Lampung Timur: Temuan 8 Lokasi Kuburan Massal Korban Tragedi 65 [1]
Meski matahari telah condong ke barat namun panasnya masih terasa saat menapaki koridor yang menghubungkan lambung kanan kapal ferry begitu sandar di dermaga pelabuhan Bakauheni siang itu. Diantara kami yang bertolak dari pelabuhan Merak 2,5 jam lalu, ada seorang doktor yang sengaja ambil cuti mata kuliahnya hanya untuk bisa mengikuti perjalanan investigasi ke Lampung Timur yang lama telah dinantinya.
Lampung Timur adalah tujuan misi pemetaan kuburan massal korban tragedi kemanusiaan 1965-66 kali ini (14/09). Daerah ini merupakan salah satu dari 15 kabupaten dan 2 kotamadia di provinsi Lampung, yang untuk kali kedua diinvestigasi guna memetakan kembali jejak kuburan massal korban Tragedi ’65; sebuah tragedi kemanusiaan yang tak terhitung dan terukur lagi jumlah dan sebaran jatuhnya korban yang dibantai. Pembunuhan massal manusia yang dilakukan meluas di luar putusan pengadilan dan prosedur hukum adalah salah satu jejak kejahatan kemanusiaan itu.
Lebih dari 2 jam tempo perjalanan yang dibutuhkan untuk mencapai pos pertama di Rajabasa Lama. Dari dermaga pelabuhan Bakauheni kami lanjutkan perjalanan darat 109 kilometer menyusuri Jalur Lintas Timur Sumatra. Di beberapa tempat di tepi ruas jalan trans-nasional ini didapati banyak bangunan pura berdamai sebelahan dengan bangunan mushola atau masjid.
Rajabasa Lama
Desa Rajabasa Lama merupakan salah satu desa di wilayah Labuhan Ratu, Lampung Timur; berada pada koordinat 05° 06′ 336″ LS dan 105° 39′ 439″ BT. Desa yang terlewati Jalan Lintas Timur Sumatra ini, terdiri dari 10 dusun: Dusun I Subing Jaya, Dusun II Subing Putra 2, Dusun III Sinar Dewa Timur, Dusun IV Setia Batin, Dusun V Sinar Dewa Barat, Dusun VI Mega Sakti, Dusun VII Subing Puspa Barat, Dusun VIII Subing Puspa Timur, Dusun IX Mega Kencana, dan Dusun X Subing Putra 3.[1]
Desa Raja Basa Lama, saat ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 12.200 orang dengan jumlah 3.050 KK, yang tersebar di 10 dusun.
Sesampai pasar Tri Dhatu di Simpang Way Kambas, tim mengambil arah berlawanan dengan jalan menuju Way Kambas yang dikenal dengan kawasan hutan lindung Taman Nasional Way Kambas dan “sekolah gajah” dimana akses jalannya telah beraspal. Saat rembang tiba, baru lah tim investigasi YPKP 65 yang terdiri dari 3 orang[2] tiba di pos pertama. Beberapa survivor setempat ternyata telah menunggu di sana, jadilah kami membuat tim kecil yang akan bergerak keesokan harinya.
Tim memulai membincang berbagai hal dalam suasana santai karena memang perjalanan dari Jakarta sepanjang hari cukup melelahkan dan memakan waktu tak kurang dari 10 jam. Diketahui bahwa tak jauh dari pos pertama ini dapat dijangkau sebuah desa dimana kasus kejahatan HAM lainnya pernah terjadi pada 7 Februari 1989; Tragedi Talangsari!
Namun rupanya nama “talangsari” ini lambat laun bakal dilupakan karena lokasi yang masih dalam wilayah Rajabasa Lama (masa itu kecamatan ada di Way Jepara_Red) itu pun telah berganti nama.
Kuburan massal korban tragedi 65 di Rajabasa Lama
Informasi tentang keberadaan lokasi kuburan massal korban Tragedi 65 ini memang telah lebih dulu masuk catatan YPKP 65 sebelumnya. Warga sekitar mengetahui lokasi kuburan massal ini, karena memang letaknya tak berjauhan dengan pemukiman penduduk.Berbeda dengan provinsi lain di Sumatera Utara misalnya, dimana para korban Tragedi 65 banyak dibunuh dan dibuang ke sungai-sungai yang ada; di sekitaran Lampung pembuangan mayat ke sungai tak terjadi. Fenomena ini banyak dituturkan Dipa[3]melalui diskusi informal sebelum tim investigasi bergerak pada pagi berikutnya. Menurutnya, masyarakat Sumatera Selatan, khususnya Lampung, lebih menghormati keberadaan sungai ketimbang rata-rata masyarakat di daerah lainnya.
“Sebelum wilayah berkembang seperti sekarang ini, masyarakat pada awalnya memilih daerah aliran sungai sebagai tempat bermukim”, demikian tinjauannya.
Namun begitu, masih dalam konteks melacak keberadaan kuburan massal korban Tragedi 65, di Palembang didapati ada 2 lokasi; yakni di Sungai Musi dan Pulau Kemarau. Tetapi jika ditelusuri lebih mendalam, pihak yang menentukan titik lokasi untuk dijadikan kuburan massal ini memang bukan warga masyarakat, melainkan otoritas militer pada masa awal berdirinya rejim Orba.
Mengenai kuburan massal di Desa Rajabasa Lama sendiri, sebagaimana banyak dituturkan langsung oleh para korban dan penyintas Tragedi 65 yang mengalami, menyaksikan dan mengetahuinya; lokasinya tak berada di sungai melainkan di dataran kering.
Menurut Slamet, 73 th, salah satu korban Tragedi 65 yang pernah jadi buron selama 3 tahun sebelum ditangkap pada tahun 1968 dan dijebloskan ke penjara “lembaga” [LP_Red] Orba di Metro Lampung selama 4 tahun tanpa diadili; keberadaan kuburan massal di kampungnya adalah nyata. Sejak akhir era 90-an, eks Tapol yang dibebaskan pada 1972 ini banyak melakukan penelusuran dengan bantuan para kolega dan korban Tragedi 65 lainnya.
Hasil penelusurannya dirangkum berdasarkan pengalaman nyata para penyintas Tragedi 65, kesaksian sebagaian pelaku penangkapan dan pembunuhan orang-orang di wilayahnya, didapati keterangan bahwa jumlah korban di lokasi Rajabasa Lama diperkirakan mencapai 2.000 orang. Estimasi jumlah korban ini memang perlu diteliti lebih jauh, bukan untuk maksud mengorek luka lama;
“Masih banyak lokasi kuburan massal lain di Lampung Timur ini”, Slamet menyatakan. “Banyak keluarga korban juga tak mengetahui keberadaan orang-orang yang dibunuhi dan hilang pada masa lalu”, sambungnya.
Dari pendataan di seluruh Lampung Timur terdapat tak kurang dari 8 lokasi kuburan massal orang-orang yang dibantai pada tahun antara 1965-1968. Sebarannya ada di wilayah Labuhan Ratu, Raman Utara, Hutan Maringgai dan wilayah perbatasan dengan Lampung Tengah [hum]
_______
Your comment?