Menelusuri Kuburan Massal Korban Tragedi 1965

3518 Viewed Redaksi 0 respond
MASS-GRAVES: Waduk Nglangon di Kradenan, Purwodadi, Grobogan. Keindahannya menyimpan beban dan hutang sejarah lantaran pernah digunakan militer orde baru untuk membunuh dan membuang mayat tapol dalam Tragedi paska Oktober 1965. Pembunuhan terbesar terjadi terutama pada tahun 1965-1969 {Foto: BU]
MASS-GRAVES: Waduk Nglangon di Kradenan, Purwodadi, Grobogan. Keindahannya menyimpan beban dan hutang sejarah lantaran pernah digunakan militer orde baru untuk membunuh dan membuang mayat tapol dalam Tragedi paska Oktober 1965. Pembunuhan terbesar terjadi terutama pada tahun 1965-1969 {Foto: BU]

Oleh: Bedjo Untung

Waduk  Nglangon Kradenan Purwodadi, Tempat  Eksekusi  Tapol  1965-1968

Purwodadi – Di saat umat Tionghoa merayakan Imlek pada Jum’at (16/02/2018), Tim Investigasi YPKP 65 yang terdiri dari Bedjo Untung, Sumardi (Banser) dan Kandar Sumarno melakukan perburuan kuburan massal di wilayah Kradenan, Purwodadi Grobogan.

Seorang saksi sejarah -sebut saja Karman- yang saat kejadian masih berusia 16 tahun, ia menyaksikan bagaimana puluhan bahkan ratusan tapol disiksa, disetrum sampai pingsan. Ia juga menyaksikan tentara sehabis melakukan penyetruman listrik kemudian memberi minum korbannya menggunakan air kendi dengan cara setengah menyiramnya.

“Dengan cara mengintip dari balik celah pintu, saya menyaksikan semua itu”, terang Karman berkisah sambil menunjuk rumah di depannya.

“Itu rumah dulunya (pada 1968_Red) dijadikan markas tentara”.

“Satu kompi tentara bersenjata lengkap layaknya perang, siap tempur”, terangnya mengenang.

MARKAS: Sebuah rumah yang pada masa terdahulu pernah digunakan sebagai markas tentara dalam apa yang disebut "Pembasmian PKI" di Purwodadi {Foto: BU]

MARKAS: Sebuah rumah yang pada masa terdahulu pernah digunakan sebagai markas tentara dalam apa yang disebut “Pembasmian PKI” di Purwodadi {Foto: BU]

Tentara di desanya adalah satuan Batalion 430 yang didatangkan dari Blora. Tiap hari puluhan truk menderu-deru mengangkut orang-orang tangkapan yang ditengarai sebagai pengikut Bung Karno ataupun yang dituding orang komunis, kemudian dieksekusi di tengah hutan yang terpisah dari hunian namun tak jauh dari Waduk Nglangon di Kradenan.

“Tiap pagi saya melihat tentara sedang menggosok-gosok lop lubang bedil”, demikian kata lelaki perokok berat kini.

“Mobil yang dipakai mengangkut tahanan adalah truk milik pengusaha Tionghoa di Purwodadi, pada bak bertuliskan Moro Dadi hilir mudik tiap kali”.

“Dan tentu saja, truk ini adalah dipaksa maunya tentara untuk mengangkut para tapol tangkapannya”, kenang Karman sambil kembali menyulut kreteknya.

Pada suatu hari Karman dimintai tolong oleh seorang tentara untuk mengantarnya ke hutan. Diboncengnya serdadu itu dengan menaiki sepeda onthel. Sesampai di tengah hutan dekat waduk Nglangon, sang tentara itu menunjukkan sebuah lokasi.

“Di sinilah para tahanan dieksekusi dan dikubur. Itu yang ada gundukan, dan sebagai tanda ditanami pohon pisang”, kata serdadu waktu itu, Karman menirukan kata-kata yang diingatnya.

