Menyaksikan jiwa-jiwa yang dibantai: Mengajarkan Tragedi 1965 melalui Sastra
Oleh: Yoseph Yapi Taum 1
ABSTRAK Pembelajaran rekonsiliasi mengenai tragedi 1965 dapat dilakukan melalui sastra. Tiga buah karya sastra berbentuk cerpen yang berlatar belakang Tragedi 1965 dan ditulis dalam kurun waktu yang berdekatan adalah ”Maut” karya Mohammad Sjoekoer (1969), ”Perempuan dan Anak-anaknya” karya Gerson Poyk (1966), dan ketiga ”Ancaman” karya H G Ugati (1969).
Tiga karya tersebut mengungkapkan 1) konflik-konflik batin yang dihadapi pengarang ketika menyaksikan kemarahan massa terhadap PKI; 2) sikap tegas atas nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan konteksnya yang sangat menekan dan mengerikan, masih terbatas sebagai ’penonton’ yang ’menyetujui’ pembantaian terhadap tokoh-tokoh komunis; dan 3) pandangan umum bahwa aktivis-aktivis PKI pantas dan wajar dibunuh tanpa melalui proses peradilan.
Pada saat ini, dalam kerangka rekonsiliasi dan pembelajaran akhlak bangsa, perlulah secara kritis kita menilai kembali tema pembantaian akibat Tragedi 1965. Pen-didik perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis-reflektif untuk didiskusikan secara lebih terbuka oleh anak-anak didiknya, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1) Bolehkah tokoh-tokoh PKI itu dibunuh begitu saja tanpa melalui proses pengadilan yang jujur?
2) Apakah pembantaian manusia menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah G30S yang belum tentu dilakukan oleh PKI?
3) Siapakah yang harus bertanggungjawab atas pembantaian itu? Bagaimana bentuk pertanggungjawaban itu? Sudahkah pelaku pembantaian itu diajukan ke pengadilan?
4) Bagaimana pandangan Anda jika Tragedi 1965 itu terulang lagi dalam sejarah Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan agar (1) peserta didik memiliki sikap yang jelas dan tegas tentang hak-hak asasi manusia; (2) kita tidak mengulangi kejahatan kema-nusiaan yang sama di kemudian hari; (3) pendidikan akhlak bangsa ini dapat berhasil membangun sebuah landasan kemanusiaan baru yang menghalalkan perbedaan; dan (4) agar sejarah dapat diluruskan.
KATA KUNCI pembelajaran sastra, rekonsiliasi , nilai moral
- Pengantar
Pendidikan akhlak bangsa (nation and character building) me-rupakan sebuah tugas dan tangung jawab yang tidak ringan dalam sebuah bangsa yang sangat heterogen seperti bangsa Indonesia. Bangsa ini telah melewati perjalanan sejarah yang tidak mudah. Harus diakui secara jujur bahwa pembantaian sesama anak bangsa hanya karena perbedaan ideologi, agama, suku, ras dan golongan telah menodai sejarah luhur bangsa ini. Jika kita tidak meng-anggapnya sebagai sesuatu yang serius, ancaman perpecahan me-rupakan tantangan yang nyata karena heterogenitas ideologi, agama, suku, ras, dan golongan di Indonesia merupakan sebuah fakta yang tidak bisa dielakkan. Perbedaan itu tidak bisa dihindari.
Pembakaran 1.247 buku pelajaran sejarah sekolah menengah pertama yang dilakukan Kepala Kejaksaan Negeri Bambang Bachtiar, Kepala Dinas Pendidikan Asep Roswanda dan Walikota Nurmahmudi Ismail tanggal 20 Juli 20072 menunjukkan bahwa kita masih menghadapi dua masalah yang sangat serius dalam hal kehidupan berbangsa. Pertama, gerakan reformasi belum mencapai ruang akademis, sehingga pendidikan masih menjadi ajang kontes-tasi politik kekuasaan yang antidemokrasi. Kedua, pendidikan akhlak bangsa menghadapi sebuah tantangan yang serius. Apabila ada pemikiran yang berbeda dengan pemikiran kita, kita memiliki hak untuk membumi-hanguskannya dengan cara apa pun. Kedua hal ini akan sangat membahayakan kehidupan berbangsa.
Penyitaan maupun pembakaran buku-buku sejarah ini juga terjadi di Bogor, Indramayu, Kendari, Kuningan, Kupang, Ponti-anak, Purwakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Dasar hukumnya, menurut para jaksa, adalah keputusan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pada Maret 2007 dimana Kejaksaan Agung melarang buku-buku itu, yang dibuat dengan dasar kurikulum pendidikan tahun 2004. Mereka dituduh tak mencantumkan kata “PKI” dalam menerangkan Gerakan 30 September 1965. Penelitian terhadap isi buku-buku sejarah itu dilakukan Kejaksaan Agung atas permintaan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo.
