang saya ikut suami. Saya tidak merasa rendah diri dengan berkata begitu. Saya bilang, cuma ikut suami. Saya tidak sampai mengalami disidangkan. Ada yang disidang, timbul pula masalah. Teman seperjalanan Mas Rachmat dimasukkan ke dalam sel. Karena omongannya aneh-aneh. Ya, disel. Orang Indonesia itu datang dari Tiongkok. Dia lebih muda dari Mas Rachmat.

Slamet Rachmat, sanga suami kelahiran Kupang itu meninggal 25 Juli 2010 dalam usia 77 tahun di Amsterdam. Farida Ishaja telah menjalani hidupnya dengan penuh sepenuh-penuhnya. Sampai suatu saat, dalam merenungi hidup dia sampai pada keputusan untuk mendekati akhir dari perjalanan duniawi yang fana ini dengan berangkat menunaikan ibadah haji. Dia berangkat bersama Aisyah, istri eksil penyair anak Medan, Chalik Hamid, menjelang akhir September 2015.
Perjalanan laut mengarungi Laut Tiongkok Selatan menuju Vietnam, kuliah dalam ancaman bom, terbang ke Schiphol meminta suaka untuk menata hidup di Amsterdam, barangkali tidak kalah penting dibandingkan dengan perjanalan suci. Atau memang bukan bandingannya. Sebagaimana mustahilnya menyandingkan heroisme dengan spiritualitas. Dalam status Facebook yang ditulisnya 17 Maret 2016, Farida menemukan sesuatu yang membuatnya terborgol, dan sampai pun nanti ketika dia menjemput kematian, tetap tak bisa dia lepaskan.
Dia menulis: “… Enam bulan yang lalu, tepatnya 15 September 2015, dalam melaksanakan ibadah haji, aku berhasil memasuki Gua Hira di puncak Jabal Nur atau Bukit Cahaya. Aku terharu dan bahagia sekali karena ini kuanggap sebagai hadiah ulang tahunku yang ke 71 sehari sebelumnya. Aku mendaki sendirian, karena tak ada anggota rombongan yang berniat memasuki gua. Dan ada yang menasihatiku untuk tidak meneruskan maksud tersebut, mengingat usiaku yang lanjut dan jalan masuk gua yang miring, menikung, dan tanpa pegangan. Aku tetap bertekad pergi ke tempat bersejarah itu, tempat yang 65 tahun sebelumnya kudengar ceritanya dari guruku di madrasah bahwa di Gua Hira inilah Nabi Muhammad sering menyendiri beribadah dan menerima Wahyu petama.
Di jalan ke luar gua aku harus melewati celah yang sangat sempit, harus merayap ke depan. Aduh, aku terjepit, tak bisa maju dan tak bisa mundur. Rupanya ransel di punggung, tas cangklong-sandang, dan tongkatku yang mengganggu.
Sampai di luar, di udara terbuka yang cerah, aku terkejut karena aku kok sendiri. Di belakangku tak ada makhluk. Di depanku sepi kosong. Aku bengong berdiam diri dan mengambil nafas panjang. Di sebelah kiri, dinding batu tinggi tegak lurus tak bisa kupanjat. Di depanku, batu-batu tajam, dan di sebelah kananku menganga jurang yang dalam!
Pada saat itulah kau muncul Said. Kau datang dari balik bongkah batu di arah jurang. Kau ambil dan pegangkan tongkatku dan tas cangklongku, berjalan ke arah dinding batu dan kudengar pula tawa ceria sepasang orang muda yang langsung mengulurkan tangan mengangkatku ke atas dengan bantuanmu. Said tak ada suaramu dan tak ada tanyamu kecuali waktu menjawab pertanyaanku tentang siapa namamu. Kau antar dan kau tuntun aku dengan santun. Kuperhatikan dirimu anak yang baik, mungkin kau seusia cucu adikku. Aku pantas jadi nenekmu. Wajahmu tenang, perawakanmu sedang, tidak kurus dan tidak gemuk, tidak pendek dan tidak tinggi, tidak hitam dan tidak putih. Rambutmu pun tidak keriting tapi tidak lurus — sedikit berombak. Kau bawa aku ke lapangan kecil tempat sembahyang yang penuh sajadah untuk salat sunnah. Kau salat dan aku membuka tas mencari sesuatu untuk kenangan.
Tapi, Said, kau sudah menghilang. Begitu mendadak, seperti waktu kau datang! Kucari, kupanggil dan kutanya pada orang-orang di warung makanan. Tak ada yang mengenalmu Said. Aku duduk di situ menunggumu. Lama. Tapi, kau tetap tidak ada. Aku tak tahu asalmu dari mana dan kau siapa?
Di tempat nenekku, Said, ada pepatah – Hutang emas dapat dibayar, hutang budi dibawa mati…

https://www.facebook.com/martin.aleida/posts/1426963863997385

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
foto: ypkp-doc

Indonesian Killing Field: The Problem of Exhumation is There Still a Space ?

tapol-logo

Dari Kampung Togog Sampai “idu bacin” Tapol 65

Related posts
Your comment?
Leave a Reply