Sisi Lain “Perempuan yang Tertuduh”: Para ‘Srikandi’ yang Dimarjinalkan Orba

1727 Viewed Redaksi 0 respond
Ilustrasi diadakannya nonton bareng Perempuan yang Tertuduh. Foto: Hanan/Asumsi.co
Ilustrasi diadakannya nonton bareng Perempuan yang Tertuduh. Foto: Hanan/Asumsi.co
Fariz Fardianto | September 29th, 2018

Malam mulai larut. Detak jarum jam menunjukan pukul 20:00 WIB. Di lantai dua gedung Auditorium UIN Walisongo, Semarang, puluhan pasang mata tak berkedip saat menyaksikan film dokumenter berjudul ‘Perempuan yang Tertuduh’. Film itu diputar pada Kamis 27 September 2018 atau tiga hari menjelang peringatan tragedi G30S. Di dalamnya memutar kisah-kisah ibu-ibu berusia lanjut yang dituding terlibat tragedi gerakan 30 September (G30S) pada 1965 silam.

Selama 34 menit lebih 44 detik, satu persatu wajah yang mengeriput itu tampil percaya diri untuk mengisahkan ulang apa yang dialaminya saat G30S meletus. Christine Sumiyati mula-mula yang tampil dihadapan sorot kamera. Lalu berlanjut ke rekan-rekan senasib lainnya. Setidaknya ada enam nama yang bercerita bergantian. Dikisahkan dalam film, mereka sejatinya bukanlah anggota Gerwani.

Ibu Sumiyati misalnya, ia hanyalah aktivis ikatan pelajar Indonesia. Pun demikian dengan Ibu Utari dan Ibu Tarti. Dimana keduanya hanya istri dari tokoh organ Partai Komunis Indonesia (PKI), parpol terbesar keempat era pemerintahan Presiden Soekarno.

Kian lama film itu diputar, bukannya berangsur surut. Justru banyak mahasiswa UIN yang berdatangan. Ada laki-laki. Ada perempuan. Mereka berbaur dan tak bergeming untuk menonton film “Perempuan yang Tertuduh” sampai tuntas.

“Baru pertama kali nonton film yang beginian. Rasanya penasaran saat tahu pamflet undangannya. Pas kemari, jadi banyak tahu keadaan tahun 65 sangat berbeda dengan buku sejarah yang ada selama ini,” kata seorang perempuan berjaket HMI, saat membuka obrolan dengan Asumsi.co.

Pemutaran film yang diinisiasi oleh PMII dan HMI menjadi magnet bagi mahasiswa UIN untuk mengulik lebih mendalam mengenai G30S, Gerwani maupun eks tapol. Umi, seorang penonton nyeletuk bahwa film tersebut sangat menarik baginya.

“Ternyata walau pernah menerima siksaan dari tentara, mereka masih kuat tegar dan tabah sampai sekarang. Terus terang saya menghormati ibu-ibu yang seperti itu,” ujar Umi.

 

Banyak Korban Disiksa dan Dibunuh

Di sela pemutaran film ini, terdapat dua pemantik dialog. Ada Yunantyo Adi Setyawan dari Komunitas Pegiat Sejarah Semarang dan Mutiara Ika Pratiwi, aktivis Komite Perempuan Nasional Mahardika. Yunantyo berpendapat bila banyak aktivis perempuan yang bergiat selama kurun waktu 1960-1965 dituduh oleh tentara terlibat dalam G30S. Tuduhannya beragam. Mulai makar. Ikut mendukung aksi pembunuhan terhadap para jenderal sampai disangka ikut menyiksa.

Efek dari semua itu, menurutnya, banyak kasus pelecehan seksual yang dialami para perempuan. Tak jarang mereka disiksa oleh serdadu-serdadu saat rezim Orde Baru dengan tuduhan sebagai anggota Gerwani.

“Dan pola pembantaiannya baru bisa diungkap belakangan ini. Jika dulu banyak fakta yang ditutupi. Kini semuanya terkuak dan masyarakat bisa memahaminya,” katanya.

Rezim Orba pimpinan Soeharto yang berhasil menggulingkan Soekarno memelintir fakta seputar lubang buaya. “Faktanya tidak ada Gerwani di sana. Gerwani kan tempat latihannya di Cipete Jakarta. Itu pun mereka rutinitasnya berlatih untuk persiapan momentum Dwikora,” cetusnya.

Kegiatan Gewani dan Pemuda Rakyat di Cipete juga telah terprogram untuk mempersiapkan diri ikut begabung dalam acara 1 Oktober.

“Tapi ketika peristiwa 30 September meletus. Semua niat itu buyar,”.