Pembakaran buku menunjukkan bahwa pelaku pembakaran tak dapat menerima perbedaan pandangan, sesuatu yang niscaya dalam alam demokrasi. Lebih dari itu, pembakaran buku juga me-rupakan bentuk teror, tindakan menakut-nakuti bagi orang yang hendak menulis buku, dalam perspektif yang berbeda dengan penguasa3.
Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan sebuah sarana yang sangat strategis sebagai media bagi pendidikan akhlak bangsa. Melalui karya sastra, kita dapat melihat kehidupan dari perspektif kemanusiaan.
Membaca karya sastra, kita menghadapi manusia-manusia yang memiliki cipta, karsa, dan rasa seperti halnya diri kita sendiri. Kita akan turut bergembira dengan keberhasilan dan keba-hagiaan tokoh-tokohnya dan sebaliknya kita akan turut berduka atas kegagalan dan kesedihan yang dirasakan tokoh-tokohnya.
Artikel ini akan membahas tiga buah cerpen yang berlatar belakang Tragedi 1965 dan ditulis dalam kurun waktu yang berde-katan dengan kejadian berdarah tersebut. Cerpen pertama berjudul ”Maut” karya Mohammad Sjoekoer (1969) dikemukakan untuk mencoba memberikan gambaran situasi pembantaian yang sesung-guhnya. Cerpen kedua ”Perempuan dan Anak-anaknya” karya Gerson Poyk (1966) dan ketiga ”Ancaman” karya H G Ugati (1969) akan dikaji untuk mengungkap konflik-konflik batin yang dihadapi pengarang menyaksikan ’lahar’ kemarahan massa terhadap PKI.
- Tragedi 1965 dan Pendidikan Kebencian Bangsa
Gerakan 30 September 1965 merupakan awal mula kisah pertumpahan darah yang paling kelam dalam sejarah bangsa Indo-nesia. Yang dimaksudkan dengan tragedi 1965 adalah sebuah trilogi yang meliputi: saat G30S, Pasca-G30S yaitu ketika terjadi pem-bantaian setengah jutaan jiwa, dan pembuangan ke Pulau Buru (1969-1979) (Adam, 2004; Taum, 2006).
Pembantaian para pengikut dan simpatisan yang terjadi di seluruh tanah air itu terjadi tanpa perlawanan yang berarti, baik dari pihak korban maupun dari berbagai institusi termasuk institusi keagamaan maupun institusi pembela HAM. Wacana dominan yang berkembang sejak peristiwa G30S adalah gambaran tentang kekejaman dan pengkhianatan bangsa yang dilakukan oleh PKI. Pembantaian terhadap PKI merupakan sebuah keharusan karena mereka sendiri telah merencanakan4 pembantaian terhadap tokoh-tokoh masyarakat non-PKI.
Selama era pemerintahan otoriter Orde Baru, pembantaian jutaan pengikut PKI tanpa proses pengadilan dipandang sebagai tindakan heroik Angkatan Darat berkolaborasi dengan kelompok-kelompok masyarakat setempat (Taum, 2006). Ideologi yang ingin (dan berhasil) dibangun dalam diri manusia Indonesia adalah bahwa orang-orang PKI itu ateis, jahat, dan pantas dibunuh. Jika tidak dibunuh, mereka akan membunuh dengan sadis seperti yang mereka lakukan terhadap para Jerderal di Lubang Buaya.
Ideologi kebencian semacam ini kemudian ditanamkan dalam memori kolektif manusia Indonesia dalam berbagai bentuk, seperti teks-teks historis (baik teks akademik maupun teks-teks populer), seremoni-seremoni peringatan (festival-festival, ritual-ritual, dan berbagai macam parade), pertunjukan bagi publik (museum-museum, monumen-monumen, dan berbagai konstruksi), karya-karya sastra dan arsitektur (Walton, 2001; Taum 2006).
- Menguji Ideologi Kebencian: Kajian Tiga Buah Cerpen
3.1 Menyaksikan Pembantaian: Cerpen ”Maut” karya Mohammad Sjoekoer
Cerpen ”Maut” pertama kali dimuat dalam Majalah Sastra Nomor 10/VII 1969. Tidak banyak diketahui tentang biodata pengarangnya. Hanya pada akhir cerpen itu diterangkan mengenai tempat dan tanggal penulisannya, yaitu Yogyakarta, Januari 1969. Cerpen ini mengisahkan tokoh ’aku’ yang menjadi saksi mata sebuah peristiwa yang ”sungguh dahsyat dan mengerikan”, yaitu ”pembunuhan manusia oleh tangan manusia, … sebuah pembunuhan sekaligus dalam jumlah yang begitu banyak” (hlm. 28).
Diceritakan bahwa pada suatu malam, sebuah truk membawa dua puluh orang ke sebuah hutan untuk dibantai. Delapan belas orang pembantai, termasuk ’aku’ merasa sangat ketakutan dan gentar menghadapi saat-saat maut menjemput nyawa para pesakitan itu.
