Cerpen | Di Manakah Kubur yang Tepat buat Mayatku Ini?
Oleh: Bonari Nabonenar
MENJADI guru sekolah dasar adalah cita-cita Sutragi sejak ia masih duduk di bangku kelas rendah. Sekolah dasar. Sebab, hanya itu profesi paling terhormat yang ia lihat. Sutragi kecil tidak pernah bertemu pegawai bank, dokter, pegawai kecamatan, dan lain-lain. Di Desa Jumawut, tempat Sutragi lahir dan menamatkan sekolah dasarnya, ada tiga orang pegawai negeri yang bukan guru. Mereka masing-masing bekerja sebagai: kuli ratan, mandor ratan, dan seorang lagi mandor kawat. Tetapi, guru tetaplah profesi dambaan Sutragi. Ia lahir dari rahim perempuan yang kemudian menjadi guru.
Orang tua biasanya menginginkan anak-anaknya menjadi orang dengan capaian-capaian lebih dari yang mereka dapatkan. Tetapi, tidak demikian orang tua Sutragi.
Ibu Sutragi seorang guru sekolah dasar, yang hanya mengidamkan anaknya menjadi guru. Guru yang mendapatkan posisinya dengan terlebih dulu membuktikan lulus dari sekolah pendidikan guru. Bukan seperti dirinya, yang menjadi guru karena keberuntungan. Sebagai salah seorang siswi yang menonjol di kelasnya, pak kepala sekolah menganjurkannya segera mengikuti kelompok belajar paket agar mendapatkan ijazah setara SMP. Lalu meneruskan kursus pendidikan guru sambil menjadi guru sukarelawati.
Ibu Sutragi memang diuntungkan situasi yang baru saja merenggut nyawa suaminya. Dalam situasi yang merenggut nyawa suaminya itu, negara kehilangan banyak tenaga guru. Maka, dibutuhkan guru-guru baru sebagai pengganti mereka. Kebutuhan itu tidak akan segera dapat dipenuhi jika harus menunggu mereka yang secara reguler lulus dari sekolah pendidikan guru.
Sejak mampu memahami persoalan di sekitarnya, Sutragi menyaksikan betapa profesi guru sedemikian dihormati di desanya. Beberapa guru baru datang dari kota atau dari desa lain. Ada yang baru berstatus sukarelawan. Ada pula yang sudah mengantongi SK sebagai pegawai negeri. Melalui rerasan para orang tua, Sutragi tahu betapa banyak yang berharap menjadi mertua guru-guru baru. Yang masih lajang itu. Tak peduli sudah berstatus pegawai negeri atau masih sukarelawan.
Sejak sekolah dasar, dari tahun ke tahun Sutragi selalu tercatat sebagai anak paling pintar. Di kelasnya ia selalu juara. Kepintarannya tidak hanya dicatat di dalam buku rapor, tapi juga menjadi pembicaraan di kalangan guru. Lalu sampai pula ke telinga orang tua Sutragi. Mereka bangga. Orang tuanya semakin berharap kelak Sutragi bisa menjadi guru
Lulus sekolah dasar dengan nilai terbaik, Sutragi tidak dapat melanjutkan studi ke sekolah negeri. SMP negeri hanya ada di kota kabupaten. Jarak dari desanya hampir 50 kilometer dan tidak ada angkutan umum setiap hari. Andai waktu itu sudah ada pun, pasti akan terlalu mahal. Akhirnya, sebagai lulusan terbaik sekolahnya, Sutragi hanya bisa masuk SMP swasta. Itu pun jaraknya belasan kilometer dari desanya. Tidak ada pula angkutan umum untuk menjangkaunya. Tetapi, ada kerabat jauh yang mau menampung Sutragi. Selain dibebaskan dari kewajiban membayar uang kos, Sutragi masih bisa menumpang makan pula. Syaratnya, di luar jam belajarnya Sutragi harus membantu bekerja di rumah, di toko, kadang juga di sawah atau di ladang. Cukup berat untuk seorang anak lulusan sekolah dasar, tetapi Sutragi melakukan semuanya dengan senang hati. Demi cita-citanya.
