Cerdas Memahami Sejarah 1965

1187 Viewed Redaksi 0 respond
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Hasanudin Abdurakhman (Ilustrasi: Edi Wahyono)
Senin 25 September 2017, 11:16 WIB | Hasanudin Abdurakhman

Jakarta – Mungkingkah PKI bangkit lagi? Terhadap pertanyaan semacam itu kita bisa dengan sederhana menjawab, mungkin saja. Soalnya adalah, berapa besar kemungkinannya?

Masih adakah orang-orang yang berminat pada ideologi komunis? Tentunya masih. Saat masih menjadi mahasiswa 30 tahun yang lalu, saya menemukan anak-anak dengan ideologi “kiri”. Tapi ingat, itu 30 tahun yang lalu. Selama 30 tahun ini banyak hal yang terjadi. Hal utama adalah runtuhnya Uni Soviet, yang merupakan tempat eksperimen besar ideologi komunis di ruang nyata. Keruntuhan itu diikuti dengan bubarnya negara-negara komunis di Eropa Timur.

Kini yang tersisa dalam ruang nyata adalah Cina, yang komunismenya sudah babak belur dililit kapitalisme. Juga Korea Utara yang hidup dalam ruang terisolasi. 

Jadi, masihkah komunisme merupakan ancaman bagi kita? Mari kita tunda dulu jawaban atas pertanyaan itu. Kita evaluasi kembali situasi politik sebelum dan setelah 1965 itu.

Apa yang terjadi di Indonesia selama periode 1945-1965? Ini adalah masa ketika kita sedang belajar berjalan sebagai bangsa. Kita masih mencari bentuk, negara macam apa yang hendak didirikan. Masih banyak keinginan dari berbagai komponen bangsa yang harus dirembukkan antarmereka. Ada yang sanggup berembuk di meja perundingan. Tapi ada pula yang hanya bisa bicara dengan bahasa kekerasan.

Sepanjang periode itu kita melaksanakan pemilihan umum. Lalu terjadi perdebatan panjang soal rumusan konstitusi di Konstituante. Kabinet pelaksana pemerintahan eksekutif juga silih berganti.

Ada orang-orang yang ingin menyatukan dan membangun bangsa. Tapi tidak sedikit orang dengan ambisi berkuasa. Di antaranya ada yang tak segan memfitnah, mengadu domba, serta menumpahkan darah. Maka, ada golongan orang-orang yang tega mengajak orang angkat senjata untuk saling bunuh, atau membenturkan sesama anak bangsa di medan kekerasan.

Bagi saya, hal terakhir ini jauh lebih berbahaya ketimbang PKI atau ideologi komunis. Ingat, peristiwa berdarah tidak hanya Pemberontakan PKI tahun 1965 itu. Ada sejumlah peristiwa berdarah lain. Ingat juga, berdarah-darahnya bangsa ini tidak berhenti di tahun 1965, atau 1970. Di akhir dekade 1990-an kita menyaksikan anak-anak bangsa tewas berlumur darah, di Ambon, Sampit, Sambas, dan Poso. Adakah PKI terlibat di situ? Tidak.

Jadi, ada hal yang jauh lebih berbahaya daripada PKI yang sudah mati itu. Yaitu adanya sekelompok manusia dengan ambisi politik, dan mereka tega melakukan apa saja demi mencapai tujuan. Pada saat yang sama, adanya kelompok-kelompok masyarakat yang mudah dihasut dengan fitnah-fitnah, lalu bergerak melakukan kekerasan. Bagi saya, ini adalah bahaya laten yang harus terus-menerus diwaspadai.

Bahaya laten kedua adalah perpecahan dalam tubuh tentara. Kita harus jujur mengakui bahwa berbagai pemberontakan berdarah dalam sejarah kita dilakukan oleh tentara. Mulai dari DI/TII, PRRI/Permesta, PKI Madiun, hingga Peristiwa 1965, semua melibatkan tentara. Sederhananya, ada faksi-faksi dalam tubuh tentara. Orang-orang yang memegang senjata, berpecah belah, dan berperang antarsesama.

Apa masalahnya? Tentara ketika itu ikut berpolitik, berebut kekuasaan. Tak sedikit dari mereka yang lengah, melupakan tugas mempertahankan negara, sibuk berebut kekuasaan.

Salah satu amanat reformasi adalah membersihkan tentara dari kepentingan politik. Maka, kalau ada tentara yang hendak berpolitik, ia harus berhenti dulu dari dinas ketentaraan. Ini untuk memastikan institusi tentara kita tidak dibebani oleh kepentingan politik.

Bagi saya, ketimbang khawatir soal bangkitnya PKI, lebih penting bagi kita untuk memastikan tentara kita bersatu, dan bebas dari kepentingan politik. Kepentingan TNI hanya satu, yaitu menjaga keselamatan Bangsa Indonesia.

Jadi, sudah tidak perlukah mewaspadai ancaman bangkitnya PKI? Perlu. Tapi cukup pada batas yang wajar saja. Ada ancaman lain yang lebih nyata dan berbahaya untuk kita waspadai.

Hasanudin Abdurakhman, cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

Sumber: Detik.Com

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
Image : Bendera PKI Buatan FPI yang Disita Anshor (Sumber : Akun Twitter @EmillyLuwita46)

FPI Buat Bendera PKI, FPI Pula yang Bikin Rame

Ilustrasi: Edi Wahyono

Tragedi 1965 dan Potret-Potret Rekonsiliasi

Related posts
Your comment?
Leave a Reply