Hanya satu orang yang tidak takut dan gelisah sedikit pun, yaitu Gumun.5 Malabar yang berperawakan gagah dan kekar pun tak mampu menyembunyikan perasaan gentarnya ketika dia mencoba membangkitkan semangat teman-temannya dengan berceramah panjang lebar untuk membantai pesakitannya dengan gagah berani. Malabar antara lain berkata:
–Aha! Ternyata kalian ini banci. Dan otak kalian tiba-tiba jadi tumpul mengahadapi saat yang seharusnya kita semua bersyukur, karena kita bukan termasuk mereka atau mereka telah gagal menguasai kita. Aneh! Betul-betul aneh jika kalian sadar juga, sekiranya mereka berhasil mengangkangi negara ini, pasti kita dan semua saja yang bukan mereka akan mengalami seperti yang akan mereka alami malam ini dan mungkin dengan cara yang lebih mengerikan lagi! (hlm. 27).
Malabar kembali mengingatkan teman-temannya agar jangan merasa kasihan pada orang-orang PKI ini karena mereka sesung-guhnya adalah ”binatang-binatang buas”.
–”Mereka sudah terlalu banyak berdosa, terlalu banyak melukai dan memusuhi siapa saja yang bukan mereka. Suatu ajaran telah mengubah mereka menjadi kawanan binatang buas yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Dan itu telah mereka lakukan di mana-mana. Tapi Tuhan benar-benar maha adil. Pada saatnya kebenaran dan keadilan akan bicara. Dan malam inilah sebagian dari bicaranya” (hlm. 27).
Ternyata ceramah Malabar, representasi pihak penguasa, untuk menyebarkan ideologi kebencian ternyata ”tidak menembus nurani saya sebagai manusia”. Perasaan takut, gentar, dan kasihan pada diri ’aku’ tak bisa dikalahkan dengan logika Malabar yang terlalu sederhana. Mengapa rasa kemanusiaan ’aku’ demikian tinggi? Be-ginilah permenungan ’aku’.
Betapapun mereka adalah manusia yang pernah dilahirkan dengan susah payah, dibesarkan dengan susah payah dan hidup dan berjuang dengan susah payah juga. Saya tak melihat kekejaman-kekejaman mereka. Saya hanya tahu mereka adalah manusia. Makhluk Tuhan yang terbaik.
Atas dasar itulah, perasaan ’aku’ amat tersiksa. Perasaan ’aku’ menjadi lebih tersiksa lagi ketika seorang kawannya mem-beritahukan bahwa di antara kedua puluh orang korban itu ada seorang teman sekolahnya di SD sekaligus teman mengajinya di Surau Kyai Kamdana, yang bernama Baidi. Perasaan ’aku’ semakin teriris ketika ’aku’ dan Tuhri menggiring seseorang bertubuh tinggi menuju lubang pembantaian.
”Kami tak berkata apa-apa lagi. Kami merasa kasihan melihat orang tua ini” (hlm. 28).
Proses pembantaian dikisahkan pengarang secara sangat dramatis. Perhatikan pelukisannya berikut ini.
Pada setiap lubang yang dalamnya kira-kira satu setengah meter itu kami jajarkan sepuluh orang dengan kaki yang terayun-ayun ke dalamnya. Sekelompok militer yang berbaju loreng dan dibantu dengan lima anggota polisi dari kota kecamatan kami, telah siap kira-kira dua belas langkah di sebelah selatan lubang.
–Siap! Teriak komandan dengan suara menentukan seraya mencabut pistolnya dan diacukan ke udara.
Sekarang saya betul menggigil. Angin terasa deras mengalir. Suasana maut kini benar-benar mengitari tanah bulak ini. Kami saling berpegangan tangan. Semuanya terasa panas dan menahan napas.
Ketika pembantaian itu berakhir dengan dua kali rentetan tembakan disaksikan teman-teman ’aku’ yang berdiri kaku seperti disihir, ’aku’ mengungkapkan pandangan dan penilaian terhadap tragedi itu sebagai berikut.
Saya jatuh terduduk di bawah pohon kelapa. Saya tergugu seperti tidak percaya apa yang baru saja saya lihat adalah suatu pembunuhan betul-betul, bukan sandiwara atau pertunjukan film.
Sementara yang lain-lain bergerombol-gerombol duduk dan merokok sambil menunggu barisan cangkul yang akan mengubur kedua puluh mayat itu, saya masih tercenung-cenung sendiri. Mereka yang dilahirkan dengan susah payah, dibesarkan dengan susah payah dan hidup dengan susah payah, akhirnya mati konyol dan dikubur seperti binatang, tanpa susah payah. O, manusia!