Lagi-lagi, Sutragi lulus dari SMP swasta itu dengan nilai gemilang. Tetapi ternyata masih belum cukup untuk menembus SPG negeri. Sepertinya sebagian besar warga kabupaten bercita-cita menjadi guru. Seperti Sutragi. Sekolah pendidikan guru negeri hanya ada satu di kabupaten. Kelas paralelnya bisa sampai delapan atau sembilan. Hitung saja, kalau satu kelas sekurangnya dihuni 40 orang siswa, berapa kalau dikalikan delapan atau sembilan? Itu belum yang swasta. Ada empat SPG swasta di kabupaten. Saking kuatnya cita-cita untuk menjadi guru, banyak lulusan SMP yang potensial menembus SMA negeri malah lebih memilih masuk SPG swasta. Salah satu contohnya: Sutragi. Ia masuk salah satu di antara SPG swasta itu.
Lagi-lagi, Sutragi keluar sebagai lulusan terbaik. Tetapi, itu bukan sepenuhnya kabar baik. Sebab, atas nama peningkatan mutu pendidikan, pemerintah merasa lulusan SPG tidak lagi kapabel untuk menjadi tenaga guru di sekolah dasar. Maka, didirikanlah wadah baru untuk mendidik para calon guru sekolah dasar. Namanya PGSD (pendidikan guru sekolah dasar), ditempelkan di institut keguruan dan ilmu pendidikan.
Agar dapat menjadi guru sekolah dasar, para lulusan SPG harus menempuh jenjang pendidikan lanjutan, sekurang-kurangnya PGSD. Atau boleh langsung menempuh program sarjana. Tetapi, tidak ada keistimewaan bagi para lulusan SPG itu. Untuk dapat masuk PGSD, mereka harus mengikuti ujian, bersaing dengan para lulusan SMA, SMEA, dan yang sederajat. Banyak lulusan SPG yang memilih berhenti. Lalu memasuki dunia kerja seadanya. Mereka pada umumnya berasal dari keluarga kurang mampu.
Sutragi masih tergolong lumayan. Ibunya masih mendapatkan gaji setiap bulan. Walau bukan lagi seorang guru. Bersama sekian banyak guru lainnya di seluruh kabupaten, ibu Sutragi dipindahkan ke bagian administrasi di kantor dinas yang ada di kota kecamatan masing-masing. Beberapa item tunjangan pendapatannya sebagai guru pun hilang. Lagi pula, setiap hari harus pergi-pulang dengan menumpang kendaraan umum. Itu berarti gajinya yang tidak seberapa mesti dipotong ongkos transportasi. Tetapi, ada tambahan penghasilan lumayan signifikan. Pohon-pohon cengkih di pekarangan mulai berbunga. Itulah yang kemudian sangat menolong Sutragi untuk berangkat mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa baru di sebuah perguruan tinggi yang mencetak calon guru.
Lulus tes saringan, Sutragi diterima sebagai mahasiswa baru. Ia senang bukan main. Ibunya menangis seharian. Sedih dan gembira. Sedih karena membayangkan ongkosnya. Walaupun perguruan tinggi negeri jauh lebih murah dibanding swasta. Itu akan tetap berat baginya. Tetapi, siapa yang tidak merasa bangga? Kelak Sutragi akan menjadi orang pertama yang lulus sebagai sarjana di desanya. Dari perguruan tinggi negeri pula. Sutragi tidak akan menjadi guru SD atau SMP. Tetapi guru SMA. Atau SPG.
Tanaman cengkih yang mulai berbuah pada musimnya sangat menolong. Ditambah hubungan sosial orang tuanya yang bagus dengan para kerabat dan tetangga, Sutragi tidak pernah mendapatkan penolakan ketika berkirim surat untuk dikirimi tambahan uang. Orang tuanya harus pula jungkir balik gali lubang tutup lubang. Mungkin itu harga yang layak untuk sebuah cita-cita dan kebanggaan.
