Putu Oka Sukanta, Menemukan Akupuntur di Penjara Orba

Oleh: Jofie Dwana Bakti – 3 September 2018
Putu Oka Sukanta adalah bekas seniman yang dekat dengan Lekra. Kini, ia menggantungkan hidup lewat akupuntur, keahlian yang didapatinya di penjara Orba.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada 21 Oktober 1966, ia ditangkap tanpa pernah diadili.
Putu dibui selama 10 tahun di Salemba dan Tangerang karena terlibat di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang dituduh dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia tak tahu kenapa tak dipindahkan ke Pulau Buru seperti aktivis-aktivis Lekra yang lain.
Pada tahun 1969, Putu berbagi sel dengan seorang sensei bernama Lie Tjwan Sien. Tabib tradisional itu memperkenalkan akupuntur kepadanya. Ia membantu sesama pesakitan dengan pijat akupresur dan akupuntur. Keahlian ini yang kemudian ia andalkan buat menyambung hidup.
“Ketika keluar [penjara], profesi yang lama [sebagai guru dan wartawan] sudah enggak bisa [dikerjakan] lagi, jadi aku mencoba untuk mendalami akupuntur secara profesional, berguru ke beberapa sensei akupunturis yang bersedia menerima murid,” kata Putu kepada Tirto, Kamis (30/8/2018) pekan lalu, di kediamannya di Jalan Balai Pustaka, Rawamangun, Jakarta Timur.
Pasien-pasiennya pun mengetahui jika Putu adalah mantan tahanan politik Orde Baru, dan dia tidak memikirkan itu.
“Itu bukan urusan saya, itu urusan si pasien. Kalau dia tidak mau berobat ke saya karena saya bekas tahanan, silakan,” katanya.
“Waktu itu aku baru pulang dari Jerman, terus ditahan, itu digebukin, disetrum lagi.”
Umumnya, para ibu-ibu menambah satu meja untuk praktik di puskesmas itu. Tapi penambahan meja itu tak disambut baik oleh rombongan kunjungan istri Mendagri. Akhirnya intelijen mendapat nama Putu sebagai orang yang mengajarkan akupresur.
Setelah diketahui sebagai eks tapol, ABRI (kini TNI) langsung menangkap Putu dan menutup kliniknya di Klender, Blok M, Petamburan dan Rawamangun.
Pada masa Orde Baru, Putu mengaku sering diperas aparat intelijen. “Ya mau gak mau, dikasih. Dia minta sekian, tapi aku gak punya duit, ya dicicil ngasihnya. Bayanginaja tuh,” katanya.
Ancaman demikian tak membuatnya luluh. Ia tetap bertahan dan membuka kliniknya hingga hari ini. Sejak 1978 sampai hari ini, Putu tidak pernah lalai memperpanjang izin praktiknya.
Di tempat praktik itu pula, Putu memajang hasil karyanya. Deretan karya tulis sepertiMerajut Harkat (1999), Di Atas Siang Di Bawah Malam (2004), dan Lies, Loss and Longing (2013), rapi dipajang di lemari kaca. Kadang ia menulis sembari menangani pasien.
Sampai saat ini, sudah lebih dari 20 karya tulis berupa cerpen, novel, puisi, dan naskah drama dihasilkan pria kelahiran Singaraja 29 Juli 1939 itu. Selain buku fiksi, ia juga menulis buku tentang kesehatan, akupuntur, dan obat-obatan herbal.
Your comment?