Membaca cerpen ini, kita diajak untuk ikut ‘menonton’ pem-bantaian itu. Apa yang terjadi dalam benak kita ketika diajak untuk menyaksikan peristiwa itu dari dekat? Pengarang menyampaikan sebuah gugatan yang sangat jelas, bahwa pembataian anak manusia oleh tangan manusia dalam Tragedi 1965 ini merupakan sebuah tindakan yang sesungguhnya tidak masuk akal dan kontradiktif. Pembataian anak manusia yang dilahirkan, dibesarkan, dan hidup dengan susah payah akhirnya mati konyol dan dikubur seperti binatang, tanpa susah payah.
Nilai moral yang ditawarkan dalam cerpen ini adalah penghargaan yang tinggi pada martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia. Jika kita memiliki penghargaan yang tinggi terhadap martabat manusia, maka tidak bisa dibenarkan ada-nya pembantaian manusia oleh tangan manusia. Apalagi kesalahan yang ‘disangkakan’ pada mereka masih kabur dan sangat tidak jelas.
Ideologi kebencian yang disampaikan Malabar –yang dalam cerpen ini menjadi representasi pihak penguasa— ternyata tidak se-penuhnya diterima, dipahami, dan dijalankan semua orang. Paling tidak, sastrawan ini berpihak pada kemanusiaan.
3.2 Cerpen ”Perempuan dan Anak-anaknya” karya Gerson Poyk
Cerpen ”Perempuan dan Anak-anaknya” karya Gerson Poyk pertama kali diterbitkan dalam Majalah Horison Nomor 5 Tahun I, November 1966. Cerpen ini mengisahkan upaya ’A’ memperjuang-kan nasib Hadijah, seorang ibu beranak lima, janda ’K’, tokoh PKI di daerahnya. Semasa hidupnya, ’K’ adalah musuh ’A’ yang pernah memfitnah dirinya dan mengakibatkan ’A’ masuk penjara. Ketika berada dalam penjara, putranya meninggal dunia.
’A’ yang pernah dizalimi ’K’ datang ke sebuah kota kecil untuk menebus barang-barang gadaian. Dalam kunjungannya ini, secara kebetulan dia ikut menyaksikan tewasnya ’K’, musuh uta-manya yang pernah menyengsarakan hidupnya dan keluarganya. Keesokan harinya, dia mendatangi Hadijah, istri ’K’, yang dulunya merupakan tunangannya yang meninggalkannya dan menikah dengan ’K’.
Anak yang paling tua berwajah mirip ’K’, duduk di pangkuan ’A’. Ketika anak itu dipeluk dan kepalanya diusap-usap, Hadijah menunduk sambil menyeka air matanya.
”Anak itu jangan dibawa, dia mirip sekali dengan K,” kata Hadijah.
”Mengapa aku mesti dendam pada orang yang sudah mati?”
Dari ’A’, Hadijah mengetahui bahwa suaminya sudah di-bunuh. Hadijah seperti menggugat ’A’, mengapa ’A’ tidak mencegah terjadinya pembunuhan itu. Percakapan ’A’ dan Hadijah merepresen-tasikan pandangan penguasa Orde Baru terhadap peristiwa G30S.
Kenapa kau tidak menahan orang yang membunuhnya?” tanya Hadijah dengan suara lemah.
”Bagaimana aku yang seorang diri dapat menahan lahar sebuah gunung api?”
”Manusia bukan lahar.”
”Lahar itu mengalir dari Lubang Buaya,” kata A dengan suara lemah lembut. ”Lahar yang aneh dalam hubungan sebab-akibat. Aksi dan reaksi. Semuanya spontan. Lahar yang dimuntahkan dari Lubang Buaya. Lahar yang menimbulkan reaksi berantai seperti bom atom. Lalu matilah beribu-ribu orang. Di antaranya suamimu. Aku menyaksikannya tadi malam.” (hlm. 140).
Dalam cerpen ini, istilah dan mitos ”Lubang Buaya”6 disebut-kan sebanyak 12 kali, yang mengungkapkan bahwa kematian massal orang-orang Komunis disebabkan karena kekejaman yang mereka lakukan di Lubang Buaya di Jakarta maupun di daerah-daerah lainnya. Sangat diyakini pula bahwa orang-orang PKI di daerah-daerah lain (bahkan di seluruh Indonesia) telah menggali ’Lubang Buaya’ secara rahasia untuk mengubur tokoh-tokoh tertentu. Hal itu digambarkan dengan gamblang dalam kutipan berikut.
”Aku tidak mau anak-anak itu seperti bapaknya. Aku tidak mau anak-anak itu menggali lubang-lubang untuk mencapai tujuannya.” (hlmn. 142)
”Begitu radio menyiarkan bahwa PKI memakai cara biadap Lubang Buaya, massa di daerah ini bangkit, lalu mencari orang-orang PKI seperti mencari tikus saja…. Apalagi tersingkap kabar bahwa di kota ini pun ada Lubang Buaya, yang kecil maupun besar, yang digali oleh mereka secara rahasia. Massa mengisi lubang-lubang itu dengan orang-orang yang membuat lubang itu.” (hlm. 142)
Mungkinkah ada orang yang memiliki keberanian untuk melakukan protes terhadap pembantaian orang-orang PKI itu? Suasana zaman (spirit of time) pada masa itu sangat mencekam dan menakutkan. Kutipan berikut ini menunjukkan bahwa amarah massa itu bagai-kan lahar dari gunung berapi, yang tak mungkin bisa dibendung. Tak ada orang yang memiliki keberanian untuk membendung lahar itu. Yang paling mungkin bisa dilakukan adalah tidak menjadi eksekutor tetapi sekadar menjadi ’penonton’.
