PERSEKUSI & TEROR DALAM JURNALISME SEBUAH TANTANGAN – Bedjo Untung *Kuliah Deutche Welle Akademie bersama Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)
PERSEKUSI & TEROR DALAM JURNALISME
SEBUAH TANTANGAN
Oleh: Bedjo Untung
Disampaikan dalam Kuliah
Deutche Welle Akademie bersama Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI)
Sabtu 28 – Minggu 29 Agustus 2021
Dengan Tema :
Jurnalisme dan Trauma
Strategi Berorientasi Solusi dan Peka Konflik bagi Jurnalis di Indonesia
Pengantar
Tidak seperti warga negara yang lain, Korban pelanggaran hak asasi manusia tragedi 1965 diperlakukan sangat berbeda, penuh diskriminasi dan stigmatisasi sehingga menimbulkan tauma berkepanjangan bagi para korban.
Bentuk diskriminasi antara lain: Di awal pembebasan massal (1976-1979) pada tiap kartu tanda penduduk dilabeli „ET“ yang artinya „Ex Tahanan“ dengan tanda ini, berarti sang pemilik KTP selalu dalam pengawasan aparat keamanan, ini menyulitkan untuk mendapatkan pekerjaan.
Mereka mantan Tapol tidak diperbolehkan menjadi guru, dalang, tenaga medis, tentara, polisi dan pegawai negeri. Bahkan, bila ada kedapatan anggota keluarga tapol yang akan menikah dengan anggota tentara atau polisi, maka sang tentara atau pun polisi akan dipecat.
Dan sang tapol mengurungkan niatnya untuk menikahi seorang anggota TNI.
Mantan Tapol juga dilarang meninggalkan tempat domisilinya tanpa ijin aparat keamanan: Babinsa/Lurah di tingkat desa, Koramil di tingkat Kecamatan, Kodim di tingkat Kabupaten dan Kodam di tingkat Provinsi. Begitu pula sesampai di tempat yang baru harus lapor ke pada aparat keamanan di segala tingkat dari desa sampai ke provinsi. Masih ditambah lagi, pada setiap kali ada acara tertentu yang oleh aparat keamanan perlu meningkatkan kewaspadaan, para mantan tapol wajib datang, dikumpulkan dan diceramahi dan diindoktrinasi. Tidak boleh diwakilkan. Terkadang sang aparat menginstruksikan dengan ancaman. Ini betul-betul teror yang menakutkan.
Padahal, pada setiap Surat Pembebasan Tapol yang ditandatangani Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah, Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban), mereka para tapol dinyatakan tidak terbukti keterlibatannya dalam apa yang disebut Gerakan Tiga Puluh September. Dengan kata lain, tapol yang semula dikerangkeng di balik jeruji besi di ruangan sempit kini berada kembali di lingkungan lebih luas namun dibatasi dan dalam pengawasan. Ini berlaku sampai hari ini.
Bukan itu saja, setiap kali para mantan tapol akan mengadakan pertemuan yang hanya akan membicarakan pemberdayaan ekonomi, usaha koperasi gotong-royong atau pun pelayanan medis/psikososial LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), maka pertemun harus dibubarkan. Apabila YPKP 65 akan mengadakan pertemuan di tingkat daerah atau pun nasional, sering kali diteror dan diancam akan diserbu oleh kelompok intoleran – yang sesungguhnya adalah atas restu dari pihak tentara.
Rentetan Persekusi dan Teror massa intoleran
Berikut ini adalah rentetan peristiwa persekusi yang dialami oleh YPKP 65 dan para relawan mantan tahanan politik:
- Rencana Temu Nasional YPKP 65 di Salatiga Jawa Tengah. Massa intoleran yang mengaku dari Sukoharjo, Solo, Temanggung dan sekitarnya mengancam akan menyerbu, wisma/gereja tempat pertemuan akan dibakar. (2015)
- Temu Nasional/Wisata Karya Nasional YPKP 65 di Cianjur Wisma Colibha diserbu massa intoleran. Massa mengancam, wisma akan dibakar bila pertemuan dilanjutkan. Akhirnya delegasi yang sudah sepuh dan datang dari berbagai kota di Jawa, Sumatera dan Kalimantan harus dievakuasi ke LBH Jakarta. (2016)
- Simposium Tragedi 1965 pendekatan Sejarah di Arya Duta Hotel Jakarta. Ketika itu delegasi YPKP 65 dipusatkan di suatu tempat penginapan dan dijaga ketat oleh aparat keamanan karena disinyalir akan diserbu kelompok intoleran (Tahun 2016). Delegasi YPKP 65 baru saja mengungsi ke LBH karena diserbu oleh massa intoleran yang sedianya akan menyelenggarakan Wisata Karya Nasional di Cianjur. (2016).