 

SAKSI SEJARAH: Seorang saksi tengah menunjukkan lokasi pembantaian dan kuburan massal tak jauh dari Wadul Nglangon di Kradenan, Grobogan [Foto: BU]

SAKSI SEJARAH: Seorang saksi tengah menunjukkan lokasi pembantaian dan kuburan massal tak jauh dari Wadul Nglangon di Kradenan, Grobogan [Foto: BU]

 

Desa Pakis, Kradenan: Ladang Pembantaian Massal

Penelitian berikutnya, tim investigasi mengarah ke Waduk Butak di desa Pakis, Kradenan. Waduk ini dibangun sejak jaman Belanda pada tahun 1901 dan memiliki volume daya tampung air 1,60 juta meter kubik.

Dari tepian waduk ini tim berjalan kaki menyusuri jalan tanah sejauh 500 meter. Dan mendapati sebuah tempat pemakaman umum (TPU) desa Pakis. Orang menyebutnya Kuburan Beku.

Penelusuran melewati kuburan dan di pinggir kuburan ujung sebelah selatan terdapat lahan seluas 400 meter persegi yang ditanami pohon  Kemuning. Pohon yang bila tiba musim bunga memancarkan wangi semerbak, terutama di malam hari. Nampaknya tanaman pohon ini dimaksudkan sebagai memorialisasi bagi keluarga yang meyakini tempat ini adalah tempat eksekusi tapol pada tahun antara 1965-1968.

Lokasi eksekusi biasanya memang dipilih di tengah hutan atau yang berdekatan dengan pemakaman umum karena sekaligus digunakan sebagai tempat mengubur mayat para tapol. Lagi kuburan itu letaknya jauh dari pemukiman penduduk, sepi dan menyeramkan. Nah, di desa Pakis inilah para tapol dieksekusi dan dikuburkan.

Menurut penuturan saksi mata diperkirakan ada 75 orang yang dibunuh di sisi Kuburan Beku desa Pakis ini.

 

DOA: Duka  dan kepedihan yang mendalam kepada para Korban tragedy 1965 yang dieksekusi tanpa proses hukum  di tempat ini.  Semoga arwahnya memperoleh ketenangan dan damai abadi di alam baka. [Foto: BU]

DOA: Duka dan kepedihan yang mendalam kepada para Korban tragedy 1965 yang dieksekusi tanpa proses hukum di tempat ini. Semoga arwahnya memperoleh ketenangan dan damai abadi di alam baka. [Foto: BU]

 

Di Sendang Tapak Ngrimpi

Seorang Tapol Ditimbun Batu dalam Keadaan Hidup

 Tim Peneliti YPKP 65 untuk investigasi Kuburan Massal Korban Trgaedi 65 melanjutkan perburuannya. Kali ini ke dukuh Ngrimpi di wilayah Desa Plosorejo, Purwodadi Grobogan. Di daerah yang tergolong jauh dari keramaian penduduk, dengan kondisi jalan yang berkelok-kelok akhirnya sampailah di ujung jalan beraspal. Di situ ada tempat pemakaman umum Desa Ngrimpi. Masih harus berjalan kaki ke luar melewati areal pemakaman.

 

SENDANG TAPAK: Sendang Tapak yang dipugar dengan cara dibeton [Foto: BU]

SENDANG TAPAK: Sendang Tapak yang dipugar dengan cara dibeton [Foto: BU]

Pohon Munggur besar berdiameter hampir 2 meter berdiri di sana. Di dekatnya ada sendang atau kolam yang airnya tak kunjung kering meski di musim kemarau panjang. Kini sendang telah dipugar dan dibuat beton mirip sumur yang bundar. Di dekat sendang ini juga ada batu besar yang mirip tapak (telapak) karena itu sendang ini disebut Sendang Tapak.

Di tempat inilah tapol korban tragedi 1965 dibunuh. Apabila mengingat cerita-cerita bagaimana cara pembunuhan di tempat ini, sungguh mengerikan. Tak jauh dari sendang, di dekat pohon Munggur raksasa tadi, seorang tahanan dari warga keturunan Tionghoa dipaksa harus dikubur hidup-hidup karena dibunuh dengan segala cara, tidak mati juga. Akhirnya tubuh yang masih bernyawa itu harus dikubur dengan cara menindihi dengan batu-batu besar yang ditimpakan kepada sang korban.

Menurut kesaksian yang dihimpun tim, diperkirakan jumlah Korban di tempat ini berkisar antara 200-300 orang. Tempatnya kira-kira 100 meter dari lokasi ini. Pada tahun 1965 daerah ini merupakan hutan jati yang lebat dan menyeramkan.