”Bagaimana aku yang seorang diri dapat menahan lahar sebuah gunung api?”
”Lahar itu mengalir dari Lubang Buaya,” kata A dengan suara lemah lembut. Lahar yang aneh dalam hubungan sebab-akibat. Aksi dan reaksi. Semuanya spontan. Lahar yang dimuntahkan dari Lubang Buaya. Lahar yang me-nimbulkan reaksi berantai seperti bom atom. Lalu matilah beribu-ribu orang. Di antaranya suamimu. Aku menyaksi-kannya tadi malam.” (hlm. 140-141).
Bahkan aktivis PKI dikisahkan mengakui bahwa mereka ber-salah dan siap menerima ganjaran atas kesalahan mereka.
”Aku telah berdosa kepada Pancasila dan telah menerima ganjaran mati, tetapi Hadijah dan lima orang anaknya tidak. Maafkanlah mereka!” (hlm. 139).7
Upaya yang dilakukan tokoh ’A’ adalah mencari cara untuk menyelamatkan Hadijah dan kelima anaknya. Tokoh ’A’ menawar-kan anak-anak Hadijah kepada 1) guru sejarah dan istrinya; 2) seorang pemilik pabrik gilingan padi; 3) seorang pemborong; 4) seorang dokter, dan akhirnya 5) kepada sebuah Panti Asuhan. Semua orang yang dimintai tolong itu menolak dengan berbagai alasan. Akan tetapi alasan utamanya adalah: mereka takut pada ’pendapat umum’ atau amarah massa yang mengetahui bahwa mereka memelihara anak Gerwani/PKI.
Tokoh ’A’ pada mulanya hanya bermaksud memelihara se-orang anak Hadijah. Akan tetapi, dia merasakan sebuah ke-bimbangan yang besar.
A seolah-olah berada di laut. Ia seolah-olah berenang. Ia menemukan sebilah papan yang menyelamatkannya. Ia mendengar anak-anak menangis di sampingnya. Tetapi ia hanya dapat menolong seorang. Yang empat lagi? (hlm. 143)
Sekalipun ’A’ benar-benar telah dikhianati dan disakiti oleh ’K’, ’A’ bukanlah manusia pendendam. Bahkan digambarkan bahwa hatinya benar-benar penuh kasih.
Ketika Hadijah melihat anaknya yang mirip K naik lagi ke pangkuan A, jantungnya berdebur-debur dirayu oleh perasaan yang aneh. Ia merasa bahwa A memangku K dengan penuh kasih sayang. Hatinya teriris (hlm. 143).
Ketika mengetahui bahwa pada akhirnya Hadijah meninggal dunia karena tertekan, tanpa ragu-ragu ’A’ membawa kelima anak Hadijah, dengan risiko yang tentu sudah disadarinya. Cara pe-ngarang mengakhiri kisah ini menunjukkan kepiawaian dan ke-besaran Gerson Poyk sebagai seorang sastrawan Indonesia ternama.
Beberapa hari kemudian, seorang bapak dengan lima orang anak bersama seorang pembantu yang bisu dan tuli, menjadi penumpang sebuah kapal yang meninggalkan pelabuhan kota kecil itu. Tak ada yang melambaikan tangan perpisahan, kecuali burung-burung laut yang terbang jauh….(hlm. 144).
Nilai moral yang dapat dipetik dari cerpen ini adalah kekuatan cinta yang dapat mengatasi berbagai rintangan besar. Nilai ini membawa konsekuensi pada nilai lainnya seperti toleransi terhadap perbedaan pandangan. Jika semakin banyak orang me-miliki sikap toleran terhadap perbedaan, maka keragaman bangsa Indonesia tidak akan menjadi masalah di masa depan.
3.3 Cerpen ”Ancaman” karya H. G. Ugati
Cerpen ”Ancaman” karya H. G. Ugati pertama kali dimuat dalam Majalah Sastra Nomor 6/VII Tahun 1969, hlm. 29 – 31. Pengarangnya H. G. Ugati lahir dan tinggal di Banda Aceh.
Cerpen ini mengisahkan betapa sulitnya menyelamatkan orang PKI dari serangan dan kemarahan massa pada waktu itu. Suasana yang dihadapi ’tokoh kita’ (dalam cerpen ini tidak di-sebutkan nama tokoh utamanya) lebih sulit lagi karena orang yang ditolong adalah mantan pacarnya, seorang janda muda beranak dua yang suaminya sudah dibunuh massa karena terlibat dalam organisasi PKI. Sementara istrinya sendiri, Ida tidak punya anak.