Setelah menyelesaikan KKN dan praktik mengajar, Sutragi menyempatkan pulang kampung. Menikmati musim liburan. Sekaligus menengok orang tuanya. Ia merasa akan membawa kabar baik bagi seluruh keluarganya. Kuliahnya akan kelar sebentar lagi dan gelar sarjana pun akan disandangnya. Tetapi, begitu sampai di rumah, ia mendapati suasana yang aneh. Wajah orang tuanya tidak berbinar-binar seperti sebelumnya setiap kali ia datang dari kota.
Setelah makan, malam itu ibu Sutragi membuka pembicaraan. Dengan suara pelan, ”Jangan kaget, ya Nak? Ini kabar buruk buat kita.”
Sudah diminta untuk tidak terkejut, Sutragi tetap saja terkejut.
”Ada apa, Bu?”
”Ibu sekarang sudah pensiun.”
”Oh, bukankah seharusnya masa kerja Ibu masih sepuluhan tahun lagi?”
”Orang menyebutnya pensiun dini, Nak. Tepatnya dipensiunkan dini. Ada peraturan baru. Harus begitu. Ya, kita tinggal terima saja.”
”Memang kenapa, Bu?”
”Sudahlah, Nak. Ibu kan sudah tua. Sudah lelah. Tetapi, kamu …?”
”Ada apa denganku, Bu?”
”Kabarnya, negara juga telah mencatat namamu, beserta ribuan orang lain sebayamu, sebagai orang-orang yang tidak akan diterima menjadi pegawai negeri.”
”Oh! Lalu dasarnya apa, Bu?”
”Dasarnya ya peraturan itu. Peraturan pemerintah atau undang-undang, persisnya ibu tidak tahu.”
”Loh?”
”Ini berkaitan dengan almarhum ayahmu.”
Sutragi kini mulai paham. Ia lalu terdiam. Membongkar ingatan. Memunguti angan-angan. Yang berserakan. Tak keruan. Dilihatnya berjuta-juta anak dilahirkan serentak. Dari rahim kemarahan. Yang tampil kemudian di permukaan ingatannya ialah sosok gelandangan nyaris sarjana. Yang ia pergoki di salah satu sudut alun-alun kota. Sedang bermain-main dengan kunang-kunang. Bersama seorang gadis yang manja. ”Jangan-jangan aku telah bertemu dengan diriku sendiri. Di waktu yang telah lewat itu!”
Lalu tahun demi tahun lewat. Sebagai malam gelap. Di sanalah sesosok gelap yang lebih pekat daripada malam kadang berjalan tegap. Kadang lunglai. Atau menggelepar di sudut alun-alun kota. Lalu bangkit menggendong mayatnya sendiri. Dan mengatakan kepada semua orang, ”Aku sudah mati!” Kalau ia ditanya, jawabnya hampir selalu, ”Aku sudah mati!”
Sesekali justru berupa pertanyaan balik, ”Di manakah kubur yang tepat buat mayatku ini?” Tak peduli, tentang apa pun pertanyaannya. Hanya dua kalimat itu yang dapat diucapkannya untuk keperluan apa saja. Di warung nasi kadang ia mengangsurkan dirinya dan berkata, ”Aku sudah mati!” Lalu ia dapatkan sebungkus nasi. Kalimat itu pula yang ia kemukakan untuk mendapatkan sebatang rokok. Ia bahkan sudah lupa bahwa ia punya nama: Sutragi. (*)
Trenggalek, 2019
—
BONARI NABONENAR, Menulis cerita pendek dalam bahasa Jawa dan bahasa Indonesia. Dua buku cerpennya yang telah terbit: Cinta Merah Jambu (2005) dan Semar Super (2006).
Your comment?