Istirahatlah dengan tenang dan damai para korban Tragedi 1965 yang dieksekusi di tempat ini.  Engkau adalah korban kejahatan kemanusiaan  oleh  rejim diktator yang haus kekuasaan. [Foto: BU]

Istirahatlah dengan tenang dan damai para korban Tragedi 1965 yang dieksekusi di tempat ini. Engkau adalah korban kejahatan kemanusiaan oleh rejim diktator yang haus kekuasaan. [Foto: BU]

SMK At-Thoat di Desa Ngemplak

Tempat Pembuangan Mayat Tapol 1965

 Masih di Hari Imlek (16/02/2018). Cuaca cerah sepanjang hari ini dan hangat padahal sejak seminggu sebelumnya setiap hari dirundung hujan lebat dan cuaca dingin disertai hembusan anginurah hujan pekan ini menyebabkan beberapa kota di Pantura Jawa dan berbagai tempat lainnya mengalami petaka banjir. Banjir juga melanda Jakarta, namun tidak di Purwodadi Grobogan.

Tim peneliti YPKP 65 untuk perburuan kuburan massal terus melanjutkan pelacakannya. Dari pusat kota kecamatan Toroh arah ke selatan jalan  raya jurusan Purwodadi – Solo tidak jauh dari Kantor Kecamatan Toroh di sisi sebelah kiri jalan kita dapatkan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) At Thoat di desa Ngemplak. Pada 1965, di tempat  ini belum dibangun gedung sekolah. Lokasi tanahnya miring dan di bagian belakang bangunan sekolah itu terdapat jurang cukup terjal. Di situlah dijadikan tempat untuk mengeksekusi tapol yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia.

Saksi mata menyebutkan tidak kurang dari 100-150 orang dibunuh di lokasi ini. Umumnya tapol yang dibuang di tempat ini adalah yang mengalami penyiksaan di berbagai kamp penahanan di Purwodadi, di Polres Toroh, Kodim Purwodadi maupun yang disekap di Gedung Seng di pinggir kali Lusi serta di bekas gedung Baperki di kota Purwodadi yang kemudian disulap menjadi kamp penyiksaan.

 

Pinggir Kali Mojo Legi Kecamatan Toroh

Tempat Pembuangan Mayat

 Sesudah melewati SMK At-Thoat tempat pembuangan jenasah korban tragedi 1965, tim peneliti YPKP 65 untuk pelacakan Kuburan Massal kemudian bergerak ke arah selatan. Kira-kira 2 kilometer mengambil belokan ke kiri menuju sebuah desa Mojolegi, desa yang masuk wilayah Kecamatan Toroh.

Pada 1965 daerah ini ditumbuhi hutan jati yang lebat. Rumah masih jarang. Kira-kira 1 kilometer dari jalan raya Purwodadi – Solo kita dapati jembatan kecil di mana di bawahnya mengalir sungai. Di tempat inilah banyak mayat tapol 1965 dibuang. Di tempat ini juga dijadikan sebagai tempat eksekusi. Saksi menuturkan tidak kurang dari 125 korban dieksekusi dan dibuang di tempat ini. Untuk mengenang arwah para korban, tidak lupa para peneliti mengheningkan cipta dan memanjatkan doa. Semoga arwah  Korban 65 mendapat tempat yang layak di alam baka. Mereka para Korban tidak bersalah, gugur sebagai pejuang kemanusiaan.

 

 

Hutan Sanggrahan, Bukit Gundih, Kecamatan Toroh
Tempat Eksekusi Tapol 1965

Masih melanjutkan pelacakan lokasi pembunuhan massal tapol 1965 di wilayah Purwodadi. Dan ini adalah sesi terakhir sepanjang Hari Imlek 16 Februari 2018 yang cerah. Salah seorang anggota tim berkelakar, ini adalah berkah mantan tapol 65, sepanjang hari tidak diguyur hujan -padahal sepekan sebelumnya nyaris hujan tiada henti- sehingga penelitian bisa berjalan tanpa hambatan.

