Soal dokumen rahasia AS, Agus Widjojo: Isu hantu komunis masih laku secara politis
19 Oktober 2017
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo mengatakan isu komunis akan selalu digunakan oleh mereka yang mempunyai kepentingan tertentu dan hingga kini masih laku dijual untuk mencapai kepentingan politik.
Hal itu dikatakannya menanggapi dokumen rahasia Amerika Serikat yang baru saja dibuka bahwa negara itu mengetahui skala pembunuhan massal dalam peristiwa tahun 1965. Tragedi tersebut masih menyisakan banyak ruang gelap dalam sejarah Republik Indonesia.
Pada 17 Oktober 2017, National Security Archive (NSA) menguak sejumlah dokumen laporan diplomatik Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia pada periode 1964-1968.
Terdapat hal baru yang ada dalam dokumen berupa 39 korespondensi setebal 30.000 halaman tersebut. Sebut saja soal peran Adnan Buyung Nasution, ide membunuh Omar Dani, gagasan Angkatan Darat untuk kemungkinan menjatuhkan Presiden Soekarno, hingga aksi-aksi rasialis terhadap keturunan Tionghoa di Indonesia.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo menyatakan periode sejarah tragedi 1965 memang harus dikuak guna memudahkan proses rekonsiliasi.
“Masyarakat harus mampu melakukan refleksi melihat peristiwa 1965 dari sudut pandang Indonesia 2017,” kata Agus.
Sebagai putra Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang menjadi korban 30 September 1965, Agus terlibat aktif dalam rekonsiliasi dan penguakan sejarahnya. Ia adalah Ketua Dewan Pengarah Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” yang dilangsungkan tahun lalu.
Simposium itu merupakan kegiatan bertemakan tragedi 1965 yang pertama kalinya yang didukung pemerintah. Agus sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional berperan penting hingga bisa berlangsung. Selain itu, Agus juga terlibat aktif di dalam Forum Silaturahmi Anak Bangsa yang berisikan keturunan para korban dan pelaku sejarah 1965.
Agus menerima Tim BBC Indonesia yang terdiri dari Rebecca Henschke, Tito Sianipar, dan Haryo Wirawan, dalam wawancara khusus di kantornya pada Selasa, 17 Oktober 2017.
Pria kelahiran Solo, 8 Juni 1947 itu menanggapi berbagai hal terkait isi dokumen Amerika yang baru dibuka, dan menyampaikan pandangannya soal apa yang perlu dilakukan Indonesia sebagai bangsa.
Berikut ini petikan wawancaranya:
Banyak versi tentang Tragedi 1965. Dalam pandangan Anda sendiri, apa yang sebenarnya terjadi?Itu tragedi besar. Harus dilihat latar belakangnya, pernah terjadi pembunuhan oleh PKI pada 1948. Setelah 1960-an PKI mengambil strategi revolusi. Mereka mulai galak. Dekat dengan Presiden Soekarno, membuat mereka mendorong dengan keras kebijakannya, seperti tanah untuk rakyat, aksi sepihak, mengintimidasi organisasi Islam, kepartaiannya, mahasiswa, dan lainnya.
Pada akhirnya, (G30S terkait) sakitnya Presiden Soekarno. Karena PKI merasa dekat dengan Bung Karno, mereka berpikir kalau terjadi apa-apa dengan Bung Karno, siapa yang akan menjadi penguasa. Sementara di sisi lain, yang sudah lama mengamati PKI adalah Angkatan Darat sejak 1948 itu. AD sudah lama mengamati dengan cermat gerak-gerik PKI, dan mengimbangi gerakan PKI, meski sifatnya defensif.
Berarti ada pertarungan besar antara AD dan PKI ketika itu?Suasana ketika itu menegangkan. Terutama PKI juga sudah memasukkan agen-agennya membina perwira AD. Sebagian berhasil. Oleh karena itu PKI percaya diri ada elemen AD yang mendukung, sehingga mereka melancarkan penculikan perwira AD. Tidak jelas, apa tujuan penculikan. Tapi dilakukan oleh pasukan yang kurang profesional. Di rumah Achmad Yani, Nasution, dan Panjaitan mereka mendapatkan perlawanan. Di tiga tempat ini mereka gagap karena mendapat perlawanan.