Ida meninggalkan ’tokoh kita’ untuk menikah dengan Jamal, anak orang kaya. Jamal kemudian dianggap ’murtad’ karena terlibat dalam organisasi PKI. Pada waktu masa jayanya PKI, ’tokoh kita’ yang merupakan penentang PKI seringkali diancam termasuk oleh si Jamal. Kini, setelah Jamal meninggal dunia, istri dan kedua anak mereka mencoba untuk meminta perlindungan pada tokoh kita. Namun tokoh kita menerima surat ancaman, yang meminta agar Ida dan kedua anaknya yang dianggap PKI harus keluar dari kampung mereka, paling lambat pukul 6 sore. Mendapat ancaman itu, tokoh kita mencari perlindungan pada Kepala Kampung. Namun per-lindungan itu tidak dia terima. Ketika Ida hendak kembali ke rumah tokoh kita, kawanan massa berteriak ”Peka-iiiiiii; Peka-iiii!” dan me-lempar wanita itu, melempar dinding dan kaca-kaca rumah tokoh kita.
Peristiwa yang terjadi berikutnya digambarkan secara dramatis. Ani, istri tokoh kita yang sebelumnya terbakar api cem-buru menolong Ida secara tulus, karena tidak ada orang lain yang manaruh belas kasihan pada mereka.
”Ani….,” ia memanggil seperti berbisik.
”Oh…., ia mendengar suara wanita itu yang telah berdiri di dalam parit dan berusaha naik keluar. Ia menolongnya naik dengan memeluknya. ….Tiba-tiba Ani mengangkat mukanya memandang pada Ida, dan kemudian pada kebayanya yang telah koyak.
”Lebih baik besok kami pergi…, menyusahkanmu di sini.”
”Kemana kau akan pergi,” Ia memotong dan suaranya ber-getar di kerongkongannya. Ani tidak menjawab. Ia melap air matanya lagi. Kedua anaknya memandang heran padanya. Pada pipi anak lelakinya pelan-pelan menggelinding butir air mata.
”Jembatan masih banyak di kota ini, kami bertiga bisa tidur di bawahnya,” jawab Ani dan serentak dengan itu ia me-nangis seperti anak kecil sambil memeluk kedua anaknya. Ida mendekatinya sambil memegang bahunya.
”Masuklah ke kamarmu, kau tak boleh pergi. Kami akan berdosa membiarkanmu hidup di bawah jembatan. Masuk-lah ke kamarmu.” Ida memapah Ani ke kamarnya sambil menyeka air matanya.
Ketika semuanya telah tenang kembali, tokoh kita merefleksi-kan pengalaman mencekam yang baru saja mereka alami.
Dalam hitam malam masih nampak beberapa bintang menggigil di langit. Ia memuji-muji kebesaran Tuhan dalam hatinya. Keinginannya untuk melaporkan kejadian itu kepada Kepala Kampung yang diam selang dua rumah dari rumahnya, ia urungkan, karena ia merasa lebih baik melaporkan kejadian itu langsung kepada Tuhan sambil memohon ampun, kendatipun ia tahu Tuhan telah melihat seluruh peristiwa itu.
Cerpen ini menaruh perhatian dan simpati yang sangat besar pada korban yang terlibat dalam organisasi PKI. Konflik yang dibangun cerpen ini adalah konflik ganda: (1) kecemburuan seorang istri (Ani) terhadap suaminya, dan (2) ketakutan akan ancaman massa terhadap siapa pun yang melindungi orang-orang PKI. Kedua konflik itu dapat diredakan: (1) Ani menaruh simpati yang tinggi terhadap Ida dan kedua anaknya, dan (2) menghadapi ancaman yang menakutkan itu sang suami mencari perlndungan pada Tuhan.
Nilai moral utama yang dapat dipetik dari cerpen ini adalah kasih dan pengampunan yang mengalahkan rasa cemburu, dendam, dan kebencian.
Sekalipun tokoh kita pernah diancam oleh orang-orang PKI, dia tidak begitu saja ikut-ikutan mengancam dan menganiaya mereka, terutama ketika mereka tidak berdaya. Nilai kasih itu membawa konsekuensi terhadap nilai-nilai lainnya seperti pengorbanan. Keluarga tokoh kita yang menampung seorang janda muda beranak dua yang terlibat organisasi terlarang PKI harus rela hidup dalam kecemasan dan ketakutan akan ancaman. Dalam situasi yang demikian, keluarga ini justru lebih mendekatkan diri mereka pada Tuhan, menyampaikan keluhan dan isi hati kepada-Nya karena tidak ada lagi manusia yang bisa mendengar dan me-ngerti akan gejolak rasa kemanusiaan mereka.
