Sepotong Ingatan dari Kamp Yang Berubah
Rosa Panggabean – 09 Oct 2019
Pada September 1965, beredar rumor bahwa terdapat sejumlah oknum tentara yang merencanakan kudeta terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno. Merespon rumor tersebut, enam Jenderal dan satu Perwira diculik dan dibunuh pada 1 Oktober 1965. Militer Indonesia kemudian menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai pihak yang melakukan kudeta.
Sejak itu, pembersihan terhadap komunis dilakukan di seluruh negeri; diperkirakan antara 500 ribu hingga tiga juta orang menjadi korban pembunuhan, dan banyak diantaranya merupakan tahanan politik (tapol).
Stigma komunis terhadap para bekas tahanan politik terus berlangsung hingga saat ini. Isu komunis pun timbul-tenggelam: timbul di masa pemilu, tenggelam bersama kamp-kamp yang berevolusi menjadi tempat yang sama sekali baru.
Dari penjara menjadi tempat hiburan
Tak ada lagi sisa-sisa yang menunjukkan bahwa kawasan yang terletak di pinggir Kali Ciliwung Jakarta itu dulunya rumah tahanan negara untuk perempuan. Setelah terjadi peristiwa 1965, Penjara Bukit Duri menjadi tempat penampungan bagi para perempuan yang dituduh komunis atau terkait dengan komunisme.
Untuk mengurangi kelebihan penghuni penjara, pemerintahan Soeharto mendirikan penjara khusus tapol perempuan di Plantungan, Jawa Tengah, pada 1971. Hal ini membuat sebagian tapol penghuni Bukit Duri dipindahkan ke Plantungan.
Plantungan merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki sumber daya alam berupa air panas. Suara gemericik aliran sungai Kali Lampir menambah kesan syahdu lokasi tersebut. Siapa sangka, wilayah agraris yang damai tersebut menyimpan kenangan yang sangat ingin dilupakan para mantan penghuninya.
Pada tahun 1871, pemerintah kolonial Belanda pernah mendirikan rumah sakit lepra di kawasan tersebut. Pada 1965, Plantungan kemudian dijadikan kamp untuk para tapol perempuan. Mereka yang dibuang di sana didatangkan dari berbagai tempat di Indonesia, meskipun sebagian besar berasal dari Jawa. Kawasan kamp tahanan tersebut terdiri dari beberapa bangunan rumah dinas, serta sebuah lapangan olahraga.
Pada tahun 1979, semua tahanan dipulangkan dari Plantungan. Sebuah banjir bandang terjadi tak lama setelah itu, menyebabkan Kali Lampir yang berada persis di sebelah kawasan kamp meluap. Seluruh bangunan kamp tahanan luluh lantak dan hanya menyisakan tiga pilar batu saja.
Pada 1980-an, bangunan penjara Bukit Duri diubah menjadi kompleks pertokoan. Plantungan pun diubah menjadi tempat wisata pada 2010. dengan air panas sebagai daya tarik utama. Pemandian air panas tersebut bahkan menjadi salah satu sumber pendapatan warga setempat.
Secara fisik, baik bangunan penjara wanita Bukit Duri dan Plantungan memang telah berubah. Namun, kenangan para tahanan politik yang sempat mendiami tempat itu terus membekas hingga akhir hayat mereka.
Nani Nurani Affandi
Ia dipenjara selama enam tahun di LP Bukit Duri.
Kisahnya berawal pada 1962, saat Nani masih berusia 21 tahun. Ia bergabung sebagai seorang penari dan penyanyi di Istana Kepresidenan Cipanas yang terletak di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Pada Juni 1965, Nani ikut menari dalam perayaan ulang tahun PKI—yang sebenarnya jatuh pada tanggal 23 Mei—di gedung pertemuan Roxy Cianjur. Seusai mengisi acara tersebut, ia pindah ke Jakarta mengikuti kakaknya sembari mencari pekerjaan.