Setelah selesai melacak tempat eksekusi di Mojolegi, tim kemudian bergerak ke arah selatan melalui jalur jalan raya Purwodadi – Solo. Kira-kira 3 kilometer kemudian kami berhenti di sebuah bukit. Orang menyebutnya Hutan Sanggrahan wilayah Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Gundih, Purwodadi, Grobogan. Kami harus berjalan kaki sepanjang 600 meter, jalannya mendaki, jalan setapak yang menguras tenaga.

Banyak orang kampung yang mengendarai sepeda motor bersusah payah menerobos jalanan berupa tanah liat, serta berlubang bekas genangan air hujan. Di seberang bukit itu memang ada desa tempat bermukim penduduk.

Pada tahun 1965 – 1968 bukit ini merupakan hutan jati yang lebat, gelap dan menyeramkan bila melalui tempat ini. Hampir tidak ada orang yang berani melalui hutan ini. Namun, kini bukit berubah menjadi gundul hanya ditanami pohon kayu putih yang masih muda. Dari kejauhan nampak bukit indah dan jalan raya Purwodadi – Solo berkelok-kelok meliuk mengelilingi bukit sekitar Hutan Sanggrahan.

 

SANGGRAHAN: Hutan Sanggrahan di perukitan Gundih yang kini gundul [Foto: BU]

SANGGRAHAN: Hutan Sanggrahan di perukitan Gundih yang kini gundul [Foto: BU]

Tidak menyangka, bahwa di tempat ini pada 1965-1968 dijadikan ladang pembantian dan pembuangan mayat para tapol yang dituduh sebagai pengikut PKI dan pendukung Bung Karno. Jumlahnya fantastis mencapai 400 orang. Tipografi bukit naik turun, di sela-sela bukit ini ada sungai dan jurang yang curam, sehingga memudahkan para algojo membuang mayat serta menguburkan dengan cara membuangnya begitu saja.

Seorang saksi menuturkan, cara pembunuhannya bermacam-macam ada yang ditembak dengan senapan laras panjang oleh tentara, ada pula yang dengan menggunakan kelewang atau pun golok yang terhunus tajam, serta ada pula yang dengan memukul dengan batangan besi. Ini biasanya dilakukan oleh algojo orang kampung setempat yang direkrut sebagai pembunuh bayaran.

Selanjutnya saksi menceritakan, pada suatu malam karena banyaknya tapol yang harus dibantai, ini menguras tenaga bagi sang algojo sehingga sabetan kelewangnya tidak sempurna menghabisi korban.

“Saya masih hidup” demikian teriak sang korban.

Kemudian sang algojo melihatnya ke lubang celah bukit tersebut, dan menjejakkan kakinya dengan harapan sang korban terjungkal ke dasar jurang. Namun malang bagi sang algojo. Sang Korban masih memiliki tenaga untuk berlawan, dipegangnya erat-erat kaki sang algojo, ditariknya sehingga kedua-duanya terjungkal ke dasar jurang. Seorang tentara yang melihat kejadian tersebut tidak mau ambil resiko, diberondongkan peluru bedilnya dari atas jurang dan kedua orang tersebut -seorang algojo dan tapol- mati bersama seketika.

Dari perburuan lokasi kuburan massal terakhir ini, tercatat di wilayah Purwodadi – Grobogan mencapai 19 titik. Jumlah yang sangat fantastis. Tidak mustahil  jumlah korban memang bisa mencapai 20.000 orang.

YPKP 65 mencatat jumlah seluruh Kuburan Massal yang pada 2016 telah dilaporkan ke Komnas HAM dan Menko Polhukam hanya 122 titik. Kini  dalam kurun waktu 16 bulan saja sudah bertambah menjadi 206 titik. Jumlah ini masih terus akan bertambah karena penelitian masih terus berlanjut.  Usaha pendokumentasian dan pencatatan kuburan massal ini adalah upaya untuk pencarian fakta dan bukti untuk pengungkapan kebenaran atas terjadinya kejahatan kemanusiaan, tragedi genosida selama 1965 dan tahun-tahun sesudahnya. [bju]

***

Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
genocide_sekitarkita1

Delapan Tahapan Genosida

Sumardi, aktivis Banser GP Ansor Purwodadi [Foto: BU]

Kesaksian Banser Sumardi: “Tapol 65 Diperas”

Related posts
Your comment?
Leave a Reply