- Pengajaran Akhlak Bangsa
Ketiga cerpen yang dikemukakan di atas dapat menjadi sarana pembelajaran akhlak bangsa yang lebih jujur. Cerpen-cerpen itu ditulis pada periode yang berdekatan dengan Tragedi 1965. Melalui karya sastra kita dapat menangkap jiwa zaman (spirit of time) bangsa kita.
Tabel 1 Latar Belakang Tokoh Judul Cerpen | Tokoh Non-PKI | Istri Tokoh PKI | Tokoh PKI |
PA | A | Hadijah (5 anak) | K (Mati) |
A | tokoh kita | Ida (2 anak) | Jamal (Mati) |
Tabel 1 menunjukkan latar belakang tokoh yang memiliki kemiripan: ada tokoh non-PKI (A dan tokoh kita) yang bermusuhan dengan tokoh PKI (K dan Jamal).
Tokoh-tokoh PKI ini pada akhirnya mendapat ganjaran yaitu mati karena ”dosa” mereka. Masalah yang muncul dalam kedua cerpen ini adalah: bagaimana dengan nasib istri pada tokoh itu? Kedua cerpen mencoba mem-berikan argumen yang sangat meyakinkan bahwa mereka adalah orang-orang tak berdosa yang tidak pantas mendapat hukuman yang lebih berat daripada yang seharusnya mereka terima. Argumen ini segera ditambahkan dengan alasan khusus, yakni adanya hubungan yang ’istimewa’ di masa lampau antara tokoh non-PKI dengan istri tokoh PKI, yaitu hubungan cinta. Kedua argumen ini mendorong mereka untuk menghadapi berbagai hambatan (psikologis) resiko (politis) untuk menyelamatkan istri dan anak-anak tokoh PKI yang merupakan musuh besar mereka.
Akhir perjuangan heroik itu ’berhasil’8. Melalui berbagai pertimbangan yang tidak ringan, anak-anak tokoh PKI itu ditampung di rumah tokoh-tokoh non-PKI. (Lihat Tabel 2).
Tabel 2 Keluarga dan Politik Judul Cerpen | Keadaan Keluarga | Hubungan dengan Istri Tokoh PKI | Jalan Keluar |
PA | A – Anaknya satu – meninggal dunia ketika A dipenjara karena hasutan K | A dan Hadijah pernah bertunangan | Membawa 5 anak Hadijah ke Jakarta |
A | tokoh kita – istrinya Ani mandul | Tokoh Kita dan Ida pernah bertunangan |
Tetap menampung Ide dan kedua anaknya di rumah |
Nilai moral utama yang dapat diajarkan kepada pembaca melalui ketiga cerpen ini adalah nilai kemanusiaan. Indonesia me-rupakan negara yang memiliki prestasi yang buruk dalam bidang perlindungan HAM. Penegakan HAM perlu dimulai dari pen-didikan sekolah. Salah satu sarana pendidikan HAM yang penting adalah melalui pengajaran sastra. Pemilihan karya sastra yang tepat dapat membangkitkan kesadaran siswa akan pentingnya meng-hargai hak asasi manusia.
- Penutup
Sampai tahun 2007 ini, usia Tragedi 1965 itu sudah 42 tahun, sebuah usia yang sudah cukup matang. Sudah saatnya kita meng-ambil jarak dan mempertanyakan kembali Tragedi 1965 itu secara objektif. Cerpen-cerpen di atas, sekalipun sudah memiliki sikap yang tegas atas nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan konteksnya yang sangat menekan dan mengerikan, masih terbatas sebagai ’penonton’ yang ’menyetujui’ pembantaian terhadap tokoh-tokoh komunis. Ada semacam ’pandangan umum’ bahwa aktivis-aktivis PKI pantas dan wajar dibunuh tanpa melalui proses peradilan.
Jika kita secara lebih kritis menilai kembali tema pembantaian anak manusia sebagai akibat Tragedi 1965, seorang pendidik perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis-reflektif untuk didiskusikan secara lebih terbuka oleh anak-anak didiknya. Bolehkah tokoh-tokoh PKI itu dibunuh begitu saja tanpa melalui proses pengadilan yang jujur?
Apakah pembantaian manusia menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah G30S yang belum tentu dilakukan oleh PKI?
Pertanyaan lanjutannya adalah siapakah yang harus bertanggungjawab atas pembantaian itu?
Bagaimana bentuk pertanggungjawaban itu? Sudahkah pelaku pembantaian itu diajukan ke pengadilan?
Bagaimana pandangan Anda jika Tragedi 1965 itu terulang lagi dalam sejarah Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan itu diperlukan agar (1) peserta didik memiliki sikap yang jelas dan tegas tentang hak-hak asasi manusia; (2) kita tidak mengulangi kejahatan kemanusiaan yang sama di kemudian hari; (3) pendidikan akhlak bangsa ini dapat berhasil membangun sebuah landasan kemanusiaan baru yang menghalal-kan perbedaan; (4) dan agar sejarah dapat diluruskan.