Semenjak kepindahannya ke Jakarta, Nani menjadi incaran Corps Polisi Militer (CPM) Cianjur tanpa alasan jelas. Meski demikian, ia tak kunjung ditangkap karena jarang pulang ke kampung halaman. CPM akhirnya baru menangkap Nani pada 23 September 1968, saat ia pulang ke Garut untuk hari raya.
Ia dituduh ikut bernyanyi di Lubang Buaya pada malam 1 Oktober 1965, saat terjadi pembunuhan terhadap keenam Jenderal dan satu Perwira. Setelah ditahan di Gedung Ampera Cianjur, Nani dipindahkan ke Penjara Bukit Duri pada 29 Januari 1969.
LP Bukit Duri terdiri dari kamar berukuran 5×4 meter dan 2×2 meter berisi ranjang beton untuk tempat tidur para tahanan. Pada saat Nani tiba, lapas tersebut sudah dihuni sekitar 150 orang. Nani mengingat terdapat dua lapis pintu yang menjadi penjagaan Lapas Bukit Duri: sebuah pintu kayu, yang terbuat dari jati, serta sebuah pintu besi. Lapas tersebut dikelilingi tembok beton yang sangat tinggi. Ada pula sebuah aula yang dibagi dua antara narapidana sipil dan tahanan politik. Sementara pemeriksaan para tahanan terjadi di aula penjara.
Saat berada di penjara Bukit Duri, ia sempat dipanggil petugas lapas untuk memata-matai tapol perempuan lain. Ia menolak tawaran tersebut setelah mengingat pesan orang tuanya: bahwa ia bukan siapa-siapa lagi apabila menjadi seorang pengkhianat.
Nani sejatinya berasal dari keluarga kaya dan terpandang di Cianjur. Keluarganya sempat berunding untuk memberi jaminan agar Nani keluar dari penjara. Namun, mantan penari istana tersebut bersikeras agar tidak ditebus karena yakin ia tidak bersalah. Ia sempat ditawari pula untuk “ditebus” dengan menikahi seorang tentara, meski ia tolak mentah-mentah. Nani akhirnya keluar dari LP Bukit Duri pada 19 November 1975, karena didiagnosis menderita sakit liver serta depresi.
Darminah
Darminah pindah ke Papua bersama suaminya pada tahun 1962 sebagai seorang sukarelawan Front Nasional. Setelah kejadian 1 Oktober 1965, mereka yang tergabung dalam Front Nasional dituduh melakukan pergerakan, pelatihan, serta diskusi di Papua. Ketika ditangkap, Darminah tengah hamil sembilan bulan.
Bersama suami dan anaknya yang baru berusia tiga bulan, Darminah pun diberangkatkan ke Jakarta dengan kapal. Ia kemudian berpisah dengan suaminya setelah tiba di Jakarta. Setelah itu ia berpindah-pindah dari LP Bukit Duri Jakarta hingga Plantungan, Jawa Tengah. Pada akhirnya, Darminah menjalani hukuman di kamp tahanan selama 13 tahun.
Pada tahun 1966, Darminah dan anaknya masuk LP Bukit Duri. Menurut Darminah, persediaan makanan di LP Bukit Duri cukup sulit. Ia beruntung karena ada seorang napi tua yang kerap memberi anaknya lauk untuk makanan. Para tapol di LP Bukit Duri memasak sendiri makanan mereka; ketika mereka tidak mencuci bayam dengan bersih, terkadang masih ada kotoran dan pupuk yang masih melekat di sayur makanan mereka.
Ketika anaknya berusia tiga tahun, Darminah pun menitipkannya kepada seorang teman. Selama di LP Bukit Duri, Darminah hanya bertemu sekali dengan suaminya yang ternyata ditahan di LP Salemba. Pada tahun 1971, Darminah dipindahkan ke Plantungan, sementara suaminya dipindahkan ke LP Nusakambangan.
Setelah setengah tahun di Plantungan, Darminah menerima surat yang mengabarkan suaminya telah meninggal di Nusakambangan.