Perkiraan saya, karena di Lubang Buaya ada perwira ada yang tidak bernyawa, bisa dibilang usaha mereka gagal. Selain itu, perencanaan operasi ini tidak cermat dan tidak profesional. Misalnya pasukan yang merebut RRI. Setelah gagalnya operasi, dengan mudah gedung itu diambil alih Kostrad, karena tidak ada logistik yang mendukung.Dalam dokumen rahasia Amerika yang baru dirilis, AD mempertimbangkan rencana menjatuhkan Soekarno?
Dari pengamatan saya, itu analisa pihak asing yang tidak tinggal di sini, sah-sah saja membuat analisa itu. Mungkin itu karena termakan oleh isu Dewan Jenderal, yang sekarang Wanjakti (Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi). Apakah itu jadi dasar analisis mereka?
Bukan. Mereka membuatnya karena ada perwakilan TNI AD yang mengontak diplomat Amerika…
Saya rasa tidak ada itu. Kecuali justru tentara itu adalah dari pihak yang ditanam PKI untuk menjelekkan AD. Saya tidak percaya analisis itu.
Bahwa AD menerima bantuan dari Amerika, berupa senjata, alat komunikasi, dan uang?Hubungan internasional itu merupakan pertemuan kepentingan nasional. Pada 1 Oktober laporan duta besar Amerika tidak berani mengatakan siapa di belakang semua ini. Masih tidak kelihatan pada saat itu.
Yang ingin saya bilang, apa yang terjadi di Lubang Buaya; ada perwira TNI meninggal, operasi mereka (PKI) gagal, tidak punya plan B dan tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya kocar-kacir.
Dengan kocar-kacirnya mereka, negara-negara yang punya kepentingan dengan Indonesia mulai terbuka untuk dukung siapa. Saya rasa tidak ada bantuan diberikan untuk membunuh.
Ketika Amerika sudah membuka bahwa mereka pernah memberikan bantuan untuk AD pada tragedi 1965, kenapa Indonesia tidak bisa?
Kalau penjelasannya dilakukan seperti yang saya lakukan sih tidak sulit. (Tertawa) Sebetulnya setelah itu, bantuan dari Amerika juga bertubi-tubi untuk AD. Apalagi setelah 1965 dan mereka angkat kaki dari Vietnam, bantuan itu ditujukan untuk modernisasi dan meningkatkan profesionalitas. Apa salahnya?
Dan sangat mudah dipahami, Amerika punya kepentingan membangun benteng mencegah menjalarnya komunisme. Itu yang mereka lakukan.
Sampai mana proses penulisan ulang sejarah terkait 1965?Penulisan ulang sejarah tidak bisa dilakukan tanpa rekonsiliasi antara kedua kubu yang bertikai. Sekali lagi, sejarah versi siapa yang akan ditulis ulang? Pihak-pihak yang terkait harus duduk bersama, berbagi apa yang dialami, dan harus siap untuk berdamai dengan masa lalu.
Masyarakat Indonesia belum siap untuk rekonsiliasi. Untuk bisa dikatakan siap, masyarakat harus mampu mengadakan refleksi melihat peristiwa 1965 dari sudut pandang Indonesia 2017. Sekarang ini masih banyak yang menempatkan dirinya dalam tragedi 1965. Jadi pertentangan 1965 masih ada dalam hati mereka sekarang di 2017.
Harusnya mereka lepas. Lihat tragedi 1965 itu secara reflektif dan secara objektif dan percaya bahwa tujuan rekonsiliasi ini mulia. Rekonsiliasi bukan untuk menghukum atau menjustifikasi siapa salah dan siapa yang benar, melainkan untuk kepentingan bangsa agar bisa maju.
Harus bisa berdamai dengan masa lalu, dan mengambil pelajaran apa yang salah pada masa lalu sehingga bisa saling bunuh dalam jumlah yang besar. Itu penting dan tidak merugikan siapapun.
Masalahnya pola 1965, yaitu mobilisasi organisasi berlabel Islam oleh tentara untuk menghantam PKI, terjadi lagi sekarang ini. Isu kebangkitan PKI didegungkan kelompok yang sama…
Pola yang universal itu tidak selalu terjadi antara TNI Angkatan Darat dengan Islam. Itu soal kepentingan saja. Ada yang melihat pihak mana yang bisa digandeng untuk mencapai kepentingan politiknya. Buktinya satuan-satuan dalam TNI tidak ada yang bergerak.
Satu hal yang pasti, isu komunis akan selalu digunakan oleh mereka yang punya kepentingan tertentu. Siapapun itu. Isu hantu komunis masih laku dijual untuk mencapai kepentingan politik.
Your comment?