- Seminar Sejarah 1965 di LBH Jakarta. Diserbu oleh massa intoleran yang berujung pengerusakan gedung YLBHI. (Tahun 2017)
- Pertemuan YPKP 65 Daerah Sumatera Barat di Bukit tinggi yang dihadiri 200 massa korban 65, Ketua LPSK Semendawai, Advokat Nursyahbani Katjasungkana, Ferry dari Kontras, Komnas HAM (berhalangan), dan delegasi dari YPKP 65 Pusat Bedjo Untung dan kawan-kawan. Pertemuan ini juga diserbu ormas intoleran yang telah dirancang atas komando tentara. Delegasi YPKP 65 dari Pusat akhirnya dipaksa diusir keluar Sumatera Barat dengan ancaman. (2014).
Dan masih banyak lagi …………………….. (lihat link website terlampir)
Trauma Korban Tragedi 1965
Atas persekusi dan terror yang dialami para korban 65 menimbulkan trauma, ketakutan yang luar biasa di kalangan korban 65. Juga, pengalaman ketika mengalami penyiksaan dalam tahanan, disetroom listrik, kerja paksa selama 7- 14 tahun, dalam kondisi kurang makan, dan perlakuan keji para penguasa yang dimanifestasikan oleh para penjaga Peleton Pengawal. Padahal, mereka para tahanan politik belum diputuskan bersalah/tidak bersalah melalui proses pengadilan. Tapol umumnya tidak bersalah – dan ini terbukti dalam Surat Pembebasan dinyatakan tidak terlibat gerakan. Namun mereka sudah diperlakukan tidak adil dan keji selama bertahun-tahun dalam tahanan.
YPKP 65 memiliki pengalaman bagaimana menghilangkan trauma bagi para korban 65. Ternyata, para korban yang dihinggapi trauma berkepanjangan umumnya mereka yang “menutup diri”, mereka takut seolah-olah sekarang ini masih seperti di tahum 1965/66. Bahkan, ketika LPSK menawarkan pelayanan medis/psikososial atas mandat undang-undang Nomer 13/tahun 2006 dan revisi UU Nomer 31/tahun 2014, ada beberapa korban yang menolaknya, tidak percaya.
Karena itu YPKP 65 dengan sabar dan tekun menyelenggarakan program memotivasi para korban, menguatkan dan menyemangati dengan melakukan pertemuan para korban secara rutin untuk saling berbagi pengalaman ketika ditahan, disiksa dan lain-lain. Tentu saja, YPKP 65 Pusat berbagi informasi, perkembangan perjuangan para korban, pegiat hak asasi manusia, hubungannya dengan Komnas HAM, pertemuan dengan Dewan Pertimbangan Presiden, Menko Polhukam, dll.
Meskipun kecil, hasil maka diambil. Demikian motto perjuangan YPKP 65. Alhasil, pelayanan medis/psikososial LPSK dapat memberi penghiburan bagi korban.
Setiap kali YPKP 65 melakukan acara kunjungan ke berbagai kota, memotivasi para korban, diteruskan dengan melakukan wawancara lapangan, meneliti lokasi kuburan massal, tempat-tempat eksekusi Tapol pada 1965/1966. Sampai saat ini YPKP 65 telah menemukan lokasi Kuburan Massal sebanyak 356 titik Jumlah ini masih terus meningkat.
Gerakan Pengumpulan Kisah-Kisah Kesaksian Tragedi 1965
Saat ini YPKP 65 telah mengumumkan gerakan pengumpulan kisah-kisah kesaksian tragedy 1965, selagi usia masih ada. Kita berpacu dengan waktu karena para saksi, korban, penyintas sudah lanjut usia, kondisi kesehatan yang memprihatinkan dan hidup dalam kemiskinan karena tidak memiliki akses ekonomi yang adil akibat diskriminasi. Bahkan, sekarang sudah banyak yang meninggal dunia. Dokumentasi kisah dari para korban dan saksi maupun penyintas sangat penting untuk pengungkapan kebenaran. Dan, penulisan ini juga sebagai media untuk “remedy” penyembuhan atas trauma.
Satu hal yang menarik bagi YPKP 65, mereka bekerja atas dasar kesadaran, untuk membongkar kebohongan yang selama ini dikoar-koarkan oleh rejim jagal. Cabang-cabang YPKP 65 yang tersebar di berbagai kota di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan dengan senang hati memenuhi anjuran/instruksi dari YPKP 65 Pusat untuk mencatat nama-nama korban yang dibunuh, ditahan, dikenakan wajib lapor diri lengkap dengan organisasi apa yang diikuti pada 1965. Jadi, apa yang dilakukan sepenuhnya adalah dari korban.