Ia mengatakan bila ketika kejadian di lubang buaya, ada beberapa istri petinggi Pemuda Rakyat dan pasukan Cakrabirawa yang hanya disuruh memasak di gubuk dekat lokasi tersebut. Tujuannya untuk menyiapkan makanan bagi rombongan Cakrabirawa yang sedianya datang dari Jabar, Jateng dan daerah lainnya.

 

Tidak Ada Tarian Gugur Bunga

Ia menegaskan dari banyak ungkap kasus selama ini, peran Gerwani tak ada sangkut pautnya dengan G30S. Anggota Gerwani cuma ibu rumah tangga biasa yang punya kegiatan ekstra mengentaskan buta huruf dan sejenisnya.

“Tidak ada sama sekali tarian gugur bunga. Yang ada malah wanita yang ditangkapi oleh tentara banyak disiksa dan disuruh menari-nari, lalu difoto dan disebarluaskan di koran-koran,” bebernya.

Ia yang sejak lama mempelajari kasus penyiksaan korban G30S mencium adanya kekejaman yang dilakukan rezim Soeharto. Ia mempertanyakan mengapa simbol-simbol gender yang dipilih untuk menggambarkan kebiadaban terhadap pembunuhan jenderal TNI AD.

“Yang patut dicurigai kenapa yang jadi sasaran Gerwani. Padahal kan masih ada istri pasukan Cakra dan lainnya. Ada apa ini,” ujar Yunantyo.

“Sampai-sampai di Kota Pare ada kejadian biadab. Ada anggota Gerwani sedang hamil tua dan suaminya kebetulan menjemputnya di jalan. Hanya gara-gara para pemuda lokal terpengaruh berita bohong yang disebar oleh Orba, Gerwani ini dicegat. Suaminya dihajar. Istrinya disiksa hingga perutnya dibelah jabang bayinya dikeluarkan,” katanya sembari mengisahkan tragedi pasca-G30S.

Ia menganggap ini dampak sebuah gender yang dimanipulasi sehingga mengakibatkan korbannya dibunuh dengan keji.

 

Adalah Film Kebohongan Sepanjang Sejarah Indonesia

Karenanya ia menyebut apa yang ditayangkan dalam film G30S yang kerap diputar saat Soeharto berkuasa, merupakan kebohongan besar.

“Film G30S itu film hoaks terbesar dalam sejarah Indonesia. Ironisnya kejadian yang dimanipulasi malah diabadikan dalam monumen lubang buaya,” paparnya.

Ia menyayangkan tragedi G30S telah mengubur impian para aktivis perempuan Indonesia yang disegani pada masanya. Anggota organ perempuan era Soekarno dikenal cerdas dan begitu berbakat.

“Maka kalian di era milenial mestinya nonton film versi lain dari film G30S,” cetusnya. Yunantyo juga mengecam ulah pemerintah yang kerap melarang pemutaran film diluar dokumenter G30S versi ABRI. Ia menambahkan, “Seharusnya masyarakat bebas menonton film lainnya. Kan sekarang fenomenanya diwajibkan menonton film itu-itu aja. Pas mau nonton lainnya malah dibubarkan”.

 

Kaum yang Termarjinalkan

Sedangkan, Mutiara Ika Pratiwi, aktivis Komite Perempuan Nasional Mahardika menilai apa yang dialami aktivis perempuan pasca-G30S menjadi bukti jika kaum hawa jadi makhluk yang selalu termarjinalkan. Ia bilang pemerintah mendiskreditkan Gerwani sebagai organ perempuan terbesar di Indonesia yang terlibat G30S.

“Dan sayangnya, literasi mengenai gerakan perempuan belum terlalu banyak dibuat di sini. Padahal tidak banyak orang tahu bahwa Gerwani jadi inspirasi banyak wanita dalam membangun organisasi perempuan,” ujar Ika.

Jauh sebelum Gerwani, rakyat Indonesia saat zaman kemerdekaan sudah familiar dengan organisasi Gerwis. Gerwis mahsyur karena anggotanya ikut memerdekakan Indonesia dan belenggu kolonialisme.

“Kemudian dibentuklah cabang-cabang di berbagai kota. Dari Surabaya, Yogyakarta dan Semarang sebagai basis PKI terkuat di Jawa,” kata Ika.

Sumber: Asumsi.Co
Don't miss the stories follow YPKP 1965 and let's be smart!
Loading...
0/5 - 0
You need login to vote.
komnas-ham

Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM Tentang Peristiwa 1965 – 1966

Go Gien Tjwan

Rest in Peace: Go Gien Tjwan…

Related posts
Your comment?
Leave a Reply