___________
1 Yoseph Yapi Taum adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Alamat korespondensi: Mrican Tromol Pos 29 Yogyakarta, 55002. Email: yoseph1612@yahoo.com
2 Peristiwa ini mendapat peliputan yang luas. Lihat misalnya: www.mediacare. blogspot.com. Reaksi ’Masyarakat Pencinta Buku dan Demokrasi’ cukup keras terhadap peristiwa itu yang mereka katakan ”Membakar dan merusak buku, dengan dalih apa pun, merupakan tindakan yang biadab daripada sensor atau pelarangan. Sulit untuk tak menyamakan pembakaran buku-buku ini dengan apa yang telah dilakukan kaum Nazi. Sulit juga bagi kami untuk menyamakan tindakan pembakaran ini dengan semangat fasisme, yang anti demokrasi dan anti hak asasi manusia. Para penandatangan pernyataan itu antara lain: Abdul Malik (aktivis Garda Kemerdekaan), Garin Nugroho (Sutradara), dan Abdurrahman Wahid (mantan presiden Republik Indonesia).
3 Heinz Joss mengatakan, “When they burn books, in the end they will burn people.” Tindakan pembakaran buku merupakan bentuk terror yang hanya dilakukan dalam negara otoriter dan tidak pernah terjadi di negara demokratis
4 Beberapa isu bahkan menyebutkan bahwa PKI di berbagai daerah telah menyiapkan bukan hanya daftar nama tokoh-tokoh yang akan dibantai jika Kudeta G30S-nya menang, tetapi juga menyiapkan lubang-lubang (sperti Lubang Buaya di Jakarta) untuk mengubur mayat tokoh-tokoh tersebut.
5 Nama ’Gumun’ kiranya memiliki makna semiotik. Gumun dalam bahasa Jawa berarti “Heran”. Dalam cerpen ini, memang sangat mengherankan bahwa Gumun tidak takut dan gelisah sedikitpun, sementara 17 orang lainnya begitu gelisah dengan perasaan yang sangat tersiksa: menanti saat-saat maut menjemput 20 orang PKI itu.
6 Informasi penting yang diungkapkan cerpen ini adalah sumber ’lahar’ kemarahan massa yaitu dari Lubang Buaya. Mitos tentang Lubang Buaya benar-benar menjadi titik balik yang penting dalam sejarah kemanusiaan bangsa Indonesia.
7 Pernyataan seperti ini adalah hal yang biasa didengar selama pemerintahan Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa pernyataan tersebut merupakan representasi pandangan resmi Orde Baru, yang menganggap bahwa PKI telah berkhianat terhadap ideologi Pancasila. Itulah sebabnya tanggal 1 Oktober (yaitu sehari setelah Kudeta G30S yang dipercaya dilakukan oleh PKI digagalkan) dinyatakan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
8 Ini adalah keberhasilan di dalam cerpen ini. Dalam alam nyata di tahun 1960-an – 1970-an, anak-anak tokoh PKI menghadapi berbagai stigmatisasi, diskriminasi, dan margina-lisasi bahkan sampai saat ini.
Leave a Reply
#Popular in this month
Popular
-
1Wawancara Dengan Dr Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen : Soeharto Memang PKI!
-
2Surat dari Adi Rukun
-
3Catatan Rahasia Sebelum Munculnya G30S [Secret]
-
4Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM Tentang Peristiwa 1965 – 1966
-
5Penggalan Kepala Dipajang sepanjang Jalan
-
6Bedjo Untung: “Masalahnya di Jaksa Agung”
-
7Rocky Gerung: “Ketakutan Muncul Negara Komunis Sebenarnya Sudah Tak Ada”
-
8Bedjo Untung di Forum HAM Asia
-
9Commemoration of the “Orba” Prison in Tangerang*
-
10Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peristiwa Madiun
-
Korban pembersihan anti-komunis Indonesia memenang...
Bedjo Untung memenangkan pengakuan di Korea Selatan untuk pencarian... read more »
-
Afro-Asiaisme di Akademi Indonesia
Wildan Sena Utama | 10 Februari Empat tahun lalu, Carolien Stolte... read more »
-
Komitmen penegakan hukum dan HAM dipertanyakan
Temuan 346 lokasi kuburan massal korban tragedi 1965-66 dilaporkan YPKP... read more »
-
Seputar Proklamasi Kemerdekaan Kita
Kesaksian Soemarsono “…Ada cerita tentang Proklamasi... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [3]
Oleh: Andreas JW Gagal Menyelamatkan Bung Amir Di tengah-tengah kerja... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [1]
Oleh: Andreas JW Mengenal Alimin Kira-kira awal 1946, pimpinan Jawatan... read more »
-
Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peris...
Oleh: Martin L Dinihari 19 September 1948, Brigade 29 yang... read more »
-
Perempuan Yogyakarta dalam Perjuangan
Nur Janti | 21 Aperil 2018; 14.00 wib Para perempuan Yogyakarta... read more »
Your comment?