Negara (Masih) Mengukuhkan Kecemasan Massal
Dhianita Kusuma Pertiwi |
Bagi beberapa kelompok masyarakat di Indonesia, memasuki bulan September di setiap tahun terasa lebih menarik daripada perayaan kemerdekaan pada bulan sebelumnya. Jika pencapaian kemerdekaan negara pada 17 Agustus 1945 telah dianggap sebagai suatu hal yang tidak perlu, bahkan mungkin tidak bisa dipertentangkan lagi; hal yang berbeda terjadi dengan narasi tentang peristiwa malam 30 September 1965. Jika kita mau membuka mata lebih lebar dan menyadari riak-riak yang bergerak di tengah-tengah masyarakat, maka akan ditemukan begitu banyak paradoks.
Jika pada bulan Agustus seakan-akan semua lapisan masyarakat berbondong-bondong mengamini kesatuan negara dan bangsa Indonesia, maka selang satu bulan persetujuan atas konsep tersebut tersisihkan; diganti oleh kecemasan massal yang disebabkan oleh hantu G30S. Dan dalam hal ini, saya pikir negara masih saja mengukuhkan kecemasan massal itu dengan melakukan hal-hal yang dapat meruncingkan konflik sosial. Salah satu yang paling kentara adalah mengangkat kembali narasi yang dimunculkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI akhir-akhir ini.
Perlu adanya peninjauan ulang mengapa negara kembali menganggap pemutaran film tersebut di ruang publik sebagai hal yang perlu dilakukan. Telah menjadi pengetahuan dan mungkin pengalaman bersama bagaimana film tersebut menjadi tontonan wajib yang disiarkan di ruang publik seperti gedung bioskop maupun ruang privat melalui siaran TVRI pada rezim Orde Baru.
Penetapan Pengkhianatan G30S/PKI sebagai tontonan wajib kala itu tentu saja dianggap penting karena film yang menghabiskan dana 800 juta Rupiah tersebut memang dibuat untuk mengonstruksi pola pikir masyarakat terkait kejadian G30S dan melenggangkan glorifikasi militerisme dan rezim Orde Baru.
Sementara itu, empat bulan setelah pengunduran diri Suharto, Menteri Informasi Yunus Yosfiah menyatakan film tersebut tidak lagi menjadi bahan tontonan wajib, yang dicatat oleh Tempo pada tahun 2012 merupakan permintaan dari Saleh Basarah, anggota AURI. Permintaan tersebut didasari kekhawatiran Basarah yang merasa film itu telah mencoreng nama baik AURI.
Keputusan yang akhirnya ditetapkan secara resmi tersebut kemudian membuat masyarakat Indonesia sedikit bernafas lega, karena tidak perlu menonton film yang menggambarkan petinggi PKI seperti layaknya gerombolan mafia dan gambaran-gambaran berdarah selama hampir tiga jam, walaupun protes secara langsung memang masih sulit untuk disampaikan dengan leluasa.
Pada kelanjutannya, memang sudah hampir tidak ada lagi sekolah yang mewajibkan peserta didiknya menonton film tersebut pada tanggal 30 September atau 1 Oktober. Namun terdapat sebuah celah besar yang menganga di tengah-tengah menurunnya kepopuleran film tersebut, yakni sedikitnya atau bahkan tidak ada upaya dari negara untuk mengoreksi ulang posisi film tersebut di tengah berjalannya pemerintahan reformasi, sehingga anggapan bahwa film tersebut merupakan narasi sejarah yang sepenuhnya benar dan bersih dari kepentingan masih juga bertahan. Malah yang muncul kemudian pada dua tahun terakhir adalah pengangkatan kembali film tersebut untuk dihadirkan di ruang publik oleh tokoh-tokoh negara.
Dalam hal ini, menurut saya, terlepas dari keberpihakan kita terhadap narasi film tersebut, semua dari kita sebenarnya sedang merasakan kecemasan massal. Di satu pihak, kelompok yang menolak kebenaran narasi film tersebut merasa cemas dengan tekanan dan serangan yang seringkali dikaitkan dengan dukungan terhadap paham komunisme yang sampai hari ini memang masih diatur sebagai ajaran yang terlarang di Indonesia.
Sementara itu di saat yang sama, kelompok yang setuju dengan narasi film tersebut dibayang-bayangi oleh hantu komunisme yang sejatinya tidak cukup kuat alasannya. Oleh karena itu, saya membaca kecenderungan pemerintah untuk mengangkat kembali posisi film Pengkhianatan G30S/PKI akhir-akhir ini merupakan bentuk pengukuhan kecemasan massal yang membenturkan satu kelompok masyarakat dengan kelompok yang lain.
Padahal studi terkait film ini, baik dari aspek artistik maupun tema yang diangkat, telah dilakukan dan mengarah pada pendapat yang menyatakan adanya upaya kontruksi pemujaan terhadap Suharto dan rezim Orde Baru yang ditampilkan melalui konflik kelompok (ABRI vs kelompok komunis) secara sangat hitam putih dan disampaikan melalui penggambaran yang cenderung bertele-tele.
Namun negara sepertinya enggan mempertimbangkan hal tersebut dan cenderung terus menerus mengagungkan narasi film itu, terlepas dari makin terbukanya celah untuk mengkritiknya. Tentu hal ini bukanlah hal yang bisa dianggap bijak dan cerdas untuk dilakukan oleh negara yang berupaya sembuh dari luka di masa lalu.
Pemosisian film Pengkhianatan G30S/PKI di tengah semarak perayaan sistem politik demokrasi merupakan satu paradoks yang perlu disadari. Narasi-narasi tandingan terus menerus ditekan atau dibatasi, mengarah pada upaya konstruksi pola pikir satu kubu, suatu hal yang pernah terjadi di rezim yang secara legal telah berakhir.
Kejahatan negara menurut saya tidak lagi hanya pada keengganan untuk menyelesaikan permasalahan ini di ranah hukum, namun juga di ranah sosial, yakni yang saya sebut dengan mengukuhkan kecemasan massal dengan mengangkat kembali kepopuleran film tersebut akhir-akhir ini.
Sumber: DhianDHarti.Com
Your comment?