Memorialisasi
YPKP 65 juga menyelenggarakan acara Memorialisasi, mengenang korban dengan melakukan upacara tabur bunga di atas makam/kuburan massal para Korban 65. Upacara terkadang melibatkan banyak korban yang juga ingin mengirim doa karena yang terkubur di kuburan massal, di hutan, bukit maupun pinggir pantai adalah orang-orang terhormat yang disegani pada tahun 1965. Ada lurah, bupati, tokoh masyarakat, tokoh buruh, tani yang umumnya adalah orang-orang yang kharismatik. Pada kesempatan memorialisasi biasanya diteruskan dengan testimony, para saksi yang mengetahui proses pembunuhan massal, yang pernah menggali lubang untuk menguburkan jenasah para tapol, angkat bicara. Terkadang disertai isak tangis karena yang terbunuh masih ada tali hubungan darah. Apa salah mereka sehingga dibunuh secara sadis.
Beberapa kota yang telah lakukan memorialisasi:
Tangerang di bekas Kamp Kerja Paksa Babakan, Cikokol Tangerang
Pemalang diikuti 200 massa korban, tabur bunga di Kuburan Massal Penggarit, Tepi Pantai Widuri, Makam di Ampel Gading dan Taman.
Pati Jawa tengah, di hutan Jeglong dan Hutan Pekainan. Peristiwa ini diabadikan oleh Film/Video maker RedFish Berlin Jerman.
YPKP 65 juga telah melakukan penelitian forensik, ekshumasi dengan melakukan penggalian Kuburan Massal di hutan Situkup Wonosobo (Tahun 2000). Ini untuk membuktikan bahwa temuan kuburan massal memang benar adanya. Berdasarkan kesaksian seorang narapidana yang menggali lubang untuk menguburkan jenasah tapol, ada 21 kerangka yang ditemukan. Dokter Forensik Pak Handoko dari Universitas Indonesia menyimpulkan kematian tapol ini akibat peluru yang mengenai tulang rusuk dan tengkorak.
Peran Media, Jurnalis ikut mengabarkan kebenaran
Pada kesempatan ini, saya sampaikan apresiasi, penghormatan yang sangat tinggi kepada para jurnalis yang telah ikut membantu menyiarkan berita kebenaran. Perlu kita ketahui, pada 1965/66 hanya ada dua surat kabar yang terbit yaitu Surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang tentu saja dengan leluasanya melakukan propaganda kebohongan. Seluruh berita dikontrol oleh tentara.
Berita penemuan kuburan massal oleh YPKP 65 di berbagai kota menarik keingin-tahuan para jurnalis baik di dalam maupun luar negeri. CNN, BBC, Al Jazeeria, VoA, Deutche Welle, Tempo, Kompas, Detik, Tribune News, dll., bahkan banyak Video/Film Maker juga tertarik untuk mengangkat ke layar lebar.
Bagi YPKP 65 dan korban 65 pada umumnya merasa terbantu karena informasi yang sesungguhnya , peristiwa kekejian orde baru Suharto yang telah menewaskan 500.000 – 3.000.000 jiwa orang-orang yang dituduh anggota Komunis dan pendukung Presiden Sukarno bisa sampai ke publik.
Karena itu, peran media, jurnalis sangat penting.
YPKP 65 mengajak, mengundang para jurnalis untuk terus melakukan peliputan hal kejahatan kemanusiaan tragedy 1965. Ini adalah holocaust Indonesia. Banyak kisah kekerasan, pelecehan seksual dan kekejian yang dialami para tapol 1965 dan para penyintas (survivor) belum terungkap.
Kami para korban akan bicara
karena dengan bicara dunia akan tahu
tragedy yang sesungguhnya.
Terima kasih,
Bedjo Untung
Ketua YPKP 65
http://ypkp1965.org/blog/2017/08/31/persekusi-marak-ypkp-minta-pemerintah-lindungi-korban-1965/
https://www.facebook.com/groups/225178074340988/permalink/1078556242336496/
https://en.tempo.co/read/689790/1965-massacre-seminar-
cancelled-after-intimidation
https://www.tribunnews.com/metropolitan/2016/04/15/ketua-ypkp-65-sangat-aneh-ormas
Bedjo Untung Bahan untuk DW Akademie 28 dan 29 Agustus 2021



Your comment?