Endang
Yosephina Endang Lestari ditangkap saat berusia 20 tahun dan dipulangkan di usia 34. Pada tahun 1964, Endang memulai perkuliahannya di IKIP. Karena berasal dari keluarga miskin, Endang masuk kampus dengan biaya terbatas. Karena alasan finansial pula, Endang memutuskan masuk organisasi Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) karena ingin mendapat pinjaman buku dari senior-senior yang ada di organisasi tersebut.
Pada malam 27 November 1965, cuaca di luar rumahnya gerimis. Malam itu, ia didatangi banyak laki-laki dari Puterpra (Perwira/Bintara Urusan Teritorial dan Perlawanan Rakyat). Pada dini hari, Endang dibawa ke kantor CPM untuk diperiksa. Ketika pemeriksaan terjadi, para tentara mencari cap Gerwani di tubuhnya. Endang pun disuruh melepas semua pakaiannya, namun tidak ada yang menemukan cap tersebut.
“Saya tidak dijamah pada saat itu. Kalau dijamah, saya lebih baik mati daripada malu selamanya”, ujarnya saat diwawancara.
Setelah diperiksa, Endang kemudian berpindah-pindah tahanan, dimulai dari Benteng Vredeburg dari Desember 1965 hingga April 1966. Selama di Benteng Vredeburg ia hanya diperiksa sekali dan ditanya petugas, “Kamu mau menggulingkan pemerintah Soekarno yang sah ya?”. Endang menjawab tidak, karena ia hanya orang kecil.
Dari Yogyakarta, Endang kemudian dipindahkan lagi ke Ambarawa antara tahun 1966-1968. Di sana ia ditempatkan di Bastion wanita Benteng Pendem Ambarawa. Ia sempat membuat catatan-catatan kecil untuk mencatat dari mana dan kemana ia dipindahkan. Namun catatan tersebut disita ketika ia dipindahkan dari salah satu kamp ke kamp lainnya.
Endang ingat saat di Ambarawa, para tahanan tinggal di Bastion. Ketika keluarga datang membesuk, mereka dipisahkan sawah dan kawat berduri dengan jarak sekitar 30 meter; komunikasi antara para tahanan dan keluarga yang menjenguk pun harus berlangsung dengan berteriak-teriak. Para keluarga biasanya menanyakan kebutuhan para tapol, kemudian mengirimkan barang kebutuhan para tapol lewat petugas.
Karena Endang berasal dari keluarga miskin, ayah yang menjenguknya pun tidak dapat membawa apa-apa. Untuk memenuhi sejumlah kebutuhan pokok, Endang membuat kerajinan dan menjualnya lewat petugas. Hasil penjualan kerajinan yang ia buat kemudian ditukar dengan gula, sabun, atau kebutuhan pokok lainnya.
Endang berpindah-pindah tahanan hingga akhirnya ia dikembalikan ke Yogyakarta pada tahun 1979.
Sri Moehajati
Seharusnya, masa depan Sri Moehajati muda begitu cemerlang. Saat itu, ia masih berusia 24 tahun dan bersekolah sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 1965. Selama menjadi mahasiswa, ia juga menjadi anggota CGMI. Alih-alih menjadi dokter, Sri Moehajati malah menjadi tahanan politik (tapol) dan berpindah-pindah tahanan selama lima tahun.
Ayah dari Sri Moehajati adalah Moehadi, seorang pengusaha sabun yang juga pengurus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Anggota Dewan Perancang Daerah Yogyakarta pada saat itu. Ayahnya ditangkap pada November 1965, dan tak berapa lama kemudian Sri Moehajati dan ibunya, Musriah, juga menyusul ditangkap polisi. Pada saat ditangkap, ibunya harus kontrol dua minggu sekali ke rumah sakit akibat sakit ginjal.
Semenjak diperiksa dan ditahan, Sri Moehajati selalu bersama ibunya. Ia dan ibunya berpindah-pindah dari Benteng Vredeburg, Lapas Wirogunan, hingga Benteng Pendem Ambarawa. Ia terakhir kali bertemu dengan sang ayah saat ia dan ibunya ditahan di Benteng Vredeburg; ayahnya kemudian hilang setelah itu. Saat itu, ayahnya berpesan kepada Sri Moehajati untuk menggantikan dirinya menjaga keluarga
Pada tahun 1966, Sri Moehajati dan ibunya dipindahkan ke Benteng Ambarawa. Di benteng peninggalan Belanda inilah Sri Moehajati harus berpisah dengan sang ibu. Sri Moehajati dipindahkan ke Lapas Bulu Semarang, sementara ibunya dipulangkan. Pada akhirnya, Sri Moehajati menghabiskan 1,5 tahun di Lapas Bulu Semarang sebelum akhirnya dipulangkan ke Yogyakarta pada 1970.
Heryani Busono Wiwoho
Heryani Busono Wiwoho bisa dibilang sebagai seorang intelektual. Ia dan suaminya, Herman Busono, adalah dosen yang tergabung dalam organisasi Himpunan Sarjana Indonesia (HSI). Heryani adalah pengajar di IKIP Yogyakarta, sementara suaminya mengajar di fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Ketika Heryani dan suaminya ditangkap, mereka harus meninggalkan empat orang anak.
Selama 13 tahun, Heryani berpindah-pindah kamp tahanan dari Yogyakarta hingga Plantungan, Kendal, Jawa Tengah. Pada mulanya ia ditahan di Wirogunan, lalu berpindah ke Ambarawa, Bulu Semarang, sebelum berakhir di Plantungan. Heryani Busono dipulangkan pada 1978.
Di Benteng Pendem Ambarawa, Heryani sempat diminta membuatkan lirik lagu dari seorang tentara yang juga menjadi tahanan politik, Juwito. Heryani membuatkan lirik berjudul Lagu Untuk Anakku yang bercerita tentang kerinduan terhadap anak-anaknya.
ROSA PANGGABEAN is a freelance photographer based in Jakarta, Indonesia. She previously worked for an Indonesian photo agency and a local newspaper as a staff photojournalist. During that time, she covered many issues, from daily life, politics, sports, to major disasters. Her works have been published in local and international publications through Reuters syndication.
Leave a Reply
#Popular in this month
Popular
-
1Wawancara Dengan Dr Soebandrio, Kepala Badan Pusat Intelijen : Soeharto Memang PKI!
-
2Surat dari Adi Rukun
-
3Catatan Rahasia Sebelum Munculnya G30S [Secret]
-
4Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM Tentang Peristiwa 1965 – 1966
-
5Penggalan Kepala Dipajang sepanjang Jalan
-
6Bedjo Untung: “Masalahnya di Jaksa Agung”
-
7Rocky Gerung: “Ketakutan Muncul Negara Komunis Sebenarnya Sudah Tak Ada”
-
8Bedjo Untung di Forum HAM Asia
-
9Commemoration of the “Orba” Prison in Tangerang*
-
10Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peristiwa Madiun
-
Korban pembersihan anti-komunis Indonesia memenang...
Bedjo Untung memenangkan pengakuan di Korea Selatan untuk pencarian... read more »
-
Afro-Asiaisme di Akademi Indonesia
Wildan Sena Utama | 10 Februari Empat tahun lalu, Carolien Stolte... read more »
-
Komitmen penegakan hukum dan HAM dipertanyakan
Temuan 346 lokasi kuburan massal korban tragedi 1965-66 dilaporkan YPKP... read more »
-
Seputar Proklamasi Kemerdekaan Kita
Kesaksian Soemarsono “…Ada cerita tentang Proklamasi... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [3]
Oleh: Andreas JW Gagal Menyelamatkan Bung Amir Di tengah-tengah kerja... read more »
-
Sekilas Tempo Doeloe [1]
Oleh: Andreas JW Mengenal Alimin Kira-kira awal 1946, pimpinan Jawatan... read more »
-
Tangan Mohammad Hatta Berlumuran Darah Dalam Peris...
Oleh: Martin L Dinihari 19 September 1948, Brigade 29 yang... read more »
-
Perempuan Yogyakarta dalam Perjuangan
Nur Janti | 21 Aperil 2018; 14.00 wib Para perempuan Yogyakarta... read more »
Your comment?